Minggu, 07 Mei 2017

Agama Dan Proses Pemanusiaan




Agama Dan Proses Pemanusiaan


“Manusia adalah ukuran semua hal” demikianlah sabda protagoras sebagaimana dikutip oleh raimundo panikar.[1] Hal itu sejalan dengan apa yang diajarkan dalam budhisme yang dengan jelas menyatakan “Manusia sesungguhnya adalah segal-galanya,apa yang telah ada dan apa yang akan ada”.[2]
Deimikianlah agama-agama dunia memandang manusia,dari semua agama ada satu persamaan dimana agama-agama tersebut memandang manusia memiliki peran dan posisi dan penting di alam raya. di islam sendiri memandang manusia sebagai puncak ciptaan Tuhan di alam raya laqod khilaqnal insana fi ahsani taqwim,dan Allah memberikan amanah kepada manusia untuk menjadi khalifah dimuka bumi ini.
Salah satu deskripsi fungsional agama adalah cara manusia menangani nasibnya menuju situasi yang lebih baik. Oleh sebab itu studi agama seharusnya tidak hanya berbicara tentang beragama secara ritualistik. Lebih jauh dari itu studi agama haruslah membahas tentang persoalan-persoalan manusia yang paling mendasar.
Menurut El-Alaqqad, manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, yang diciptakan dengan sifat-sifat ke-Tuhan-an, sehingga dapat memenuhi 3 hal :
1.        Manusia itu betapapun hebatnya, tetap sebagai makhluk, sesuatu yang diciptakan dan ditentukan, bukan pencipta dan penentu sesuatu.
2.        Segala perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. di akhirat, oleh karena itu manusia harus memikirkan dengan sebaik-baiknya sebelum melakukan sesuatu perbuatan.
3.        Pada diri manusia ada sifat-sifat ke-Tuhan-an, berupa segala sifat yang baik yang harus dikembangkan dan diwujudkan dalam bentuk perbuatan dan perilaku. Apabila manusia dapat mengembangkan dan mewujudkan sifat-sifat tersebut, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan hidup.
Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa manusia adalah makhluk yang penuh dengan kekurangan-kekurangan. Namun dibalik kekurangannya, Allah SWT. memberikan kelebihan yang menjadikannya sebagai makhluk yang mulia. Kelebihan-kelebihan tersebut adalah :
1.      Manusia diberikan hidayah oleh Allah SWT yang sangat lengkap, yakni :
        Hidayah ath-Thabi’iyyah ( petunjuk insting / naluri )
        Hidayah al-Hissiyah ( petunjuk panca indera )
        Hidayah al-Aqliyah ( petunjuk akal )
        Hidayah ad-Din ( petunjuk agama )
2.      Manusia dikaruniai oleh Allah SWT. bentuk yang paling baik. ( Surah at-Tin (95) : 4 )


3.      Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
Manusia diberikan rezki oleh Allah SWT. dengan rezki yang baik-baik. ( Surah al-Mu’min (40) : 64 )
Menurut al-Ghazali, ada 5 perangkat hidup manusia yang harus dipelihara dan dijaga dengan baik agar ia mencapai kesempurnaan hidup, di dunia dan akhirat. Kelima perangkat itu adalah :
        Agama
        Jiwa
        Akal
        Keturunan
        Harta benda
Sebagaimana menurut Mahmud muhammad Thaha,islam muncul dalam dua fase. Yaitu fase akidah ( islam,iman dan ihsan) dan fase ilmu (ilm yaqin, ainul yakin dan Haqqulyaqin) dimana fase pertama adalah fase mukmin dan fase yang kedua adalah fase muslim .


[1] Raimunda Panikar. Dialog Intra Religius.kanisius 1994 Halaman 134
[2][2] Rg Veda X,90,2.

Rabu, 15 April 2015

Children & Youth forum 3rd UN World Conference on Disaster Risk Reduction.

Children & Youth forum 3rd UN World Conference on Disaster Risk Reduction
 saya adalah faiz zawahir m mahasiswa jurusan pendidikan agama islam universitas islam negeri sunan gunung djati bandung yang alhamdulilah berkesempatan untuk menjadi delegasi mahasiswa indonesia dalam Children & Youth forum 3rd UN World Conference on Disaster Risk Reduction. di sendai jepang..
setelah mengikuti rangkaian prosedur yang dilakukan oleh panitia akhirnya saya berkemsempatan untuk mengikuitu forum tersebut, 
setelah menyiapakan paspir dan mencari pendanaan dari pemerintah dan sponsor akhirnya semua biaya yang diperlukan untuk keberangkatan saya kesendai sudah beres akhirnya saya berangkat pada tanggal 11 maret 2015 dengan menggunakan pesawat garuda indonesia yang berangkat dari bandar international soekarno hatta jakarta menuju Haneda international airport jepang.
sebuah pengalaman yang luar biasa dimana saya bertemu dengan pemimpin dunia dan sekertaris jendral PBB.

Sabtu, 13 September 2014

Inklusifitas Muslim Sebagai Gerbang Menuju Islam Yang Rahmatan Lilalamin



Inklusifitas Muslim Sebagai  Gerbang Menuju Islam Yang Rahmatan Lilalamin
Oleh : Faiz al-zawahir*
Islam adalah agama yang sempurna bagi seluruh umat manusia (QS.5:3). Kesempurnaan islam akan terbukti dan terasa jika kita mendekatinya dari berbagai fersfektif serta dengan pemikiran yang inklusif. Kesempurnaan islam tidak mungkin dapat difahami dan dirasakan bagi orang yang pemikiran dan pandangan hidupnya ekslusif atau tertutup. Karena dengan pemikiran yang ekslusif itu semua sudah jauh dari ajaran islam dan membatasi islam itu sendiri, ketika seorang muslim bersikap ekslusif maka dalam hati dan fiirannya yang diarasakan bukan lagi kebenaran dan keluhuran ajaran islam akan tetapi kebenaran dan keluhuran islam,akan tetapi akan dirasakan adalah kemahabenaran golongan dan aloirannya saja. Hal inilah yang memnbuat islam hancur dan di cap sebagai agama teroris .
sikap dan prilaku ekslusif yang berlebihan akan menghantarkan umat islam pada kehancuran dan keterbelakangan, hal itu disebabkan efek dari sikap ekslusif yang cenderung berakibat buruk bagi kerukunan dan persatuan umat. Tak jarang dengan sikap yang ekslusif buta antara muslim satu dengan yang lainnya saling mengkafirkan dan menuduh sesat satu sama lain. Selain dari itu dampak negatif dari sikap ekslusif adalah orang yang bersikap ekslusif cenderung tertutup pada gagasan dan ide-ide kemajuan dari golongan lain. Karena yang ada dalam fikirannya adalah alirankulah yang paling benar dan golongankulah satu-satunya golongan yang berhak masuk surga.
Sikap inklusif merupakan prasarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang muslim ketika ingin mewujudkan islam yang rahmatan lilalamin. Karena dengan memliki sikap inklusif tentunya umat islam akan lebih terbuka dan toleran terhadap perbedaan yang mana semua itu diperlukan dalam proses pembangunan di era globalisasi ini. Selain dari itu dengan sikap inklusif umat islam akan lebih terbuka terhadap ilmu pengetahuan dari manapun ia sumbernya sepanjang positiv dan sejalan dengan nilai-nilai keislaman tentu tak ada salahnya jika kita terus mempelajari dan menguasainya.
Sikap ekslusifitas umat islam dengan ditandai kecenderungan dari bebrapa golongan dan beberapa ulama untuk tidak mempelajari filsafat karena filsafat dianggap berbahaya dan akan menjerumuskan umat pada kesesatan. Padahal jika kita lihat dan berkaca pada sejarah peradaban islam masa keemasan islam ditandai dengan kecintaan para ulama terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan seperti di zaman khalifah Umar Bin Abdul Ajiz RA. Sikap paranoid atau ketakutan yang berlebihan yang ditunjukan oleh bebrapa golongan serta ulama terhadap filsafat sangatlah tidak berdasar. Dengan kontruksi dan struktur filsafat islam yang berlandaskan al-quran dan asunnah mustahil seorang muslim akan berakhir pada kesesatan.
Sikap inklusif memang sangat diperlukan guna mewujudkan islam yang rahamatan lilalamin. Akan tetapi tentu semua dengan batasan yang jelas. Karena jika kita over inklusif dan dasar ilmu islamnya lemah maka tak jarang kita akan terjebak pada kesalahan berfikir dan kesesatan menganggap bahwa seluruh agama benar dan memiliki sumber kebenaran yang benar pula. Untuk masalah ilmu duniawi dan hal yang bersifat fiqih,ilmu alam,ilmu sosial dan ilmu yang lainnya maka tetntunya kita harus terbuka pada kebenaran dan ilmu itu darimanapun datangnya. Akan tetapi untuk permasalahan aqidah dan keimanan tentunya hanya satu sumber kebenaran yang kita pegang yaitu al-quran serta hadis sebagai dasar pelengkapnya.
Semoga kita semua termasuk muslim yang senantiasa terbuka mata hati dan mata jasadiah kita untuk senantiasa mendalami hikmah dan ilmu Allah SWT, yang terhampar luas di alam semesta raya ini.
Amin ya rabbb
Wallahu a’lam


*Faiz Al-zawahir Ketua Umum HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten Bandung. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Jumat, 01 Agustus 2014

Debat Sekularisme di Indonesia Nurcholish Madjid



Debat Sekularisme di Indonesia
Nurcholish Madjid


Menyadari  bahwa persoalan-persoalan di atas bukan semata-mata berdimensi politis, tetapi lebih dari itu mempunyai masalah teologis juga, Nurcholish mencoba memberi suatu alternatif pemecahan, khususnya yang berkaitan dengan dimensi teologis.[1] Nurcholish berpendapat bahwa akar persoalan yang dihadapi komunitas Islam ketika itu adalah hilangnya “daya gerak psikologis” (psychological strikingforce) —yang itu jelas diperoleh dari agama.[2] Hal ini ditandai oleh ketidakmampuan umat Islam, yang diwakili oleh para pemim pinnya, untuk membedakan antara nilai-nilai yang transendental dan yang temporal. Karenanya, Nurcholish menyarankan agar umat Islam membebaskan dirinya dari kecenderungan untuk menempatkan hal-hal yang semestinya duniawi sebagai duniawi, dan hal-hal yang semestinya ukhrawi sebagai ukhrawi (akhirat).
Dari sinilah kemudian muncul gagasan tentang “sekularisasi” yang merupakan respons terhadap fenomena sosial politik yang ber kembang pada awal rezim Orde Baru, yang merupakan implementasi gagasan dan pemikiran Nurcholish terhadap Islam sebagai agama yang terbuka dan menganjurkan idea of progress. Nurcholish mengajak agar umat Islam senantiasa berani melakukan ijtihad, termasuk dalam merespons persoalan-persoalan Indonesia kontemporer. Nurcholish juga mengajak umat Islam agar tidak phobi terhadap fenomena modernisasi, yang di antara implikasinya adalah penerimaan atas sekularisasi.[3]
Dalam dunia pemikiran, gagasan sekularisasi merupakan bagian tak terpisahkan dari ijtihad Nurcholish. Pengertian sekularisasi dimak­sudkannya sebagai suatu proses penduniawian, dalam pengertian meletakkan peranan utama pada ilmu pengetahuan. Maka pengertian pokok tentang sekularisasi yaitu pengakuan wewenang ilmu penge tahuan dan penerapan dalam membina kehidupan duniawi, dan ilmu pengetahuan itu sendiri terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaannya.
Dalam pandangan Nurcholish, sekularisasi mempunyai kaitan erat dengan desakralisasi, karena keduanya mengandung unsur pembebasan. Sekularisasi berarti terlepasnya atau pembebasan dunia dari pengertian religius. Begitu pula desakralisasi dimaksudkan sebagai penghapusan atau pembebasan dari legitimasi sakral. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan sebenarnya harus melahirkan “desakralisasi” pandangan terhadap semua selain Tuhan; sebab sakrali sasi kepada sesuatu selain Tuhan pada hakikatnya adalah syi rik—yang meru pakan lawan dari tauhid. Maka semua objek yang selama ini dianggap sakral tersebut merupakan objek yang harus didesakralisasikan.[4]
Dengan pembebasan berarti manusia mengarahkan hidupnya menuju keadaan asli (fitrah), selaras dengan eksistensinya, serta mem bebaskan diri dari keinginan duniawi yang cenderung ke arah sekular. Islam tidak memberikan makna sakral kepada alam seisinya, terhadap langit, bumi, bintang, gunung, sungai, pohon, batu, lautan dan segala yang ada di alam. Islam melihat semua itu sebagai ciptaan Tuhan, sebagai ayat Tuhan yang tidak boleh disakralkan. Bahkan justru ayat-ayat atau tanda-tanda inilah yang harus diungkapkan, diselidiki, dan dimanfaatkan untuk kepenting­an manusia. Kelebihan yang telah diberikan Tuhan berupa akal inilah yang harus digunakan untuk membongkar rahasia alam yang merupakan komponen fundamental dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Dengan uraiannya tentang sekularisasi itu, Nurcholish bermaksud membedakan bukan memisahkan persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi. Pembedaan ini diperlukan karena ia melihat umat Islam tidak bisa melihat dan memahami persoalan secara proporsional. Para meter yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap nilai-nilai yang “islami” sering kali dikaitkan dengan tradisi yang sudah dianggap mapan. Sehingga Islam disejajarkan dengan tradisi, dan menjadi islami disederajatkan dengan menjadi tradisionalis. Karena itu membela Islam sama dengan membela tradisi, sehingga sering muncul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Pandangan-pandangan para pemimpin Islam yang seperti ini menurut Nurcholish telah menyebabkan mereka kurang memberikan respons yang wajar terhadap perkembang an pemikiran yang ada di dunia saat ini.
Dengan maksud lebih memberikan penegasan kepada apa yang dimaksudkannya sebagai sekularisasi, Nurcholish sekali lagi menga takan sekularisasi yang diidealisasikannya tidak dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslim menjadi sekularis. “Tetapi dimaksudkan untuk men duniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, serta melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya”. Melalui defi nisi sekula risasi semacam ini, umat Islam akan terbiasa dengan sikap mental untuk selalu menguji kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral maupun sejarah.
Menurut Nurcholish, sekularisasi bukanlah sekularisme dan bahkan tidak identik dengan sekularisme sebagai paham tertutup, dan merupakan ideologi tersendiri yang lepas dari agama. Sekularisme dalam konteks demikian bukan sebuah proses tetapi sebuah ideologi tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama.[5]
Gagasan sekularisasi yang dimaksud Nurcholish bukanlah sekularisme seperti yang dikenal di Barat ( Eropa), tetapi sekularisasi sebagai salah satu bentuk “liberalisasi” atau pembebasan terhadap pandangan-pandangan keliru yang sudah mapan. Dalam uraiannya, Nurcholish secara terbuka mengemukakan bahwa ia sama sekali tidak bermaksud menerapkan sekularisme. Bahkan konsisten dengan pandangan yang telah ditulisnya dua tahun sebelumnya. Ia dengan tegas menolak sekularisme. Nurcholish menjelaskan:
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekula risme, sebab secularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion. Dalam hal ini yang dimaksud ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal.[6]
Menurut Nurcholish, pendekatan dari segi bahasa akan ba nyak menolong menjelaskan makna suatu istilah. Tentang etimologi sekularisasi, dia berpendapat: “Kata-kata ‘sekular’ dan ‘sekularisasi’ berasal dari bahasa Barat ( Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata­kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata ruang. Itulah sebabnya, dari segi bahasa pemakaian istilah sekular tidak mengandung keberatan apa pun. Malah, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan juga secara kenyataan.” Jadi, secara etimologis, menurut Nurcholish, tidak ada masalah menggunakan kata sekular untuk Islam, karena memang “manusia adalah makhluk sekular”.
Lebih jauh Nurcholish menjelaskan tentang ini dengan menya takan, pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalisasi adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Ia menganjurkan setiap orang Muslim bersikap rasional dan melarang untuk tidak menjadi rasionalis. Sebab rasionalis berarti mendukung rasionalisme, sedangkan rasionalisme menurut Nurcholish waktu itu merupakan suatu paham yang bertentangan dengan Islam. Rasionalisme meng ingkari keberadaan wahyu sebagai media untuk mengetahui kebe naran, dan hanya mengakui wah yu semata. Dengan demikian rasiona lisasi mempunyai arti terbuka karena merupakan suatu proses, sedangkan rasionalisme mempunyai arti tertutup lantaran suatu paham ideologi.[7]
Aspek sentral dari sekularisasi, yaitu bahwa sekularisasi merupakan suatu proses, dalam pengertian mengalami perubahan dan penambah an yang lebih besar terhadap arah proses atau tujuan proses tersebut. Dalam hal ini karena pengertian sekular mengacu pada pengertian duniawi, maka pengertian sekularisasi sering diartikan proses pen duniawian. Dengan proses penduniawian untuk menye laraskannya dengan perkembangan zaman, proses ini tidak luput dari ancaman degradasi nilai-nilai yang ada, terutama yang menjadi korban adalah nilai agama. Pengertian sekularisasi lebih mengacu pada pengikisan nilai-nilai agama dari pribadi-pribadi manusianya. Dengan demikian orang tersebut ke mudian lebih menge sampingkan urusan agama dari urusan duniawi. Urusan agama menjadi urusan pribadi yang harus dipisahkan dari urusan kenegaraan, dari panggung politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan segala macam urusan duniawi.
Selanjutnya, Nurcholish menyatakan bahwa sekularisasi yang diidealisasikannya untuk lebih memanfaatkan misi duniawi manusia bukannya tanpa dasar. Menurutnya, ajaran al-Qur’an yang berintikan pada posisi manusia sebagai hamba Allah dan wakil Allah di muka bumi merupakan dasar doktrinal Islam tentang sekularisasi. Dengan kata lain, Nurcholish tampaknya memahami proses sekularisasi se bagai “pembumian” ajaran-ajaran Islam sebagai yang inheren dengan misi kekhalifahan manusia. Di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat-ayat yang menegaskan posisi manusia sebagai hamba dan wakil Allah di muka bumi. Menurutnya, sikap seperti ini adalah konsekuensi logis dari konsepsi tauhid Islam, yang intinya pemutlakan transen densi semata-mata hanya kepada Tuhan.[8]
Sayangnya dalam pengamatan Nurcholish saat ini justru tidak muncul pikiran-pikiran yang segar dari kalangan umat Islam. Karena tiadanya lembaga yang dapat berpikir bebas dan memusatkan perhati annya pada tuntutan-tuntutan sejarah dari masyarakat serta dinamika perkembangan ekonomi, politik dan sosial, sehingga umat Islam ke hilangan—apa yang di atas sudah disebut—psycologycal striking force. Kondisi ini membawa implikasi umat Islam seakan-akan kehilangan kreativitas, bersikap defensif serta apologetik dalam merespons ide-ide besar yang “mendunia” (global, istilah sekarang) semacam demokrasi, keadilan sosial, sosialisme, dan sebagainya. Akibatnya, “inisiatif selalu direbut oleh pihak lain dan posisi strategis di bidang pemikiran serta ide berada di tangan mereka, sementara umat Islam di-exclude-kan. ”[9]
Namun belakangan, gerakan pembaruan Islam yang dimotori Nurcholish pada tahun 1 970-an secara tidak langsung telah memper­kuat proses sekularisasi ini dengan mendukung keharusan Islam untuk melucuti klaim-klaim politiknya agar bisa memusatkan dirinya pada imperatif-imperatif etik dan spiritual. Diktum Nurcholish yang amat terkenal, “ Islam, Yes; Partai Islam, No”, serta pernyataan Abdurrahman Wahid kemudian hari setelah Nurcholish, bahwa “Islam bukanlah ideologi politik” merupakan kulminasi dari proyek—meminjam istilah Yudi Latif—“Polity-Separation Secularization” di Indonesia. Proses sekularisasi yang dikemukakan oleh Nurcholish di era tahun 70-an tersebut pada akhirnya telah menemukan resonansinya di kalangan intelektual Islam Liberal generasi baru dewasa ini.
Sebagai seorang pembaru Islam yang digolongkan ke dalam pemikiran neo-Modernis, pemikiran Nurcholish secara mendalam didasarkan atas teologi, yakni pandangan teologi yang oleh Charles Kurzman disebut “Islam Liberal”[10] yang ciri-cirinya adalah gerakan nya bersifat progresif (menerima modernitas); Barat modern tidak dilihat sebagai ancam an, tapi justru reinventing Islam untuk “melurus kan” modernitas Barat; Membuka peluang bagi bentuk tertentu “otonomi duniawi” dalam berbangsa dan bernegara; dan cara pema haman Islam yang terbuka, toleran dan inklusif­pluralis. Sebagaimana yang dikatakan Rahman,[11] bahwa karakteristik nyata dari tantangan modernitas, salah satunya yang paling menonjol adalah sekularisme. Islam Liberal sesungguhnya berkaitan dengan isu utama sekularisme, yang pengertiannya terus berkembang.[12]
Sebagai penerus pemikiran gurunya, Fazlur Rahman, Nurcholish menyadari bahwa Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada persoalan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah. Apa yang telah dilakukannya tentang pemikiran Islam, khususnya terhadap isu-isu sosial-politik-keagamaan, seper ti sekularisasi, Islam Yes, Partai Islam No, adalah bagian dari ijtihad intelektual Nurcholish dalam masa yang cukup panjang, walaupun gagasan-gagasan itu di awal-awal kemunculannya telah mengundang perdebatan, baik yang pro maupun kontra. Namun belakangan, gagasan-gagasan tersebut mene mukan bentuknya yang paling terang dan mendapat apresiasi di kalangan luas kalangan intelektual.

*Faiz Al-zawahir, Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam UIN SGD Bandung; Aktivis HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten Bandung.


[1] Nurcholish, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabatnya, Eki Syachrudin, adalah salah satu contoh terbaik dalam kehidupan berorganisasi dan berpolitik. Ia adalah seorang demokrat yang konsekuen dalam kata dan perbuatan. Ia mendudukkan dirinya pada cita-cita yang benar tentang pencapaian suatu masyarakat yang sehat dan bersih. Lebih lengkapnya, lihat, Eki Syachrudin, Moral Politik sebuah Refl eksi ( Jakarta: LP3ES, 2006) h. 503-506.
[2] Nurcholish mengusung ide tentang perlunya kebebasan berpikir sehingga memunculkan pikiran-pikiran segar yang mempunyai daya pukul psikologis ( psychological striking force) yang dapat merespons tuntutan-tuntutan segera, dari kondisi-kondisi masyarakat yang terus tumbuh, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Dengan kata lain, umat Islam harus mampu mengambil inisiatif­inisiatif dalam pembangunan masyarakat yang bersifat duniawi. Dengan demikian, pintu ijtihad bagi Nurcholish adalah tetap terbuka, dan merupakan keharusan bagi umat untuk memahami agamanya. Bahkan menurut Nurcholish, jika benar-benar konsisten terhadap ajaran agamanya, seorang Muslim harus terbuka terhadap ide­ide kemajuan ( idea of progress) serta bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas mungkin, kemudian memilih di antaranya, yang menurut ukuran-ukuran objektif mengandung kebenaran (universal). Sehingga dengan mengoptimalkan rasio dan akal pikiran yang ada padanya, harus terlibat dalam upaya menemukan cara-cara yang terbaik bagi kehidupan kolektif manusia. Lihat, Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan”, dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam, h. 489-492.

[3] Ann Kull, Piety and Politics, Nurcholish Madjid and His Interpretation of Islam in Modern Indonesia (Lund: Lund University, 2005).
[4] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid,Djohan Eff endi, Ahmad wahib dan Abdurrahman Wahid ( Jakarta: Paramadina, 1995), h. 108-109.
[5] Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, h. 218-219.
[6] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 207.
[7] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 219.
[8] Fachry Ali dan Bachtiar Eff endi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 130.

[9] Pembahasan soal ini, lihat, M. Syafi ’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Musim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995) h. 50-53.

[10] Charles Kurzman, Liberal Islam, Juga Greg Barton, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid As Intellectual ‘Ulama’: ~ e Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist ~ ought”, dalam Studi Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol 4 (1), 1997, h. 29-82.
[11] Taufi k Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman ( Bandung: Mizan, 1989), h. 187.
[12] Lihat, Arskal Salim dan Azyumardi Azra, “Negara dan Syariat dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia” dalam Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal ( Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2003), h. 53-81. Dalam kaitan dengan pengembangan gagasan sekularisme ini, pertanyaan seperti, “Apakah Indonesia akan lebih condong untuk menganut ide negara Islam?” menjadi pertanyaan penting, yang terus perlu diamati perkembangan sosial politiknya. Kalangan Islam Liberal—atau istilah lain yang dipakai dalam tulisan ini, Islam Liberal—sangat menyadari bahwa kecenderungan Indonesia condong ke negara Islam bukanlah hal yang mustahil, karena isu negara Islam—seperti dikemukakan di atas—mengalami proses kontestasi di dalam perdebatan sistem politik Islam, di dalam internal kalangan umat Islam itu sendiri. Namun di atas segalanya, melihat kecenderungan yang ada saat ini, di mana hampir semua aspirasi penerapan syariat Islam secara formal tidak mendapat umpan balik secara positif, maka transformasi Indonesia menjadi negara Islam, menurut mereka agaknya masih “jauh panggang dari api”.