Debat
Sekularisme di Indonesia
Nurcholish
Madjid
Menyadari bahwa persoalan-persoalan di atas bukan
semata-mata berdimensi politis, tetapi lebih dari itu mempunyai masalah
teologis juga, Nurcholish mencoba memberi suatu alternatif pemecahan, khususnya
yang berkaitan dengan dimensi teologis.
Nurcholish berpendapat bahwa akar persoalan yang dihadapi komunitas Islam ketika
itu adalah hilangnya “daya gerak psikologis” (psychological strikingforce) —yang
itu jelas diperoleh dari agama.
Hal ini ditandai oleh ketidakmampuan umat Islam, yang diwakili oleh para pemim
pinnya, untuk membedakan antara nilai-nilai yang transendental dan yang
temporal. Karenanya, Nurcholish menyarankan agar umat Islam membebaskan dirinya
dari kecenderungan untuk menempatkan hal-hal yang semestinya duniawi sebagai
duniawi, dan hal-hal yang semestinya ukhrawi sebagai ukhrawi (akhirat).
Dari sinilah kemudian muncul gagasan tentang
“sekularisasi” yang merupakan respons terhadap fenomena sosial politik yang ber
kembang pada awal rezim Orde Baru, yang merupakan implementasi gagasan dan
pemikiran Nurcholish terhadap Islam sebagai agama yang terbuka dan menganjurkan
idea of progress. Nurcholish mengajak agar umat Islam senantiasa berani
melakukan ijtihad, termasuk dalam merespons persoalan-persoalan Indonesia
kontemporer. Nurcholish juga mengajak umat Islam agar tidak phobi terhadap
fenomena modernisasi, yang di antara implikasinya adalah penerimaan atas
sekularisasi.
Dalam dunia pemikiran, gagasan sekularisasi
merupakan bagian tak terpisahkan dari ijtihad Nurcholish. Pengertian
sekularisasi dimaksudkannya sebagai suatu proses penduniawian, dalam
pengertian meletakkan peranan utama pada ilmu pengetahuan. Maka pengertian
pokok tentang sekularisasi yaitu pengakuan wewenang ilmu penge tahuan dan
penerapan dalam membina kehidupan duniawi, dan ilmu pengetahuan itu sendiri
terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaannya.
Dalam pandangan Nurcholish, sekularisasi
mempunyai kaitan erat dengan desakralisasi, karena keduanya mengandung unsur
pembebasan. Sekularisasi berarti terlepasnya atau pembebasan dunia dari
pengertian religius. Begitu pula desakralisasi dimaksudkan sebagai penghapusan
atau pembebasan dari legitimasi sakral. Pemutlakan transendensi semata-mata
kepada Tuhan sebenarnya harus melahirkan “desakralisasi” pandangan terhadap
semua selain Tuhan; sebab sakrali sasi kepada sesuatu selain Tuhan pada
hakikatnya adalah syi rik—yang meru pakan lawan dari tauhid. Maka semua objek
yang selama ini dianggap sakral tersebut merupakan objek yang harus
didesakralisasikan.
Dengan pembebasan berarti manusia mengarahkan
hidupnya menuju keadaan asli (fitrah), selaras dengan eksistensinya, serta mem
bebaskan diri dari keinginan duniawi yang cenderung ke arah sekular. Islam
tidak memberikan makna sakral kepada alam seisinya, terhadap langit, bumi,
bintang, gunung, sungai, pohon, batu, lautan dan segala yang ada di alam. Islam
melihat semua itu sebagai ciptaan Tuhan, sebagai ayat Tuhan yang tidak boleh
disakralkan. Bahkan justru ayat-ayat atau tanda-tanda inilah yang harus
diungkapkan, diselidiki, dan dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Kelebihan
yang telah diberikan Tuhan berupa akal inilah yang harus digunakan untuk
membongkar rahasia alam yang merupakan komponen fundamental dalam perkembangan
ilmu pengetahuan.
Dengan uraiannya tentang sekularisasi itu,
Nurcholish bermaksud membedakan bukan memisahkan persoalan-persoalan
duniawi dan ukhrawi. Pembedaan ini diperlukan karena ia melihat umat Islam
tidak bisa melihat dan memahami persoalan secara proporsional. Para meter yang
digunakan untuk memberikan penilaian terhadap nilai-nilai yang “islami” sering
kali dikaitkan dengan tradisi yang sudah dianggap mapan. Sehingga Islam
disejajarkan dengan tradisi, dan menjadi islami disederajatkan dengan menjadi
tradisionalis. Karena itu membela Islam sama dengan membela tradisi, sehingga
sering muncul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat
reaksioner. Pandangan-pandangan para pemimpin Islam yang seperti ini menurut
Nurcholish telah menyebabkan mereka kurang memberikan respons yang wajar
terhadap perkembang an pemikiran yang ada di dunia saat ini.
Dengan maksud lebih memberikan penegasan
kepada apa yang dimaksudkannya sebagai sekularisasi, Nurcholish sekali lagi
menga takan sekularisasi yang diidealisasikannya tidak dimaksudkan sebagai
penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslim menjadi sekularis. “Tetapi
dimaksudkan untuk men duniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat
duniawi, serta melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk
mengukhrawikannya”. Melalui defi nisi sekula risasi semacam ini, umat Islam
akan terbiasa dengan sikap mental untuk selalu menguji kebenaran suatu nilai di
hadapan kenyataan-kenyataan material, moral maupun sejarah.
Menurut Nurcholish, sekularisasi bukanlah
sekularisme dan bahkan tidak identik dengan sekularisme sebagai paham tertutup,
dan merupakan ideologi tersendiri yang lepas dari agama. Sekularisme dalam
konteks demikian bukan sebuah proses tetapi sebuah ideologi tertutup yang
berfungsi sangat mirip sebagai agama.
Gagasan sekularisasi yang dimaksud Nurcholish
bukanlah sekularisme seperti yang dikenal di Barat ( Eropa), tetapi
sekularisasi sebagai salah satu bentuk “liberalisasi” atau pembebasan terhadap
pandangan-pandangan keliru yang sudah mapan. Dalam uraiannya, Nurcholish secara
terbuka mengemukakan bahwa ia sama sekali tidak bermaksud menerapkan
sekularisme. Bahkan konsisten dengan pandangan yang telah ditulisnya dua tahun
sebelumnya. Ia dengan tegas menolak sekularisme. Nurcholish menjelaskan:
Sekularisasi
tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekula risme, sebab secularism is the
name for an ideology, a new closed world view which function very much like a
new religion. Dalam hal ini yang dimaksud ialah setiap bentuk liberating
development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat
perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang
disangkanya islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal.
Menurut Nurcholish, pendekatan dari segi
bahasa akan ba nyak menolong menjelaskan makna suatu istilah. Tentang etimologi
sekularisasi, dia berpendapat: “Kata-kata ‘sekular’ dan ‘sekularisasi’ berasal
dari bahasa Barat ( Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal katakata
itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman
sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu
dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus.
Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata
ruang. Itulah sebabnya, dari segi bahasa pemakaian istilah sekular tidak
mengandung keberatan apa pun. Malah, hal itu tidak saja benar secara istilah,
melainkan juga secara kenyataan.” Jadi, secara etimologis, menurut Nurcholish,
tidak ada masalah menggunakan kata sekular untuk Islam, karena memang “manusia
adalah makhluk sekular”.
Lebih jauh Nurcholish menjelaskan tentang ini
dengan menya takan, pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas
jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme.
Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung
rasionalisme. Rasionalisasi adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan
penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Ia menganjurkan
setiap orang Muslim bersikap rasional dan melarang untuk tidak menjadi
rasionalis. Sebab rasionalis berarti mendukung rasionalisme, sedangkan
rasionalisme menurut Nurcholish waktu itu merupakan suatu paham yang
bertentangan dengan Islam. Rasionalisme meng ingkari keberadaan wahyu sebagai
media untuk mengetahui kebe naran, dan hanya mengakui wah yu semata. Dengan
demikian rasiona lisasi mempunyai arti terbuka karena merupakan suatu proses,
sedangkan rasionalisme mempunyai arti tertutup lantaran suatu paham ideologi.
Aspek sentral dari sekularisasi, yaitu bahwa
sekularisasi merupakan suatu proses, dalam pengertian mengalami perubahan dan
penambah an yang lebih besar terhadap arah proses atau tujuan proses tersebut.
Dalam hal ini karena pengertian sekular mengacu pada pengertian duniawi, maka
pengertian sekularisasi sering diartikan proses pen duniawian. Dengan proses
penduniawian untuk menye laraskannya dengan perkembangan zaman, proses ini
tidak luput dari ancaman degradasi nilai-nilai yang ada, terutama yang menjadi
korban adalah nilai agama. Pengertian sekularisasi lebih mengacu pada
pengikisan nilai-nilai agama dari pribadi-pribadi manusianya. Dengan demikian
orang tersebut ke mudian lebih menge sampingkan urusan agama dari urusan
duniawi. Urusan agama menjadi urusan pribadi yang harus dipisahkan dari urusan
kenegaraan, dari panggung politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan segala
macam urusan duniawi.
Selanjutnya, Nurcholish menyatakan bahwa
sekularisasi yang diidealisasikannya untuk lebih memanfaatkan misi duniawi
manusia bukannya tanpa dasar. Menurutnya, ajaran al-Qur’an yang berintikan pada
posisi manusia sebagai hamba Allah dan wakil Allah di muka bumi merupakan dasar
doktrinal Islam tentang sekularisasi. Dengan kata lain, Nurcholish tampaknya
memahami proses sekularisasi se bagai “pembumian” ajaran-ajaran Islam sebagai
yang inheren dengan misi kekhalifahan manusia. Di dalam al-Qur’an terdapat
sejumlah ayat-ayat yang menegaskan posisi manusia sebagai hamba dan wakil Allah
di muka bumi. Menurutnya, sikap seperti ini adalah konsekuensi logis dari
konsepsi tauhid Islam, yang intinya pemutlakan transen densi semata-mata hanya kepada
Tuhan.
Sayangnya dalam pengamatan Nurcholish saat
ini justru tidak muncul pikiran-pikiran yang segar dari kalangan umat Islam.
Karena tiadanya lembaga yang dapat berpikir bebas dan memusatkan perhati annya
pada tuntutan-tuntutan sejarah dari masyarakat serta dinamika perkembangan
ekonomi, politik dan sosial, sehingga umat Islam ke hilangan—apa yang di atas
sudah disebut—psycologycal striking force. Kondisi ini membawa implikasi
umat Islam seakan-akan kehilangan kreativitas, bersikap defensif serta
apologetik dalam merespons ide-ide besar yang “mendunia” (global, istilah
sekarang) semacam demokrasi, keadilan sosial, sosialisme, dan sebagainya.
Akibatnya, “inisiatif selalu direbut oleh pihak lain dan posisi strategis di
bidang pemikiran serta ide berada di tangan mereka, sementara umat Islam di-exclude-kan.
”
Namun belakangan, gerakan pembaruan Islam
yang dimotori Nurcholish pada tahun 1 970-an secara tidak langsung telah memperkuat
proses sekularisasi ini dengan mendukung keharusan Islam untuk melucuti
klaim-klaim politiknya agar bisa memusatkan dirinya pada imperatif-imperatif
etik dan spiritual. Diktum Nurcholish yang amat terkenal, “ Islam, Yes;
Partai Islam, No”, serta pernyataan Abdurrahman Wahid kemudian hari setelah
Nurcholish, bahwa “Islam bukanlah ideologi politik” merupakan kulminasi
dari proyek—meminjam istilah Yudi Latif—“Polity-Separation Secularization”
di Indonesia. Proses sekularisasi yang dikemukakan oleh Nurcholish di era tahun
70-an tersebut pada akhirnya telah menemukan resonansinya di kalangan
intelektual Islam Liberal generasi baru dewasa ini.
Sebagai seorang pembaru Islam yang
digolongkan ke dalam pemikiran neo-Modernis, pemikiran Nurcholish secara
mendalam didasarkan atas teologi, yakni pandangan teologi yang oleh Charles Kurzman
disebut “Islam Liberal”
yang ciri-cirinya adalah gerakan nya bersifat progresif (menerima modernitas);
Barat modern tidak dilihat sebagai ancam an, tapi justru reinventing
Islam untuk “melurus kan” modernitas Barat; Membuka peluang bagi bentuk
tertentu “otonomi duniawi” dalam berbangsa dan bernegara; dan cara pema haman
Islam yang terbuka, toleran dan inklusifpluralis. Sebagaimana yang dikatakan
Rahman,
bahwa karakteristik nyata dari tantangan modernitas, salah satunya yang paling
menonjol adalah sekularisme. Islam Liberal sesungguhnya berkaitan dengan isu
utama sekularisme, yang pengertiannya terus berkembang.
Sebagai penerus pemikiran gurunya, Fazlur
Rahman, Nurcholish menyadari bahwa Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada
persoalan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah. Apa yang telah
dilakukannya tentang pemikiran Islam, khususnya terhadap isu-isu
sosial-politik-keagamaan, seper ti sekularisasi, Islam Yes, Partai Islam No,
adalah bagian dari ijtihad intelektual Nurcholish dalam masa yang cukup
panjang, walaupun gagasan-gagasan itu di awal-awal kemunculannya telah
mengundang perdebatan, baik yang pro maupun kontra. Namun belakangan,
gagasan-gagasan tersebut mene mukan bentuknya yang paling terang dan mendapat
apresiasi di kalangan luas kalangan intelektual.
*Faiz Al-zawahir, Seorang
mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam UIN SGD Bandung; Aktivis HMI
Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten Bandung.
Nurcholish
mengusung ide tentang perlunya kebebasan berpikir sehingga memunculkan
pikiran-pikiran segar yang mempunyai daya pukul psikologis ( psychological
striking force) yang dapat merespons tuntutan-tuntutan segera, dari
kondisi-kondisi masyarakat yang terus tumbuh, baik di bidang ekonomi, politik,
maupun sosial. Dengan kata lain, umat Islam harus mampu mengambil inisiatifinisiatif
dalam pembangunan masyarakat yang bersifat duniawi. Dengan demikian, pintu
ijtihad bagi Nurcholish adalah tetap terbuka, dan merupakan keharusan bagi umat
untuk memahami agamanya. Bahkan menurut Nurcholish, jika benar-benar konsisten
terhadap ajaran agamanya, seorang Muslim harus terbuka terhadap ideide
kemajuan ( idea of progress) serta bersedia mendengarkan perkembangan
ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas mungkin, kemudian memilih di antaranya,
yang menurut ukuran-ukuran objektif mengandung kebenaran (universal). Sehingga
dengan mengoptimalkan rasio dan akal pikiran yang ada padanya, harus terlibat
dalam upaya menemukan cara-cara yang terbaik bagi kehidupan kolektif manusia. Lihat,
Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali
Pemahaman Keagamaan”, dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam, h.
489-492.
Ann Kull, Piety
and Politics, Nurcholish Madjid and His Interpretation of Islam in Modern
Indonesia (Lund: Lund University, 2005).
Fachry Ali dan
Bachtiar Eff endi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 130.
Pembahasan soal
ini, lihat, M. Syafi ’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia:
Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Musim Orde Baru (Jakarta:
Paramadina, 1995) h. 50-53.
Charles
Kurzman, Liberal Islam, Juga Greg Barton, “Indonesia’s Nurcholish Madjid
and Abdurrahman Wahid As Intellectual ‘Ulama’: ~ e Meeting of Islamic
Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist ~ ought”, dalam Studi Islamika:
Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol 4 (1), 1997, h. 29-82.
Taufi k Adnan
Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur
Rahman ( Bandung: Mizan, 1989), h. 187.
Lihat, Arskal Salim dan Azyumardi Azra,
“Negara dan Syariat dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia” dalam Syariat
Islam: Pandangan Muslim Liberal ( Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2003), h.
53-81. Dalam kaitan dengan pengembangan gagasan sekularisme ini, pertanyaan
seperti, “Apakah Indonesia akan lebih condong untuk menganut ide negara Islam?”
menjadi pertanyaan penting, yang terus perlu diamati perkembangan sosial
politiknya. Kalangan Islam Liberal—atau istilah lain yang dipakai dalam tulisan
ini, Islam Liberal—sangat menyadari bahwa kecenderungan Indonesia condong ke
negara Islam bukanlah hal yang mustahil, karena isu negara Islam—seperti
dikemukakan di atas—mengalami proses kontestasi di dalam perdebatan sistem
politik Islam, di dalam internal kalangan umat Islam itu sendiri. Namun di atas
segalanya, melihat kecenderungan yang ada saat ini, di mana hampir semua
aspirasi penerapan syariat Islam secara formal tidak mendapat umpan balik secara
positif, maka transformasi Indonesia menjadi negara Islam, menurut mereka
agaknya masih “jauh panggang dari api”.