Jumat, 01 Agustus 2014

Debat Sekularisme di Indonesia Nurcholish Madjid



Debat Sekularisme di Indonesia
Nurcholish Madjid


Menyadari  bahwa persoalan-persoalan di atas bukan semata-mata berdimensi politis, tetapi lebih dari itu mempunyai masalah teologis juga, Nurcholish mencoba memberi suatu alternatif pemecahan, khususnya yang berkaitan dengan dimensi teologis.[1] Nurcholish berpendapat bahwa akar persoalan yang dihadapi komunitas Islam ketika itu adalah hilangnya “daya gerak psikologis” (psychological strikingforce) —yang itu jelas diperoleh dari agama.[2] Hal ini ditandai oleh ketidakmampuan umat Islam, yang diwakili oleh para pemim pinnya, untuk membedakan antara nilai-nilai yang transendental dan yang temporal. Karenanya, Nurcholish menyarankan agar umat Islam membebaskan dirinya dari kecenderungan untuk menempatkan hal-hal yang semestinya duniawi sebagai duniawi, dan hal-hal yang semestinya ukhrawi sebagai ukhrawi (akhirat).
Dari sinilah kemudian muncul gagasan tentang “sekularisasi” yang merupakan respons terhadap fenomena sosial politik yang ber kembang pada awal rezim Orde Baru, yang merupakan implementasi gagasan dan pemikiran Nurcholish terhadap Islam sebagai agama yang terbuka dan menganjurkan idea of progress. Nurcholish mengajak agar umat Islam senantiasa berani melakukan ijtihad, termasuk dalam merespons persoalan-persoalan Indonesia kontemporer. Nurcholish juga mengajak umat Islam agar tidak phobi terhadap fenomena modernisasi, yang di antara implikasinya adalah penerimaan atas sekularisasi.[3]
Dalam dunia pemikiran, gagasan sekularisasi merupakan bagian tak terpisahkan dari ijtihad Nurcholish. Pengertian sekularisasi dimak­sudkannya sebagai suatu proses penduniawian, dalam pengertian meletakkan peranan utama pada ilmu pengetahuan. Maka pengertian pokok tentang sekularisasi yaitu pengakuan wewenang ilmu penge tahuan dan penerapan dalam membina kehidupan duniawi, dan ilmu pengetahuan itu sendiri terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaannya.
Dalam pandangan Nurcholish, sekularisasi mempunyai kaitan erat dengan desakralisasi, karena keduanya mengandung unsur pembebasan. Sekularisasi berarti terlepasnya atau pembebasan dunia dari pengertian religius. Begitu pula desakralisasi dimaksudkan sebagai penghapusan atau pembebasan dari legitimasi sakral. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan sebenarnya harus melahirkan “desakralisasi” pandangan terhadap semua selain Tuhan; sebab sakrali sasi kepada sesuatu selain Tuhan pada hakikatnya adalah syi rik—yang meru pakan lawan dari tauhid. Maka semua objek yang selama ini dianggap sakral tersebut merupakan objek yang harus didesakralisasikan.[4]
Dengan pembebasan berarti manusia mengarahkan hidupnya menuju keadaan asli (fitrah), selaras dengan eksistensinya, serta mem bebaskan diri dari keinginan duniawi yang cenderung ke arah sekular. Islam tidak memberikan makna sakral kepada alam seisinya, terhadap langit, bumi, bintang, gunung, sungai, pohon, batu, lautan dan segala yang ada di alam. Islam melihat semua itu sebagai ciptaan Tuhan, sebagai ayat Tuhan yang tidak boleh disakralkan. Bahkan justru ayat-ayat atau tanda-tanda inilah yang harus diungkapkan, diselidiki, dan dimanfaatkan untuk kepenting­an manusia. Kelebihan yang telah diberikan Tuhan berupa akal inilah yang harus digunakan untuk membongkar rahasia alam yang merupakan komponen fundamental dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Dengan uraiannya tentang sekularisasi itu, Nurcholish bermaksud membedakan bukan memisahkan persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi. Pembedaan ini diperlukan karena ia melihat umat Islam tidak bisa melihat dan memahami persoalan secara proporsional. Para meter yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap nilai-nilai yang “islami” sering kali dikaitkan dengan tradisi yang sudah dianggap mapan. Sehingga Islam disejajarkan dengan tradisi, dan menjadi islami disederajatkan dengan menjadi tradisionalis. Karena itu membela Islam sama dengan membela tradisi, sehingga sering muncul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner. Pandangan-pandangan para pemimpin Islam yang seperti ini menurut Nurcholish telah menyebabkan mereka kurang memberikan respons yang wajar terhadap perkembang an pemikiran yang ada di dunia saat ini.
Dengan maksud lebih memberikan penegasan kepada apa yang dimaksudkannya sebagai sekularisasi, Nurcholish sekali lagi menga takan sekularisasi yang diidealisasikannya tidak dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslim menjadi sekularis. “Tetapi dimaksudkan untuk men duniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, serta melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya”. Melalui defi nisi sekula risasi semacam ini, umat Islam akan terbiasa dengan sikap mental untuk selalu menguji kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral maupun sejarah.
Menurut Nurcholish, sekularisasi bukanlah sekularisme dan bahkan tidak identik dengan sekularisme sebagai paham tertutup, dan merupakan ideologi tersendiri yang lepas dari agama. Sekularisme dalam konteks demikian bukan sebuah proses tetapi sebuah ideologi tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama.[5]
Gagasan sekularisasi yang dimaksud Nurcholish bukanlah sekularisme seperti yang dikenal di Barat ( Eropa), tetapi sekularisasi sebagai salah satu bentuk “liberalisasi” atau pembebasan terhadap pandangan-pandangan keliru yang sudah mapan. Dalam uraiannya, Nurcholish secara terbuka mengemukakan bahwa ia sama sekali tidak bermaksud menerapkan sekularisme. Bahkan konsisten dengan pandangan yang telah ditulisnya dua tahun sebelumnya. Ia dengan tegas menolak sekularisme. Nurcholish menjelaskan:
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekula risme, sebab secularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion. Dalam hal ini yang dimaksud ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal.[6]
Menurut Nurcholish, pendekatan dari segi bahasa akan ba nyak menolong menjelaskan makna suatu istilah. Tentang etimologi sekularisasi, dia berpendapat: “Kata-kata ‘sekular’ dan ‘sekularisasi’ berasal dari bahasa Barat ( Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata­kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata ruang. Itulah sebabnya, dari segi bahasa pemakaian istilah sekular tidak mengandung keberatan apa pun. Malah, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan juga secara kenyataan.” Jadi, secara etimologis, menurut Nurcholish, tidak ada masalah menggunakan kata sekular untuk Islam, karena memang “manusia adalah makhluk sekular”.
Lebih jauh Nurcholish menjelaskan tentang ini dengan menya takan, pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalisasi adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Ia menganjurkan setiap orang Muslim bersikap rasional dan melarang untuk tidak menjadi rasionalis. Sebab rasionalis berarti mendukung rasionalisme, sedangkan rasionalisme menurut Nurcholish waktu itu merupakan suatu paham yang bertentangan dengan Islam. Rasionalisme meng ingkari keberadaan wahyu sebagai media untuk mengetahui kebe naran, dan hanya mengakui wah yu semata. Dengan demikian rasiona lisasi mempunyai arti terbuka karena merupakan suatu proses, sedangkan rasionalisme mempunyai arti tertutup lantaran suatu paham ideologi.[7]
Aspek sentral dari sekularisasi, yaitu bahwa sekularisasi merupakan suatu proses, dalam pengertian mengalami perubahan dan penambah an yang lebih besar terhadap arah proses atau tujuan proses tersebut. Dalam hal ini karena pengertian sekular mengacu pada pengertian duniawi, maka pengertian sekularisasi sering diartikan proses pen duniawian. Dengan proses penduniawian untuk menye laraskannya dengan perkembangan zaman, proses ini tidak luput dari ancaman degradasi nilai-nilai yang ada, terutama yang menjadi korban adalah nilai agama. Pengertian sekularisasi lebih mengacu pada pengikisan nilai-nilai agama dari pribadi-pribadi manusianya. Dengan demikian orang tersebut ke mudian lebih menge sampingkan urusan agama dari urusan duniawi. Urusan agama menjadi urusan pribadi yang harus dipisahkan dari urusan kenegaraan, dari panggung politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan segala macam urusan duniawi.
Selanjutnya, Nurcholish menyatakan bahwa sekularisasi yang diidealisasikannya untuk lebih memanfaatkan misi duniawi manusia bukannya tanpa dasar. Menurutnya, ajaran al-Qur’an yang berintikan pada posisi manusia sebagai hamba Allah dan wakil Allah di muka bumi merupakan dasar doktrinal Islam tentang sekularisasi. Dengan kata lain, Nurcholish tampaknya memahami proses sekularisasi se bagai “pembumian” ajaran-ajaran Islam sebagai yang inheren dengan misi kekhalifahan manusia. Di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat-ayat yang menegaskan posisi manusia sebagai hamba dan wakil Allah di muka bumi. Menurutnya, sikap seperti ini adalah konsekuensi logis dari konsepsi tauhid Islam, yang intinya pemutlakan transen densi semata-mata hanya kepada Tuhan.[8]
Sayangnya dalam pengamatan Nurcholish saat ini justru tidak muncul pikiran-pikiran yang segar dari kalangan umat Islam. Karena tiadanya lembaga yang dapat berpikir bebas dan memusatkan perhati annya pada tuntutan-tuntutan sejarah dari masyarakat serta dinamika perkembangan ekonomi, politik dan sosial, sehingga umat Islam ke hilangan—apa yang di atas sudah disebut—psycologycal striking force. Kondisi ini membawa implikasi umat Islam seakan-akan kehilangan kreativitas, bersikap defensif serta apologetik dalam merespons ide-ide besar yang “mendunia” (global, istilah sekarang) semacam demokrasi, keadilan sosial, sosialisme, dan sebagainya. Akibatnya, “inisiatif selalu direbut oleh pihak lain dan posisi strategis di bidang pemikiran serta ide berada di tangan mereka, sementara umat Islam di-exclude-kan. ”[9]
Namun belakangan, gerakan pembaruan Islam yang dimotori Nurcholish pada tahun 1 970-an secara tidak langsung telah memper­kuat proses sekularisasi ini dengan mendukung keharusan Islam untuk melucuti klaim-klaim politiknya agar bisa memusatkan dirinya pada imperatif-imperatif etik dan spiritual. Diktum Nurcholish yang amat terkenal, “ Islam, Yes; Partai Islam, No”, serta pernyataan Abdurrahman Wahid kemudian hari setelah Nurcholish, bahwa “Islam bukanlah ideologi politik” merupakan kulminasi dari proyek—meminjam istilah Yudi Latif—“Polity-Separation Secularization” di Indonesia. Proses sekularisasi yang dikemukakan oleh Nurcholish di era tahun 70-an tersebut pada akhirnya telah menemukan resonansinya di kalangan intelektual Islam Liberal generasi baru dewasa ini.
Sebagai seorang pembaru Islam yang digolongkan ke dalam pemikiran neo-Modernis, pemikiran Nurcholish secara mendalam didasarkan atas teologi, yakni pandangan teologi yang oleh Charles Kurzman disebut “Islam Liberal”[10] yang ciri-cirinya adalah gerakan nya bersifat progresif (menerima modernitas); Barat modern tidak dilihat sebagai ancam an, tapi justru reinventing Islam untuk “melurus kan” modernitas Barat; Membuka peluang bagi bentuk tertentu “otonomi duniawi” dalam berbangsa dan bernegara; dan cara pema haman Islam yang terbuka, toleran dan inklusif­pluralis. Sebagaimana yang dikatakan Rahman,[11] bahwa karakteristik nyata dari tantangan modernitas, salah satunya yang paling menonjol adalah sekularisme. Islam Liberal sesungguhnya berkaitan dengan isu utama sekularisme, yang pengertiannya terus berkembang.[12]
Sebagai penerus pemikiran gurunya, Fazlur Rahman, Nurcholish menyadari bahwa Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada persoalan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah. Apa yang telah dilakukannya tentang pemikiran Islam, khususnya terhadap isu-isu sosial-politik-keagamaan, seper ti sekularisasi, Islam Yes, Partai Islam No, adalah bagian dari ijtihad intelektual Nurcholish dalam masa yang cukup panjang, walaupun gagasan-gagasan itu di awal-awal kemunculannya telah mengundang perdebatan, baik yang pro maupun kontra. Namun belakangan, gagasan-gagasan tersebut mene mukan bentuknya yang paling terang dan mendapat apresiasi di kalangan luas kalangan intelektual.

*Faiz Al-zawahir, Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam UIN SGD Bandung; Aktivis HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten Bandung.


[1] Nurcholish, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabatnya, Eki Syachrudin, adalah salah satu contoh terbaik dalam kehidupan berorganisasi dan berpolitik. Ia adalah seorang demokrat yang konsekuen dalam kata dan perbuatan. Ia mendudukkan dirinya pada cita-cita yang benar tentang pencapaian suatu masyarakat yang sehat dan bersih. Lebih lengkapnya, lihat, Eki Syachrudin, Moral Politik sebuah Refl eksi ( Jakarta: LP3ES, 2006) h. 503-506.
[2] Nurcholish mengusung ide tentang perlunya kebebasan berpikir sehingga memunculkan pikiran-pikiran segar yang mempunyai daya pukul psikologis ( psychological striking force) yang dapat merespons tuntutan-tuntutan segera, dari kondisi-kondisi masyarakat yang terus tumbuh, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Dengan kata lain, umat Islam harus mampu mengambil inisiatif­inisiatif dalam pembangunan masyarakat yang bersifat duniawi. Dengan demikian, pintu ijtihad bagi Nurcholish adalah tetap terbuka, dan merupakan keharusan bagi umat untuk memahami agamanya. Bahkan menurut Nurcholish, jika benar-benar konsisten terhadap ajaran agamanya, seorang Muslim harus terbuka terhadap ide­ide kemajuan ( idea of progress) serta bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas mungkin, kemudian memilih di antaranya, yang menurut ukuran-ukuran objektif mengandung kebenaran (universal). Sehingga dengan mengoptimalkan rasio dan akal pikiran yang ada padanya, harus terlibat dalam upaya menemukan cara-cara yang terbaik bagi kehidupan kolektif manusia. Lihat, Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan”, dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam, h. 489-492.

[3] Ann Kull, Piety and Politics, Nurcholish Madjid and His Interpretation of Islam in Modern Indonesia (Lund: Lund University, 2005).
[4] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid,Djohan Eff endi, Ahmad wahib dan Abdurrahman Wahid ( Jakarta: Paramadina, 1995), h. 108-109.
[5] Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, h. 218-219.
[6] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 207.
[7] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 219.
[8] Fachry Ali dan Bachtiar Eff endi, Merambah Jalan Baru Islam, h. 130.

[9] Pembahasan soal ini, lihat, M. Syafi ’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Musim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995) h. 50-53.

[10] Charles Kurzman, Liberal Islam, Juga Greg Barton, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid As Intellectual ‘Ulama’: ~ e Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in Neo-Modernist ~ ought”, dalam Studi Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol 4 (1), 1997, h. 29-82.
[11] Taufi k Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman ( Bandung: Mizan, 1989), h. 187.
[12] Lihat, Arskal Salim dan Azyumardi Azra, “Negara dan Syariat dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia” dalam Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal ( Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2003), h. 53-81. Dalam kaitan dengan pengembangan gagasan sekularisme ini, pertanyaan seperti, “Apakah Indonesia akan lebih condong untuk menganut ide negara Islam?” menjadi pertanyaan penting, yang terus perlu diamati perkembangan sosial politiknya. Kalangan Islam Liberal—atau istilah lain yang dipakai dalam tulisan ini, Islam Liberal—sangat menyadari bahwa kecenderungan Indonesia condong ke negara Islam bukanlah hal yang mustahil, karena isu negara Islam—seperti dikemukakan di atas—mengalami proses kontestasi di dalam perdebatan sistem politik Islam, di dalam internal kalangan umat Islam itu sendiri. Namun di atas segalanya, melihat kecenderungan yang ada saat ini, di mana hampir semua aspirasi penerapan syariat Islam secara formal tidak mendapat umpan balik secara positif, maka transformasi Indonesia menjadi negara Islam, menurut mereka agaknya masih “jauh panggang dari api”.

BERFIKIR SEBAGAI WUJUD SYUKUR TERHADAP ANUGERAH TUHAN



BERFIKIR SEBAGAI WUJUD SYUKUR TERHADAP ANUGERAH TUHAN
Oleh : Faiz al-zawahir*

            Ketika seorang mencoba untuk membuat suatu berfikir radikal, mereka akan mengalami problematika dalam benturan teologis, hal ini saya alami hari ini, dimana secara sekilas Nampak adanya pertentangan antara yang dogma-dogma serta tradisi yang disakralkan dalam kehidupan masyarakat dengan rekonstruksi berfikir dengan mengedepankan rasionalitas yang condong berimplikasi terhadap relativisme, artinya munculnya polemik dalam diri ini mempertanyakan kebenaran dari dogma itu serta tujuan dari tradisi-tradisi keagamaan. Konflik pemikiran dan perasaan yang bergejolak dalam proses berfikir seseorang tak jarang menjadikan manusia itu gelisah dan terus mencari jawaban mana yang benar dan mana yang salah. Hal itu sebagai fitrah manusia, fitrah adalah anugrah dari Tuhan yang begitu besar di mana manusia selalu condong pada kebenaran dan hati nuraninya senantiasa ingin menggapai kebenaran tersebut.
Manusia diberikan tuhan akal untuk berfirkir terkadang pemikiran yang dipakai oleh manusia menentang apa yang menjadi ideologisya. Kita tahu  yang diperlukan adalah solusi dalam pemecahan atatu dekontruksi kesestan berfikir, kendala yang peling signifikan seperti menentang aturan absolitis agama, orang ingin berfikir bebas tapi dalam alurnya mereka loncat dan menyelam di naluri pemikiran manusia lainya.
Pendayagunaan akal guna mencapai keimanan dan keislman yang ajeg merupakan prasyarat mutlak dalam agama islam. Addinu huwal aqlu Ladinu liman la aqlu lahu agama adalah akal maka tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan akalnya. Akal bisa mengatarkan manusia menuju keislaman yang utuh dan keimanan yang teguh ketika dalam prosesnya menggunakan kerangka berfikir yang islami dengan berpondasikan nilai-nilai ilahiyah dan nilai insaniyah yang diajarkan oleh
Salah satu pembaharu pemikiran muda adalah WAHIB, wahib merupakan pemuda yang mengedepankan kebebasan berfikir sebagai bukti mensyukuri nikmat TuhanNya, dia mengatakan bahwa menilai baik dan buruk itu bukan berdasar dari Al-Qur’an dan Sunnah tetapi dari penilian akalnya. Saat orang melihat pernyataan ini mungkin mereka akan berasumsi ini kesesatan berfikir, tapi maksud darinya bukan kita menentang Al-Qur’an dan Sunnah tapi bagaimna kita sebagai manusia menggunakan akalnya untuk berfikir jangan hanya terpaku pada diktum agama, inilah wahib yang memberikan kebebsan berfikir tanpa apologia diktum agama. Keterbatasan, kebencian, permusuhan timbul karena perbedaan berfikir apapun itu, baik pemahaman agama, politik, sosial dan lainya contoh kita tahu Islam itu satu tap mengapa dalam pelaksanaan ritual ibadah, banyak perbedaan ?? apakah ini kesesatan agama ? apakah ini sekenario tuhan ?? inilah perbedaan kerangka dalam berfikir.
Kita ketahui satu kepala dengan kepala lainya itu berbeda meskipun rambut sama hitam, sama dari Tuhan, tapi inilah romantisme dalam berfikir, jangan pernah kita katakan perbedaan pasti memunculakan permusuhan tapi berikan konstruktif dalam rasionlitas kita, permusuhan timbul karena egoisme, tidak saling menghargai, merasa paling benar sehingga transformasi kebenarannya menjadi polemik baru.
Kasih sayang yang kita berikan tidak hanya utnuk orang yang kita sayani dan cintai, tapi kasih dan sayang kita harus kita berikan pada keanekaragaman berfikir , mencoba untuk mencitai perbedaan sama halnya dengan menghargai dan memberikan ruang hati untuk memunculkan ke-ikhlasan, kita sama-sama punya Tuhan, kita pun sama punya persamaan dan perbedaan , menciptakan stabilitas berfikir itulah harapan kita semua teringat catatan harian Ahmad Wahib diantaranya : 
Aku bukan nasionalis, bukan Katoloik, bukan sosialis, aku bukan budha, Protestan,bukan westernis.
Aku bukan komunis aku bukan humanis,
aku adalah semuanya . mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim.
Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan tanpa menghubung-hibngkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat
( Ahmad Wahib, 1981 : 41 )

Ini merupakan salah satu contoh kecil dari seorang Wahib, mari kita berutopis bersama bahwa hari esok kita dapat menghargai perbedaan tanpa melihat dari mana dia berasal. Kawan-kawan semua kita hidup dalam ruang lingkup keberagaman, serta polemik berfikir , kita berada pada lingkungan mayoritas Islam , kunci untuk menjadikan keamanan serta kenyamanan dalam bersosial adalah stabilitas dalam berfikir dengan mengedepankan persaudaraan dan persatuan.


*Faiz Al-zawahir, Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam UIN SGD Bandung; Aktivis HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten Bandung.