Ringkasan
pemikiran Abdullah Ahmed An-Na'im dalam buku
Islam dan Negara Sekuler
1.
Biografi Abdullah
Ahmed An-Na'im
Abdullah Ahmed An-Na'im, lebih familiar disebut
An-Na'im, lahir di Sudan pada tahun 1946, satu tahun setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Na'im meyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Khartoum
Sudan dan mendapat gelar LL.B dengan predikat cumlaude. Tiga tahun kemudian
(1973) An-Na'im mendapat tiga gelar sekaligus LL.B., LL.M., dan M.A. (diploma
dalam bidang kriminologi) dari University of Cambridge, English. Pada tahun
1976, dia mendapat gelar Ph.D., dalam bidang hukum dari University of
Edinburgh, Scotland, dengan disertasi tentang perbandingan prosedur
prapercobaan kriminal (hukum Inggris, Skotlandia, Amerika, dan Sudan).
Pada bulan November 1976 sampai Juni 1985,
An-Na'im menjadi staf pengajar ilmu Hukum di Universitas Khartoum, Sudan. Pada
tahun yang sama (1979-1985) An-Na'im menjadi ketua jurusan hukum publik di
almamater yang sama. Pada bulan Agustus tahun 1985-Juni 1992 An-Na'im menjadi
profesor tamu Olof Palme di Fakultas Hukum, Universitas Upshala, Swedia. Pada
bulan Juli 1992-1993 menjadi sarjana, tinggal di kantor The Ford Foundation
untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, di Kairo, Mesir. Pada bulan Juli
1993-April 1995 menjadi Direktur Eksekutif Pengawas HAM di Washington D.C. Dan
sejak Juni 1985 sampai sekarang menjadi profesor hukum di Universitas Emory,
Atalanta, GA., Amerika Serikat.
Selain sosok intlektual yang akademis, yang
dibuktikan dengan jabatan-jabatan formalnya di struktur birkrasi Universitas
Khartoum, Sudan, dan Universitas Emory, Atalanta, GA., Amerika Serikat. Ahmad
Al-Na'im juga sosok aktifis sosial, Hukum, dan politik. Ini dapat diketahui
melalui keterlibatannya lembaga HAM,bahkan menjadi Direktur Eksekutif Pengawas
HAM di Washington D.C. dapat pula diketahui melalui tulisan-tulisan lepas dan
buku-buku karya beliua yang notabene persoalan HAM, Islam, hukum. Abdullah
Ahmad Al-Na'im adalah sosok pemikir yang langka, seperti yang disinyalir oleh
Myer, bahwa Ahmad Al-Na'im, selain ahli hukum dan Islam diajuga ahli dibidang
hubungan internasional. Kepiawaiannya menghubungkan dua displin ilmu yang
memiliki akar yang berbeda tersebut, menjadikannya sosok ilmuan yang susah
dicari duanya.
An-Na’im
adalah murid dari Mahmoed Mohamed Taha pendiri partai Persaudaraan
Republik (The Republican Brotherhood) pada akhir Perang Dunia II
sebagai partai alternatif di tengah-tengah perjuangan nasionalis Sudan.
An-Na’im menerjemahkan karya besar gurunya Al-Risalah al-Tsaniyah minal
Islam ke dalam bahasa Inggris menjadi The Second Message of Islam, kemudian
dicetak tahun 1987 setelah sembilanbelas tahun ia resmi menjadi anggota
Persaudaraan Republik yang pada saat itu masih studi di Universitas Khartoum
fakultas hukum.
Pada
tahun 1973 ia memperoleh gelar LL.B dan Diploma di Fakultas Kriminologi
Universitas Cambridge dan tiga tahun kemudian (1976) memperoleh gelar Ph.D di
bidang hukum dari Universitas Edinburgh, lalu kembali ke Sudan menjadi
pengacara dan dosen hukum di Universitas Khatoum. Menjelang tahun 1979 ia
menjadi kepala Departemen Hukum Publik di Fakultas Hukum Universitas Khartoum.
Kaum
Republikan ini tetap mendukung Numeyri sepanjang tahun 70-an sampai 80-an.
Dukungan diberikan selam rezim tersebut mempertahankan kebijakan nasional
tentang kesatuan dan menahan diri untuk tidak memakai yang merugikan kaum
perempuan dan non-muslim Sudan. Setelah syari’ah diterapkan secara paksa
melalui keputusan presiden awal Agustus 1983, yang menggoyahkan kesatuan
nasional antara Muslim Utara dengan non-Muslim Selatan, maka sejak itu kaum
Republikan menyatakan oposisinya terhadap rezim ini.
Akibat
dari pernyataan oposisinya mereka terhadap program islamisasi Numeyri, maka
selama kurang lebih satu setengah tahun, An-Na’im ditahan bersama sekitar 30
orang pimpinan Persaudaraan Republik, termasuk gurunya Taha. Pada akhir tahun
1984 mereka dibebaskan, namun Taha ditangkap kembali bersama beberapa pimpinan
lainnya dengan tuduhan menghasut dan pelanggaran lainnya, tetapi hanya Taha
yang kemudian dihukum mati pada tangal 18 Januari 1985 oleh rezim Sudan Ja’far
Numeyry. Sejak itu kelompok ini sepakat untuk tidak terlibat dalam aktivitas
politik dan secara resmi membubarkan diri.
2.
Inti Pemikiran Abdullah Ahmed
An-Na'im
v Metodologi
Pemikiran An-Na’im
Reformasi
Islam atau dekonstruksi syari’ah yang digagas an-Na’im yang kemudian terkenal
ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap pemikirannya bermaksud
memberikan solusi bagi proses perubahan persepsi, sikap dan kebijakan umat
Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan sekuler. Tesisnya mengatakan bahwa jika
tidak dibangun dasar pembaruan modernis murni yang dapat diterima secara
keagamaan, maka umat Islam sekarang dan akan datang hanya punya dua
alternative, yaitu mengimplementasikan syari’ah dengan segala kelemahan dalam
menjawab dinamika zaman dan masalahnya, atau meninggalkannya dan memilih hukum
publik sekuler”.
Menurut
an-Na’im, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis,
mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang
mendesak sepaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang”.
Selanjutnya
an-Na’im mengambil metode gurunya, yaitu metodologi pembaharuan yang
revolusioner, yang digambarkan sebagai evolusi legislasi Islam (modern
mistical approach), yang intinya suatu ajakan untuk membangun prinsip
penafsiran baru yang memperbolehkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah.
Pendekatan ini jika diterapkan akan mampu memecahkan kebuntuan antara tujuan
pembaruan, keterbatasan konsep dan teknik syari’ah historis.
Prinsip
naskh pembatalan teks al-Qur’an dan Sunnah tertentu untuk
tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks-teks al-Qur’an dan Sunnah untuk
tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks al-Qur’an dan Sunnah yang lain sangat
menentukan bagi validitas teoritik dan kelangsungan praktek dari pendekatan
evolusioner. Kemudian memadukan teori naskh tersebut dengan
prinsip-prinsip umum tentang analisa kongkret terhadap implikasi-implikasi
hukum publik Islam. Utamanya terhadap keseimbangan hak-hak muslim dan
non-muslim serta laki-laki dan perempuan dalam menentukan nasib sendiri. Inilah
harga kemanusian yang tertimbun dalam formulasi teoritik syari’ah tradisional.
An-Na’im
mengadopsi teori naskh gurunya dengan alasan bahwa:
a.
Pesan Mekah adalah pesan abadi dan fundamental yang menginginkan
egalitarianisme seluruh umat manusia. Karena pesan Mekah ini belum siap
diterapkan oleh manusia pada abad ketujuh, maka Allah menurunkan pesan Madinah
yang lebih sesuai dengan kondisi zaman waktu itu.
b.
Pemberlakuan teori naskh lama itu tidak permanen, karena jika permanen
berarti umat Islam menolak sebagian dari agamanya.
3. Implementasi Pemikiran An-Na’im
Pemikiran
an-Na’im adalah formulasi yang menyeluruh, mencakup struktur politik, sosial,
hukum pidana, hukum internasional, dan hak-hak asasi manusia. Dalam bukunya Dekonstruksi
Syari’ah an-Na’im lebih memfokuskan pada tiga masalah pokok, yaitu
perbudakan, gender dan non-muslim. Dari tiga pokok masalah tersebut dijabarkan
dalam beberapa hal, diantaranya berikut ini:
a. Syari’ah dan Konstitusional Modern
Istilah
konstitusionalisme mengimplikasikan pembatasan hukum atas kekuasan penguasa dan
pertanggungjawaban politiknya terhadap sekelompok manusia lain. Beberapa ulama
telah menyatakan pendangan bahwa karena Tuhan sendiri pembuat undang-undang
dalam Islam, maka tidak ada ruang abadi legislasi atau kekuasan legislatif di
bawah syari’ah. Hal ini dibantah oleh an-Na’im bahwa pertimbangan manusia harus
tetap digunakan dalam menentukan prinsip-prinsip dan aturan-aturan syari’ah yang
bisa diterapkan. Baik al-Qur’an maupun Sunnah harus ditafsirkan untuk
mengembangkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum.
b. Syari’ah dan Hak Asasi Manusia
Ada suatu
prinsip normatif umum yang dimiliki oleh semua tradisi kebudayaan besar yang
mampu menopang standar universal hak-hak asasi manusia. Prinsip itu menyatakan
bahwa seseorang harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan
diperlakukan orang lain. Aturan yang teramat indah ini mengacu pada prinsip
resiprositas yang sesungguhnya dimiliki oleh semua tradisi agama besar di
dunia. Selain itu kekuatan moral dan logika dari proposisi yang sederhana ini
dapat dengan mudah diapresiasi oleh semua umat manusia, baik tradisi kultural
maupun persuasi filosofis. Menurut Taha bahwa prinsip murni dalam Islam adalah
kebebasan. Perbudakan bukan ajaran murni Islam. Diskriminasi laki-laki dan
perempuan bukan ajaran murni Islam, poligami bukan ajaran murni Islam dan
perceraian juga bukan ajaran murni Islam Problem berkenaan dengan penggunaan
prinsip resiprositas dalam konteks ini adalah kecendrungan tradisi kultural,
khususnya agama, untuk membatasi penerapan prinsip terhadap keanggotaan tradisi
kultural dan agama yang lain, bahkan pada kelompok tertentu dalam tradisi atau
agama itu sendiri. Konsepsi prinsip resiprositas historis berdasarkan syari’ah
tidak berlaku bagi perempuan dan non-muslim sebagaimana untuk laki-laki muslim.
Intinya menurut an-Na’im bahwa hak-hak asasi manusia didasarkan pada kedua
kekuatan utama yang memotivasi seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk
hidup dan kehendak untuk bebas. Melalui kehendak untuk hidup, umat manusia
selalu berusaha keras untuk menjamin kebutuhan makan, perumahan dan apa saja
yang berkaitan dengan pemeliharaan hidup. Penghapusan perbudakan mungkin baik sebagai
contoh pertama dari penerimaan hak-hak asasi internasional sebagai suatu
batasan terhadap jurisdiksi domestik. An-Na’im menegaskan disini dengan alasan
bahwa pandangan syari’ah yang membatasi hak asasi manusia dibenarkan oleh
konteks historis, tetapi tidak untuk mengatakan bahwa pandangan itu masih
dibenarkan karena konteks historis sekarang sudah berbeda sama sekali. Hukum
Islam modern tidak dapat mengesampingkan konsep hak-hak asasi manusia mutakhir
jika ia harus diterapkan sekarang.
4. Teori Naskh An-Na’im
Pemahan
an-Na’im terhadap konsep naskh berbeda dengan apa yang telah berlaku dalam
literatur yurisprudensi Islam. Hal ini didasarkan ayat naskh (2:106)
yang diterjemahkan Taha sebagai berikut: “Ayat yang kami naskh
(menghapuskan hukum suatu ayat) atau yang Kami tunda pelaksanaan hukumnya, maka
Kami gantikan dengan ayat yang lebih dekat dengan pemahaman manusia, atau
memulihkan berlakunya ayat itu pada saat yang tepat”.
Fenomena
naskh yang diakui oleh para ulama, merupakan bukti terbesar akan
adanya dialektika hubungan antara wahyu dengan realitas. Namun muncul dua
problem mendasar yaitu: (1) bagaimana mengkompromikan antara fenomena ini
dengan konsekuensi yang ditimbulkannya, yaitu perubahan teks dengan naskh
dengan keyakinan umum dan kuat tentang adanya wujud azali dai teks di Lauh
Mahfuz? (2) Sebagian dari teks telah terlupakan dari ingatan ketika
pengumpulan al-Qur’an masa Abu Bakar.
Naskh
yang dimaksud an-Na’im adalah suatu teks masih menjadi bagian al-Qur’an tetapi
dianggap tidak berlaku secara hukum. Hal ini didasarkan atas pembedaan antara
surat al-Qur’an yang diwahyukan selama periode Makkah dan Madinah. Surat Makkah
lebih memperhatikan masalah spiritual dan cakrawala keagamaan, sedang surat
Madinah problem politik, sosial dan hukum menjadi lebih ditekankan. An-Na’im
menegaskan bahwa kaum Muslim bebas menemukan ayat-ayat mana yang sesuai dengan
kebutuhan spesifik mereka. Dengan kata lain bahwa syari’ah historis yang
dimaksud an-Na’im hanya berlaku bagi masyarakat muslim masa lampau, sedang bagi
masyarakat sekarang adalah menerapkan ayat-ayat yang menekankan
konstitusionalisme, hak asasi manusia dan internasionalisme.
An-Na’im
dengan teori naskh yang diadopsi dari gurunya ingin mengatakan bahwa ayat yang
digunakan sebagai basis hukum Islam pada saat ini dicabut dan digantikan dengan
ayat yang terhapus untuk dijadikan basis hukum Islam modern.
Teori
naskh yang dikedepankan oleh an-Na’im seirama dengan teori fenomenologi yang
yang dibangun Edmund Husserl. Dimana teori tersebut membiarkan fakta
(al-Qur’an) berbicara apa adanya tanpa ada penilaian subyektif. Namun salah
satu kelemahan pendekatan an-Na’im adalah perhatiannya yang terlalu besar
terhadap teori naskh, karena hanya sebagian kecil saja ayat-ayat madaniyah yang
berfungi sebagai nasikh bagi ayat-ayat Makkiyah, selebihnya ayat-ayat tersebut
berfungsi sebagai tafshil al-mujmal, takhshish al-‘aam, taqyid al-muthlaq
dan sebagai penyempurna.
As-Suyuti
menjelaskan bahwa hanya 21 ayat al-Qur’an yang menerima naskh. Adapun mengenai alasan sedikitnya ayat yang
dinaskh, menurut asy-Syatibi adalah karena hukum-hukum kulliyat dan
kaidah ushuliyah dalam agama.
Disamping
itu, menurut Arkoun metodologi pembaharuan hukum Islam an-Na’im merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari proses revolusioner dalam bentuk
konstitusionalisme modern, hukum internasional modern, hak asasi manusia dan
hukum pidana yang telah berlangsung untuk pertama dan hanya di Eropa. Oleh
sebab itu, tidak heran jika an-Na’im banyak menggunakan kesimpulan-kesimpulan
para orientalis untuk memastikan relevansi upayannya dengan tuntutan
modernitas. Hal itu nampak dari pengakuan an-Na’im bahwa sains Barat, walaupun
tidak dapat memberikan moralitas global dan kerangka hukum anutan bagi
perlindungan hak asasi manusia, sangat berguna dalam mempertajam metodologi
penelitian ilmiah yang berusaha menemukan landasan lintas budaya bagi hak asasi
manusia internasional.
v Reformasi
Syariah
Istilah ini digunakan oleh An-Na’im untuk
menyebut Syariat Islam. Menurut Na’im, umat Islam sedunia boleh menerapkan
hukum Islam, asal tidak melanggar hak orang dan kelompok lain, baik di dalam
maupun di luar komunitas Islam. Tapi menurutnya jika syariat histories ini
diterapkan kan menimbulkan masalah serius menyangkut masalah-masalah
konstitusionalisme, hukum pidana, hubungan internasional dan hak-hak asasi
manusia.
Dan yang paling merasakan kerugian,
menurutnya lagi, adalah masyarakat non-Muslim dan wanita. Bagi masyarakat
non-Muslim mereka akan menjadi masyarakat kelas kedua, dan bagi wanita pula
mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Tapi kaum
lelakipun katanya akan merasakan dampaknya, sebab mereka akan kehilangan
kebebasan karena disekat berbagai undang-udang.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, ia menulis
dalam bukunya yang berjudul Toward an Islamic Reformation yang menyerukan perubahan
hukum Islam terkait dengan konstitusionalisme, hukum kriminal, hubungan
internasional, dan hak-hak asasi manusia (HAM). Dia berkeyakinan bahwa hukum
Islam dalam bidang ini bertentangan secara diametrikal dengan prinsip hak asasi
manusia dan standard hukum international. “…some definite and generally agreed principles
of Shari’a are in clear conflict with corresponding principles of international
law,”
Untuk tujuan itu, Na’im menafikan kesakralan
syari’at, karena syari’at bukanlah bersifat ilahiyyah Syari’at, menurutnya,
adalah “the product of process of interpretation of
analogical derivation from the text of the Qur’an and Sunna and other tradition” (hasil
dari proses penafsiran, derivasi melalui qiyas terhadap teks al-Qur’an, Sunnah
dan tradisi yang lain).
Ia juga mengatakan bahwa syari’at, sebagaimana
system perundang-undangan lainnya, mengikuti tahap-tahap perkembangan umat.
Katanya “The techniques throught which Shari’a was
derivied from the devine sources and the ways in wich in fundamental concepts
and principles were formulated are clearly the product of the intellectual,
social, and political processes of Muslim history,”
(teknik-teknik penjabaran syari’at dari sumber sucinya dan cara-cara penyusunan
konsep dan prinsip fundamentalnya, jelas merupakan produk proses sejarah
intelektual, social dan politik umat Islam).
Setelah syari’at sudah dianggap tidak sakral
lagi, kemudian langkah selanjutnya, Na’im menyerukan untuk mereformasi
syari’ah. Tapi ia menolak reformasi ini dilakukan dengan framework
syari’at yang ada. Sebab dalam framework ini, menurutnya, ijtihad tidak berlaku
pada hukum yang sudah disentuh al-Qur’an secara definitive. Sementara hukum
yang perlu direformasi itu adalah hukum-hukum yang masuk kategori ini seperti
hukum hudud dan qisas, status wanita dan non-muslim, hukum waris dan
seterusnya. Inilah dilematis yang dihadapi para pembaharu hukum Islam, kata
Na’im. Di satu sisi mereka disuruh berijtihad, tapi pada sisi lain mereka
dihalang oleh ketentuan ushul fiqh klasik “la ijtihad fi mawrid al-nass.” Oleh
sebab itu, apa yang diperlukan bukanlah reformasi tapi dekonstruksi. Na’im
sepertinya ingin mendobrak pintu reformasi dengan menempuh jalan seperti yang
pernah dilalui umat Kristen. Untuk itu ia lantas mengusulkan penggunaan metode hermeneutika untuk
membaca tujuan serta kandungan normatif ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana orang
Kristen telah menggunakannya untuk membaca kitab bibel mereka, tanpa
menghiraukan perbedaan fundamental yang dimiliki kedua kitab suci ini.
v Evolutionary Approach
(evolusi syari’at)
Penggunaan hermeneutika Na’im telah
menghasilkan sebuah pendekatan baru yang disebutnya dengan ‘Evolutionary
Approach’, sebuah pendekatan yang pada awalnya dibangun dan dikembangkan oleh
gurunya Mahmud Muhammad Taha dalam bukunya Al-Risalah al-Tsaniyah. Esensi
pendekatan ini adalah “…reversing the process of naskh or abrogation
so that those texts wich were abrogated in the past can be enacted into law
now, with the consequent abrogatin of text that used to be enacted as shari’a.”
Di tempat lain dia menegaskan: “To
achieve that degree of reform, we must be able to set aside clear and definite
texts of the Qur’an and Sunna of Medina as having served their transitional
purpose and implement those texts of the Meccan stage wich were previously
inappropriate for practical application but are now the only way to proceed”. (Untuk
mencapai tahap reformasi tersebut, kita harus sanggup menyingkirkan teks-teks
al-Qur’an dan Sunnah Madinah yang jelas dan definitif karena mereka telah
melaksanakan fungsi transisinya, dan selanjutnya mengimplementasikan teks-teks
periode Mekkah yang sebelumnya tidak sesuai untuk tujuan aplikasi praktis akan
tetapi sekarang menjadi satu-satunya yang harus ditempuh).
Metodologi ini kemudian disebut evolusi
syari’at yaitu “tafsir modern dan evolusioner terhadap al-Qur’an.” Secara
ringkas evolusi syari’at bisa dijelaskan sebagai berikut:
- Ia adalah suatu pengujian secara terbuka terhadap isi al-Qur’an dan as-Sunnah yang melahirkan dua tingkat atau tahap risalah Islam, yaitu periode awal Makkah dan berikutnya Madinah.
- Pesan Makkah bersifat abadi, fundamental dan universal; sedang pesan Madinah sebaliknya.
- Syari’at historis menjadikan ayat-ayat Madinah sebagai basis legislasi syari’at dengan me-naskh (menunda pelaksanaan) ayat-ayat Makkah yang belum bisa diaplikasikan.
- Ayat-ayat Madinah saat ini tidak bisa diaplikasikan lagi karena bertentangan dengan nilai-nilai modern.
- Ayat-ayat Makkah harus difungsikan kembali sebagai basis legislasi syari’at yang baru dengan me-naskh ayat-ayat Madinah.
- Di atas basis legislasi baru itu dibangun versi hukum publik Islam yang sesuai dengan nilai-nilai modern yang tidak lain adalah pencapaian masyarakat Barat saat ini.
Menurut
Na’im pendekatan ini perlu dilakukan karena pesan-pesan fundamental Islam itu
terkandung dalam ayat-ayat makkiyyah, bukan madaniyyah. Adapun praktek hukum
dan politik yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah periode Madinah,
menurutnya, tidak semestiya merefleksikan pesan-pesan ayat-ayat makkiyyah.
Dan
untuk membangun metodologi evolusi syariatnya, an-Na’im menggunakan konsep
makkiyyah-madaniyyah dan konsep naskh.
An-Na’im
memahami konsep makkiyah dan madaniyah dengan pandangan yang berbeda dengan
jumhur ulama, Menurutnya, ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah
merupakan dua paket (tahapan) yang terpisah, yang satu dengan yang lain tidak
saling terkait. Ia berbeda bukan saja terkait perbedaan masa turunnya, tetapi
juga terkait dengan perbedaan tema dan misi yang dibawa, sasaran (khitab)
nya, dan watak universalnya. Dari sini kamudian Na’im menyimpulkan bahwa
ayat-ayat Makkiyyah membawa tema dan misi yang fundamental dan abadi, ia berbicara
kepada semua manusia tanpa diskriminasi, melintasi batas dimensi waktu dan
tempat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah membawa misi sementara, diturunkan untuk masyarakat tertentu
sesuai dengan kondisi manusia abad VII sehingga tidak bisa difungsikan lagi
pada saat ini. Selanjutnya dengan menggunakan konsep naskh, ia
melakukan generalisasi, ayat-ayat Makkiyyah
me-naskh ayat-ayat Madaniyyah.
Namun
jika kita merujuk pada buku-buku yang membahas ilmu al-Quran seperti buku ‘Ulum
al-Quran’ karangan Manna’ Khalil Qatthan dan Subhi Shalih kita akan menemukan
penjelasan yang sangat berbeda dengan pandangan an-Na’im dan kita akan
menemukan bahwa Makkiyah dan Madaniha tidak terpisah dan juga di antara
keduanya tidak ada yang lebih unggul dibanding lainnya. Justru di antara
keduanya ada hubungan yang sangat erat, saling terkait dan berkesinambungan.
Masing-masing memang memiliki gaya bahasa dan tema-tema khasnya masing-masing,
karena itu sesuai dengan sasarannya. Dan dengan itu bisa diambil pelajaran
tentang metode dakwah dan tahapan-tahapan dakwah. Ayat-ayat makkiyyah
turun lebih dahulu dengan tema seputar akidah, kisah-kisah umat terdahulu dan
dalil-dalil ayat kauniyyah yang rasional, menjadi dasar keimanan umat yang kokoh untuk
membangun nilai-nilai agama di masa Madinah. Periode Mekkah adalah periode tarbiyah
(pendidikan) dan I’dad (persiapan) serta penanaman tauhid untuk pada saatnya nanti
menjadi pondasi yang kokoh bagi pembangunan masyarakat Madinah. Ayat-ayat
Madinah tidak bisa tegak bila tanpa ditopang ayat-ayat Makkiyyah terlebih dulu.
Selain
dengan konsep Makkiyyah-Madaniyyah nya yang nyleneh, Na’im juga membangun metodologi evolusi
syari’atnya dengan konsep naskh. Pengertian naskh yang umum dikenal kaum muslimin terutama para
ulamanya adalah proses penghapusan atau pembatalan hukum syar’I yang telah ada
(lama/terdahulu) untuk kemudian digantikan dengan hukum syar’I yang lain (baru)
berdasarkan dalil syar’I yang datang kemudian.
Pengertian
di atas dapat membantah anggapan Na’im bahwa ulama generasi awal menerapkan
konsep naskh dengan menghapus ayat-ayat Makkiyyah agar ayat-ayat Madaniyyah
bisa diberlakukan. Konsep naskh adalah jalan terakhir ketika ayat-ayat tersebut tidak bisa
dikompromikan dengan jalan lain. Jadi tidak bisa langsung dan asal me-naskh
ayat-ayat Makkiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah. Apalagi model konsep naskh-nya Na’im yang membalik proses naskh, ayat yang turun lebih awal (makkiyyah)
men-naskh ayat yang turun belakangan (madaniyyah). Ini tentu sulit diterima.
Pendekatan
Na’im ini juga sangat problematik sekali. Karena disini Na‘im sepertinya
menggambarkan tidak adanya konsistensi dan kesinambungan ayat-ayat dalam
al-Qur’an. Katanya “the
specific political and legal norms of the Qur’an and Sunna of Medina did not
always reflect the exact meaning and implications of the message as revealed in
Mecca.” (norma-norma politik dan hukum al-Qur’an dan Sunnah yang turun di
Madinah tidak selalu merefleksikan arti serta implikasi yang pasti dari pesan
yang diturunkan di Mekkah).
Menurut
an-naem hal terbaik
dari hukum syariah yang membuat sebagian orang ingin menerapkannya adalah Syariah adalah hukum Islam untuk muslim. Jadi, setiap muslim diikat
oleh hukum syariah, tapi tidak bisa dipaksakan oleh negara. Ketika negara
mengambil alih hak menerapkan syariah, artinya memaksakan pandangan sejumlah
orang yang menjalankan negara. Karena menjadi hukum negara, maka hukum syariah
itu bisa bertentangan dengan keinginan sebagian besar muslim. Karena itu,
syariah harus tetap hidup dalam masyarakat yang membentuk suatu masyarakat
madani untuk mempelajari dan melaksanakan syariah. Contohnya, mereka bisa
membentuk bank Islam. Tapi semua ini harus di luar kerangka negara. Sangatlah
berbahaya membiarkan negara mengklaim sebagai otoritas Islam. Menurut saya,
syariah sangat penting dalam membangun masyarakat.
Tidak
semua Kondisi membutuhkan penerapkan syariah karena Sejarah Islam membuktikan bahwa kaum muslim sudah menerapkan
syariah. Itu bukan hal baru. Selama 1.500 tahun, kaum muslim sudah melaksanakan
syariah. Hal barunya adalah sekarang kita memiliki negara. Hak asasi manusia
tidak perlu diterapkan oleh negara jika masyarakat tidak menghargai dan
menjalankan soal HAM. HAM kenyataannya adalah ajaran Islam, bukan pemikiran
Barat. Artinya, HAM harus menjadi akar dari negara, menghormati perbedaan,
menerima keanekaragaman, menerima hubungan, menghargai hubungan gender.
Jika
itu tidak hidup dalam masyarakat, maka nilai-nilai itu tidak bisa dalam negara.
Kondisi yang diperlukan adalah negara harus konsisten terhadap konstitusi,
hak-hak dasar, persamaan lelaki dan perempuan, persamaan antara muslim dan
non-muslim. Inilah yang disebut peradaban. Itu tidak akan muncul dalam negara
sebelum terbentuk dalam masyarakat. Karena itu, saya memiliki konsep hak dalam
rumah.
Artinya,
jika kita tak mengajarkan anak-anak kita soal menghargai HAM, maka nilai-nilai
HAM tidak akan hidup di luar rumah. HAM mengatur hubungan antarindividu di mana
semua hubungan ini harus berdasarkan nilai persamaan dan menghargai orang lain.
Ketika itu terjadi dalam masyarakat, maka akan tergambar dalam kehidupan
bernegara. Jadi, yang bisa dilakukan oleh negara adalah seperti yang sudah
dilakukan oleh masyarakat.
Pelaksanakan hukum syariah Bukan sebagai negara, melainkan sebagai masyarakat. Sebagai muslim
kita harus melaksanakan syariah. Tapi ada perbedaan antara menjalankan dan
menerapkan. Menjalankan bersifat sukarela, sedangkan menerapkan berarti ada
pemaksaan dan ini berlawanan dengan semangat syariah. Karena syariah
menghormati kebebasan memilih dan kepercayaan orang, bukan atas dasar
pemaksaan. Kaum muslim tentu tidak sepakat jika negara memaksakan syariah.
An-naem
tidak menerima konsep khilafah menurutnya konsep khilafah adalah sebuah
khayalan yang sangat berbahaya. Itu tidak benar menurut sejarah Islam. Apa yang
disebut orang sebagai khilafah saat ini tak lebih sekadar pemerintahan monarki
dan otoriter. Sistem khilafah sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam.
Islam
sebagai rahmatan lil alamin menurut an-na’em adalah Nilai-nilai
Islam hanya bisa dihormati oleh penganutnya dan bukan oleh negara. Rahmatan lil
alamin hanya bisa tercipta oleh masyarakat yang hidup dalam nilai-nilai Islam
dan bukan dipaksakan oleh negara. Dalam Al-Quran tidak ada konsep negara.
Seorang muslim membutuhkan negara sekuler untuk menjadi
muslim yang lebih baik. Artinya, memerlukan negara yang membiarkan saya sendiri
dan bukan memaksakan agama terhadap saya. Sehingga saya bisa menjadi seorang
muslim sesuai pilihan saya. Jika negara memaksakan pandangan Islamnya terhadap
saya, maka saya tidak bebas memilih bagaimana saya menjadi muslim. Bukan karena
saya tidak punya pilihan.
Di Arab Saudi ketika polisi agama memaksa orang
salat di masjid, maka orang itu salat karena negara dan bukan karena Allah. Di
negara semacam ini, saya tidak bebas melaksanakan ajaran saya sesuai dengan
keinginan saya dan saya tidak bisa berkomitmen untuk melaksanakan itu. Seperti
disebutkan dalam Al-Quran tidak ada paksaan dalam agama. Saya lebih suka
tinggal di Inggris ketimbang di Arab Saudi. Meski mengklaim sebagai negara
Islam, mereka tidak menghargai sesama manusia. Seperti yang terjadi pada
sebagian pembantu Indonesia. Mereka ada yang diperkosa, disiksa, dan tidak
dibayarkan gajinya. Pandangan Ahmed an-Na’im tentang negara ideal menurutnya
yaitu negara sekuler adalah untuk muslim yang baik, itu artinya kalau kita
ingin baik, ingin beribadah dengan tenang dan masuk surga bahkan maka hiduplah
di negara sekuler.
Analisis
Peran politik Islam tak dapat dipertahankan tanpa reformasi
Islam yang signifikan.
(An-Na’im, 2007 hlm. 65).
(An-Na’im, 2007 hlm. 65).
Ada
beberapa argumen, khususnya dalam konteks Indonesia, yang mungkin berguna untuk
memperkuat argumen yang telah diajukan dalam buku ini. Dua hal itu adalah
pertama, bahwa pemisahan agama dan negara adalah semacam situasi sine qua non
untuk perkembangan dan peran Islam atau Syari’ah ke depan. Namun pemisahan
agama dan negara itu tidak selalu berarti sekularisme atau bahkan sekularisasi apapun
arti dari dua kata tersebut. Tetapi di sisi lain bahwa pemisahan agama dan
negara tidak selalu berarti agama tidak boleh atau tidak akan bersinggungan
dengan politik. Kedua adalah bahwa tuntutan penerapan Syariah sebagai hukum
positif yang menjadi fenomena di banyak negara merupakan kombinasi antara
problem mengolah warisan sejarah Islam dengan gejala post-kolonial sehingga ia
kurang lebihnya sebagai sebuah proses alami yang nyaris tidak bisa ditolak.
Masalahnya adalah bagaimana realitas obyektif itu harus
dilihat dan, jika mungkin, melakukan antisipasi dan negosiasi untuk keuntungan
umat Islam sendiri dan umat manusia secara umum. Islam dan Pemisahan Agama dan
Negara yang Tuntas:
Prof.
Na’im cukup detail melihat dinamika Islam Indonesia berkaitan dengan Syari’ah,
tetapi saya melihat tampaknya ia lebih melihat dari sudut negara, setidaknya
dalam buku ini, dan belum memberi contoh kongkrit dari sudut praktik atau
pergulatan yang telah dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam. Dari sudut Islam,
perspektif hubungan antara agama dan negara memang belum tuntas didiskusikan.
Satu pihak melihat bahwa agama dan negara dalam Islam adalah satu (din wa
daulah) hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pendapat ini antara lain
dianut misalnya oleh para pemimpin Ikhawanul Muslimin yang mula-mula tumbuh di
Mesir dan Jamaat al-Islamy yang tumbuh di Pakistan, dan para pengikut mereka
yang tersebar di seluruh dunia. Tetapi harus diketahui bahwa pandangan seperti
ini cakupannya sangat luas, dari yang sangat ekstrim sampai yang sangat lunak.
Namun dari mereka bisa ditarik garis merah bahwa esksisteni negara-bangsa yang
sekuler adalah bersifat sementara yang harus diperjuangkan terus menerus hingga
terealisasikannya kesatuan dua unsur tersebut.
Di
sisi lain, mereka yang berpendapat bahwa agama dan negara dalam Islam bisa
dipisahkan tanpa harus menyebut sebagai prinsip sekularisme atau sekularisasi
melainkan sebagai cara menyikapi realitas sehubungan dengan eksistensi
negara-bangsa. Pendapat ini lebih banyak diikuti oleh gerakan-gerakan Islam
seperti NU dan Muhammadiyah di Indonesia. Namun harus diakui bahwa argumen
pemisahan ini (agama dan negara) belum cukup mapan dan diakui secara luas,
sehingga pendapat ini sering mendapat serangan dengan argumen teologis dari
pendapat yang pertama di atas. 1 Dengan kata lain, prinsip pemisahan agama dan
negara dalam Islam belum atau tidak menjadi doktrin teologis Islam itu sendiri.
Argumen yang tuntas tentang pemisahan ini secara teologis
baru dirintis oleh beberapa orang dan gerakan yang tidak begitu besar, sehingga
mudah ditumpas oleh arus besar penentangnya. Misalnya, Mahmoud Mohamed Toha
yang karena keyakinannya digantung oleh presiden Numairy di Sudan yang kemudian
dilanjutkan oleh pemulis buku ini, Profesor Abdullahi Ahmed An-Na’im yang juga
terusir dari negaranya ke Amerika Serikat.
NU sebagai gerakan Islam adalah bagian dari pergulatan di
atas. Di satu sisi, NU sebagai gerakan Islam di Indonesia dalam tataran praksis
senantiasa menempatkan bangsa sebagai tumpuan utama eksistensinya. Namun di
sisi lain agama atau Islam selalu menjadi legitimasi seluruh cara pandang dan
perilaku politiknya. Belum selesainya argumen pemisahan agama dan negara dalam
teologi Islam membuat pandangan NU tentang agama dan negara disamaratakan
dengan kondisi itu. Padahal dapat dikatakan misalnya, NU sesungguhnya memiliki
argumen yang tuntas tentang pemisahan agama dan negara. Namun karena bersifat
dinamis, maka argumen-argumen itu hanya bisa dipahami jika dikaitkan dengan
konteks historis dan tantangan-tantangan yang dijawab pada saat itu. Dalam
konteks ini, bisa dikatakan bahwa pemahaman keagamaan Islam dalam NU yang
bersumber dari pesantren (karena sebelum berdiri organisasi NU, cara berpikir
demikian telah ada dan hidup di dalam pesantren) bisa disebut ssebagai
pemahaman pribumi Islam atau Islam pribumi. Gus Dur menyebutnya sebagai “Pribumisasi
Islam” (Wahid, 2001). NU itu sendiri didirikan pada tahun 1926 salah
satunya yang terpenting untuk mempertahankan kepribumian Islam a la ahlus
sunnah wal jamaah yang hidup di pesantren atau di Indonesia. Ini bisa dilihat
dari tiga argumen adanya Komite Hijaz yang menjadi pemicu dan kemudian menjadi
tujuan utama berdirinya NU (Bruinessen, 1994; Suaedy, 2000). Pertama adalah
untuk mempertahankan dan menuntut hak praktik Islam yang hidup di dalam
masyarakat, termasuk di Indonesia atau masyarakat pesantren ketika itu. Ini
berkaitan dengan gerakan pemurnian Islam di awal abad ke-20 yang menyerang
praktik ibadah Islam tradisional yang dituduh sebagai TBC (Tahayul, Bidah,
Churofat). Praktik seperti itu dianggap sebagai kafir dan menyimpang dari
Islam. Gerakan ini didukung oleh pemerintah yang kuat berhaluan Wahabi di Arab
Saudi dan pengaruhnya cukup besar di Hindia Belanda waktu itu. Di Arab Saudi
sendiri gerakan pemurnian itu dilakukan dengan cara kekerasan yang juga ditiru
oleh beberapa gerakan Islam di kawasan lain.
Gerakan NU menuntut
dijaminnya praktik Islam yang hidup di dalam masyarakat, baik di Hindia Belanda
maupun di belahan lain dunia Islam, termasuk di Arab Saudi sendiri.
Alasan kedua adalah perbaikan pelayanan ibadah haji bagi seluruh umat Islam. Karena policy pemerintah Arab Saudi yang mendasarkan paham Wahabi, maka pelayanan ibadah haji cenderung diskriminatif bagi mereka yang tidak sepaham dengan kebijakan pemerintah Arab Saudi. Sehingga kelompok ini menginginkan pelayanan yang tidak diskriminatif kepada semua kelompok dan aliran. Sedangkan alasan ketiga adalah kemerdekaan Indonesia dan terenyahnya penjajah Belanda dari Indonesia. Dari tiga tujuan itu, jelaslah bahwa tujuan utama dari didirikannya NU adalah untuk menjamin praktik keagamaan dan keragaman yang hidup di dalam masyarakat. Secara praktik keagamaan, banyak tradisi lokal yang menjadi bagian dari praktik keagamaan NU sejauh tidak menyimpang dari substansi keyakinan Islam.
Hak untuk mempraktikkan Islam sesuai dengan keyakinan dan tradisi yang hidup di dalam masyarakat adalah ditujukan untuk melindungi kepribumian Islam. Sementara hal seperti itu bisa dilakukan jika terbebas dari penjajahan politik. Jelaslah pula argumentasi kepribumian dan bahkan kebangsaan menjadi apa yang oleh Na’im dalam buku ini disebut sebagai public reason (nalar bublik) sekaligus sebagai bagian dari argumen teologi dalam NU, baik berhadapan dengan gerakan yang anti praktik Islam yang hidup atau pihak pemurnian maupun berhadapan dengan penjajahan politik. Fakta selanjutnya adalah ketika dalam Muktamar di Menes Banten tahun 1938 (Faillard, 1999). Ketika itu muncul dua pertanyaan yang se arah tetapi jawabannya berbalikan. Pertama adalah sebuah pertanyaan, apakah negara Hindia Belanda yang ketika itu di bawah pemerintahan penjajah adalah negara Islam atau negara kafir yang harus diperangi oleh setiap orang Islam. Jika dianggap sebagai negara kafir maka keseluruhan fasilitasi negara terhadap orang Islam tidak syah, seperti pernikahan yang dilakukan oleh penghulu di bawah lembaga negara yang dikuasai oleh penjajah. Jawabnya, Hindia Belanda adalah negara Islam karena tidak melarang orang Islam dan bahkan memberi fasilitas umat Islam untuk beribadah, serta kawasan ini adalah bekas kerajaan-kerajaan Islam. Artinya, keabsahan ibadah orang Islam tidak bisa dikaitkan langsung dengan pandangannya tentang negara.
Alasan kedua adalah perbaikan pelayanan ibadah haji bagi seluruh umat Islam. Karena policy pemerintah Arab Saudi yang mendasarkan paham Wahabi, maka pelayanan ibadah haji cenderung diskriminatif bagi mereka yang tidak sepaham dengan kebijakan pemerintah Arab Saudi. Sehingga kelompok ini menginginkan pelayanan yang tidak diskriminatif kepada semua kelompok dan aliran. Sedangkan alasan ketiga adalah kemerdekaan Indonesia dan terenyahnya penjajah Belanda dari Indonesia. Dari tiga tujuan itu, jelaslah bahwa tujuan utama dari didirikannya NU adalah untuk menjamin praktik keagamaan dan keragaman yang hidup di dalam masyarakat. Secara praktik keagamaan, banyak tradisi lokal yang menjadi bagian dari praktik keagamaan NU sejauh tidak menyimpang dari substansi keyakinan Islam.
Hak untuk mempraktikkan Islam sesuai dengan keyakinan dan tradisi yang hidup di dalam masyarakat adalah ditujukan untuk melindungi kepribumian Islam. Sementara hal seperti itu bisa dilakukan jika terbebas dari penjajahan politik. Jelaslah pula argumentasi kepribumian dan bahkan kebangsaan menjadi apa yang oleh Na’im dalam buku ini disebut sebagai public reason (nalar bublik) sekaligus sebagai bagian dari argumen teologi dalam NU, baik berhadapan dengan gerakan yang anti praktik Islam yang hidup atau pihak pemurnian maupun berhadapan dengan penjajahan politik. Fakta selanjutnya adalah ketika dalam Muktamar di Menes Banten tahun 1938 (Faillard, 1999). Ketika itu muncul dua pertanyaan yang se arah tetapi jawabannya berbalikan. Pertama adalah sebuah pertanyaan, apakah negara Hindia Belanda yang ketika itu di bawah pemerintahan penjajah adalah negara Islam atau negara kafir yang harus diperangi oleh setiap orang Islam. Jika dianggap sebagai negara kafir maka keseluruhan fasilitasi negara terhadap orang Islam tidak syah, seperti pernikahan yang dilakukan oleh penghulu di bawah lembaga negara yang dikuasai oleh penjajah. Jawabnya, Hindia Belanda adalah negara Islam karena tidak melarang orang Islam dan bahkan memberi fasilitas umat Islam untuk beribadah, serta kawasan ini adalah bekas kerajaan-kerajaan Islam. Artinya, keabsahan ibadah orang Islam tidak bisa dikaitkan langsung dengan pandangannya tentang negara.
Pertanyaan kedua adalah apakah NU menerima atau menolak
tawaran Belanda dan dorongan dari sebagian aktivis NU sendiri untuk bergabung
dalam Volksraad (semacam perawakilan rakyat) yang baru dibentuk penjajah
Belanda, yang diasumsikan mewakili umat Islam atau umat NU dalam lembaga
politik negara. Hasil voting dalam Muktamar itu, 54 menolak banding 4 menerima.
Penolakan itu disamping dengan alasan karena dianggap akan merugikan politik
Islam juga sebagai penentangan terhadap eksistensi penjajahan oleh Belanda.
Dari dua keputusan dan argumen yang saling bertentangan tersebut dalam waktu
yang bersamaan, menunjukan pemisahan antara politik kenegaraan dengan masalah
keagamaan. Keabsahan pernikahan yang dianggap sebagai masalah ibadah yang
difasilitasi oleh penghulu dari sebuah kekuasaan penjajah tidak bisa dikaitkan
langsung dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia atau penentangan penjajahan yang
nota bene masalah politik kenegaraan. Secara politik, Hindia Belanda harus
dibebaskan dari penjajahan Belanda, tetapi tidak dengan sendirinya bahwa itu
akan membatalkan fasilitasi penghulu yang nota bene di bawah kekuasaan penjajah
untuk menikahkan orang Islam yang notabene pula masalah ibadah. Karena, jika
eksistensi politik dikaitkan langsung dengan masalah ibadah akan muncul masalah
kemanusiaan yang tidak bisa dijembatani, sebagai public reason, yaitu semua
pernikahan yang difasilitasi oleh pemerintah yang menguasai Hindia Belanda
menjadi tidak syah dan akan dianggap berzinah. Ia akan memberi implikasi sangat
jauh, misalnya, masalah waris dan keturunan.
Argumen seperti ini cukup rumit tetapi tidak terlalu sulit dipahami jika kemanusiaan atau kepentingan umat ditempatkan sebagai public reason atau pertimbangan utama ketimbang argumen-argumen politik yang bersifat kepentingan (vested interest) dan argumen ideologi yang bersifat abstrak. Secara teologis NU telah mendasarkan keputusannya pada public reason berupa kepentingan umat Islam orang per orang yang kongkrit dalam keputusan politik ketimbang atas dasar kepentingan politik dan ideologi Islam yang bersifat abstrak. Hal yang sama terjadi di tahun 1950an ketika DII/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat dideklarasikan dengan serta merta membatalkan keabsahan kepresidenan Soekarno, karena dianggap tidak sesuai dengan negara Islam yang diinginkan oleh mereka. Karena mereka mengklaim sebagai representasi umat Islam, maka ini juga memunculkan persoalan yang sama (Haedar, 1994). Implikasinya sangat jauh bagi eksistensi umat Islam Indonesia ketika itu.
Argumen seperti ini cukup rumit tetapi tidak terlalu sulit dipahami jika kemanusiaan atau kepentingan umat ditempatkan sebagai public reason atau pertimbangan utama ketimbang argumen-argumen politik yang bersifat kepentingan (vested interest) dan argumen ideologi yang bersifat abstrak. Secara teologis NU telah mendasarkan keputusannya pada public reason berupa kepentingan umat Islam orang per orang yang kongkrit dalam keputusan politik ketimbang atas dasar kepentingan politik dan ideologi Islam yang bersifat abstrak. Hal yang sama terjadi di tahun 1950an ketika DII/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat dideklarasikan dengan serta merta membatalkan keabsahan kepresidenan Soekarno, karena dianggap tidak sesuai dengan negara Islam yang diinginkan oleh mereka. Karena mereka mengklaim sebagai representasi umat Islam, maka ini juga memunculkan persoalan yang sama (Haedar, 1994). Implikasinya sangat jauh bagi eksistensi umat Islam Indonesia ketika itu.
Sebagai tanggapan terhadap mereka dan melindungi umat Islam
Indonesia, maka NU mengumpulkan ulama untuk memberi legitimasi keabsahan
kepresidenan Soekarno dengan mengangkatnya sebagai waliyu al-amri adh-dharuri
bi asy-syaukah, artinya sebuah pemerintahan yang sah dan legitimatif meskipun
untuk sementara sampai akhir hayat. Kepresidenan sebagai sebuah jabatan
seseorang bisa saja dipersoalkan karena jabatan itu bisa diisi dengan orang
lain, tetapi keabsahan lembaga kepresidenan tetaplah syah tidak tergantung
siapa yang menduduki jabatan itu. Karena jika kerpesidenan itu dimasygulkan,
maka akan timbul persoalan sebagaimana terjadi pada pemerintahan Hindia Belanda
tadi. Sekali lagi, masalah politik kepentingan untuk mengganti seorang
presiden, misalnya, tidak bisa dicampur-adukkan dengan keabsahan kelembagaan presiden
sebagai lembaga negara yang berimplikasi bagi kepentingan umat dan warga negara
secara keseluruhan.
Dengan kata lain, kepentingan orang perorang dalam umat
lebih dijadikan pertimbangan utama (ultimate public reason) bagi NU dalam
mengambil keputusan penting dalam politik dibandingkan dengan mendasarkan pada
doktrin teologi dan idelogi Islam yang abstrak dan tekstual. Kepentingan orang
per orang pada umat sebagai ultimate public reason ternyata terus mengalami
perkembangan dalam NU. Hal seperti ini terjadi lagi ketika NU menghadapi
tekanan Orde Baru ketika dihadapkan pada pilihan Pancasila sebagai satu-satunya
asas organisasi. Ketika itu NU masih mengakui dan secara konstitusional sah
adanya partai Islam, tetapi dalam realitasnya tidak bisa dan tidak berlaku lagi
bahwa semua orang Islam adalah memilih partai Islam. Seruan NU pun untuk
memilih partai Islam dimana NU berafiliasi (yaitu Partai Persatuan Pembangunan)
tidak lagi efektif karena situasi politik dan berkembangnya keterbukaan dalam
masyarakat. Pilihan Pancasila sebagai satu-satunya asas adalah momentum untuk
merumuskan kembali pandangan NU tentang negara dan politik. Dalam Muktamar NU
ke-27 di Situbondo tahun 1984, NU mengumumkan penerimaan Pancasila sebagai
satu-satunya asas dan dalam waktu yang sama menyatakan tidak lagi memiliki
hubungan organisatoris dengan partai PPP sebagaai partai Islam dan memberikan
hak sepenuhnya kepada warga NU untuk memilih partai apapun yang disukai
(Sitompul, 1996). Namun pernyataan itu tidak serta merta menghapuskan Islam
sebagai komitmen paling tinggi bagi eksistensinya.
Sebagai jalan keluar, Islam diletakkan pada pasal tentang
aqidah sedangkan Pancasila diletakkan sebagai pasal asas --satu-satunya asas--
dalam AD/ART NU. Sekali lagi, NU tidak mempertentangkan antara Islam sebagai
aqidah yang harus terus didakwahkan kepada seluruh umat manusia, dengan asas
Pancasila sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara. Dan dalam waktu yang
sama dideklarasikan kembali bahwa negara Pancasila adalah bentuk final.
Pandangan seperti ini bukanlah sekularisme atau bahkan sekularisasi, tetapi
membedakan secara tegas antara urusan agama dan urusan negara dalam tataran
konstitusi. Apakah dengan demikian tidak boleh lagi Islam mempengaruhi proses
politik? Tidak selalu demikian, yang pasti hubungan keduanya tidak hitam-putih
melainkan harus dipisahkan antara masalah-masalah yang bersifat prinsipil dalam
aqidah Islam dengan masalah kemasyarakatan yang dinamis dan mengalami perubahan
terus menerus. NU, misalnya, menyetujui adalah Departemen Agama dan Pengadilan
Agama secara terbatas. Pandangan di atas ditopang oleh konsep tiga model
solidaritas yang bersifat paralel yang pertama kali diperkenalkan oleh KH.
Ahmad Siddiq, Rois ‘Aam Syuriyah PBNU tahun-tahun diterimanya Pancasila sebagai
satu-satunya asas yang berduet dengan Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziyah
PBNU. Yaitu, Ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan Islam), Ukhuwwah Wathaniyah
(persaudaraan antar warga negara) dan Ukhuwwah Insaniyyah (persaudaraan
kemanusiaan). Konsep ini dimaksudkan untuk memecah kebekuan pandangan sempit
bahwa ukhuwwaah Islamiyyah adalah satu-satunya solidaritas yang diperlukan bagi
umat Islam, sekaligus untuk menujukkan bahwa tiga model solidaritas itu tidak
saling meniadakan melainkan saling memperkuat. Konsep ukhuwwah Islamiyah
sebagai satu-satunya solidaritas yang diperlukan bagi umat Islam diperkenalkan
dan bahkan dipaksakan oleh kalangan Islam yang dangkal, yang hanya mengajukan
Islam sebagai konsep politik yang statis. Yaitu, mereka yang berpendapat Islam
huwa din wa daulah.
Argumen NU ini jika kita tilik secara mendalam, maka telah
mengalami perkembangan dari berbagai keputusan politik yang diuraikan
sebelumnya di atas. Yaitu, jika dalam keputusan politik sebelumnya hanya
mempertimbangkan orang perorang dalam Islam atau hanya yang berkitan secara
ekslusif dan langsung dengan doktrin Islam seperti nikah, waris dan keturunan,
maka dalam peristiwa yang terakhir itu –azas Pancasila-- dalam cakupan lebih
luas, yaitu berkaitan dengan hak warga negara dalam memilih dalam politik. Jika
argumen ini diteruskan, maka negara dan siapa pun, termasuk kelompok Islam,
wajib menjamin dan memberi hak setiap orang untuk memilih dan berpolitik tanpa
dibatasi oleh kepemelukan agama –dalam hal ini partai Islam, misalnya: Perlunya
diskusi yang lebih detail atas beberapa doktrin Islam. Masalah yang kedua yang
saya ingin memberikan masukan adalah bahwa bagi Prof. Na’im, tuntutan penerapan
Syari’ah bukan semata-mata sebuah fenomena post-kolonial melainkan ia juga
merupakan kelanjutan historis dari peranan Islam dan Syari’ah dalam sejarah
umat manusia. Konsekuensinya, ini mengharuskan bahwa Syari’ah harus bukan
diletakkan semata-mata sebagai respons terhadap pengaruh Barat dan globalisasi,
misalnya, melainkan merupakan tuntutan dari kalangan umat Islam itu sendiri
dengan segala pembaharuannya.
Keharusan untuk melalukan pembaharuan dalam Islam dan dalam
penerapan Syari’ah bukan hanya karena tuntutan perubahan sosial tetapi watak
dari Syari’ah itu sendiri yang berubah dari waktu ke waktu. Prof. Na’im telah
menunjukkan dinamika perubahan penerapan Syari’ah dari waktu ke waktu dalam
buku ini, bahwa ia sangat tergantung dari banyak aspek, seperti pemikiran
keagamaan, sosial politik, bentuk pemerintahan dan perubahan peta dunia Islam.
Prof. Na’im telah memberikan tiga patokan bagi perubahan itu yang merupakan
realitas kekinian yang tidak mungkin diabaikan jika diinginkan umat Islam
sebagai bagian dari dunia yan “normal.” Tiga pedoman atau tiang itu adalah
prinsip konstitusionalisme, kewarganegaraan dan hak-hak asasi manusia. Situasi
demikian bukan hanya ditunjukkan dalam skala luas seperti dalam buku Prof.
Na’im ini. Rudollph Peters (2005), misalnya, memperkuat posisi Prof. Na’im
dalam hal hukum kriminal dalam Islam. Menurut penelusuran Peters, secara
historis, materi-materi hukum kriminal dalam Syari’ah –yang selama ini oleh
sebagian besar kalangan dipersepsikan sebagai dimensi paling ekstrim dalam
Syari’ah-- sesungguhnya memberikan bobot moral yang tinggi terhadap perjalanan
hukum kriminal modern yang diadopsi dari Eropa di dalam masyarakat dan
negara-negara Muslim dan ia juga memberikan sumbangan sangat besar bagi
perjalanan hukum kriminal modern tersebut. Hal itu terjadi selama perkembangan
hukum kriminal dalam Syari’ah diletakkan dalam bingkai prinsip-prinsip
perjalanan masyarakat modern, yaitu tiga tiang yang disebut oleh Prof. Na’im di
atas. Namun, sayangnya, menurut Peters, ada kekuasaan-kekuasaan politik
tertentu yang tidak sabar dengan proses intelektual dan kreatif dalam
masyarakat tersebut dan cenderung menghindari proses evolutif, dengan
menggantikan hukum kriminal modern di negara itu dengan segera. Mereka dengan
serta merta memberlakukan hukum kriminal Syari’ah Islam apa adanya dari warisan
masa lalu untuk menggantikan atau menyetop hukum kriminal modern yang diadopsi
dari Eropa dengan serta merta. Cara seperti ini bukan saja sebagian besar hukum
kriminal dalam Syari’ah itu malah tidak bisa berjalan dan statis, melainkan ia
mengacaukan proses evolusi dan sumbangan positif hukum Syari’an itu sendiri
terhadap hukum modern. Perjalanan Syari’ah di Indonesia menunjukkan hal yang
sama. Dinamika Syari’ah atau elemen hukum Islam di Indonesia masuk ke dalam
sistem hukum Indonesia justeru ketika diletakkan di dalam kerangka negara
Indonesia dan sistem hukum nasional Indonesia itu sendiri (Salim and Azra,
2003). Penelusuran Retno Lukito (2003) menunjukkan persaingan antara hukum adat
atau hukum asli Indonesia jauh tertinggal dari elemen Syari’ah Islam dalam
proses adopsi hukum nasional. Sementara hukum ekonomi Syari’ah seperti Bank
tanpa bunga atau bank muamalat, misalnya, bisa berjalan bukan saja ketika ia
masuk dalam kerangka hukum Indonesia melainkan malah mengadopsi prinsip-prinsip
kapitalisme (Hefner, 2003).
Tetapi dari cerita adopsi positif atas beberapa elemen
Syari’ah dalam kerangka hukum nasional dengan tiga tiang tersebut, sesungguhnya
menyimpan sejumlah pertanyaan lebih lanjut bagi perlunya diskusi yang lebih
mendasar dan detail tentang elemen-elemen Syari’ah itu sendiri. Ini bukan hanya
dalam masalah yang berkaitan dengan isu diskriminatif seperti posisi perempuan
dan non Muslim melainkan lebih-lebih masalah keadilan secara umum.
Misalnya tentang riba yang kemudian diimplemetnasikan melalui Bank Syari’ah atau tanpa bank bunga dan Zakat yang kemudian melahirkan lembaga BAZIS (Badan Amil Zakat dan Sodaqoh). Pertanyaannya adalah bukan perlu atau tidak perlu doktrin itu di dalam Islam, tetapi apakah doktrin warisan yang ada cukup bermanfaat dan bisa menyelesaikan masalah dalam kehidupan sekarang. Kalau tidak, lalu bagaimana transformasi seharusnya dilakukan?
Implementasi Bank Syari’ah, meskipun berbeda pola dan sistemnya dengan Bank Konvensional dan secara teoritik tidak menerapkan pola bunga (interest), tetapi dalam kenyatannya sama-sama melakukan eksploitasi dan tidak memberi jalan keluar bagi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Dalam praktik Bank Syari’ah tetap saja para pemilik modal dan pemilik uang yang bisa memanfaatkan secara maksimal lembaga itu dan tidak memberikan jalan keluar bagi akses orang miskin terhadap modal dan iklim usaha. Sistem Syirkah dan Mudhorobah, misalnya, dalam praktiknya seringkali lebih memberikan keutungan lebih besar kepada pemilik modal ketimbang dalam sistem konvensional.
Misalnya tentang riba yang kemudian diimplemetnasikan melalui Bank Syari’ah atau tanpa bank bunga dan Zakat yang kemudian melahirkan lembaga BAZIS (Badan Amil Zakat dan Sodaqoh). Pertanyaannya adalah bukan perlu atau tidak perlu doktrin itu di dalam Islam, tetapi apakah doktrin warisan yang ada cukup bermanfaat dan bisa menyelesaikan masalah dalam kehidupan sekarang. Kalau tidak, lalu bagaimana transformasi seharusnya dilakukan?
Implementasi Bank Syari’ah, meskipun berbeda pola dan sistemnya dengan Bank Konvensional dan secara teoritik tidak menerapkan pola bunga (interest), tetapi dalam kenyatannya sama-sama melakukan eksploitasi dan tidak memberi jalan keluar bagi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Dalam praktik Bank Syari’ah tetap saja para pemilik modal dan pemilik uang yang bisa memanfaatkan secara maksimal lembaga itu dan tidak memberikan jalan keluar bagi akses orang miskin terhadap modal dan iklim usaha. Sistem Syirkah dan Mudhorobah, misalnya, dalam praktiknya seringkali lebih memberikan keutungan lebih besar kepada pemilik modal ketimbang dalam sistem konvensional.
Akan halnya BAZIS. Tentu kedua lembaga yang disebut di atas
ada manfaatnya, minimal bagi orang-orang tertentu, tetapi apakah penerapan
doktrin tanpa resrve dan sikap kritis akan sesuai dengan tujuan etis semula
dari misi kenabian Muhammad? Beberapa penerapan Perda Zakat di Indonesia,
misalnya, mendapatkan kritik dari para pemgamat dan para pembayar zakat bahwa
sebagian dana itu digunakan oleh para pemimpin politik daerah itu untuk
memobilisasi dukungan dan oleh pemilik modal sebagai akumulasi perluasan usaha.
Saya kuatir dalam berbagai kasus, penerapan seperti itu tanpa sikap kritis dan
transformasi terlebih dahulu untuk mencari titik temu antara tujuan etis dan
penerapannya justeru terjadi kesenjangan yang terlalu jauh.
Maka diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang fungsi dan kerangka implementasi terhadap doktrin-doktrin seperti itu. Gugatan-gugatan seperti itu harus dilakukan secara detail bukan hanya dalam tataran konseptual melainkan sampai pelaksanaan dan impactnya bagi masyarakat.
Maka diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang fungsi dan kerangka implementasi terhadap doktrin-doktrin seperti itu. Gugatan-gugatan seperti itu harus dilakukan secara detail bukan hanya dalam tataran konseptual melainkan sampai pelaksanaan dan impactnya bagi masyarakat.
Sumber Bacaan:
Islam Dan Negara Sekuler
(Abdullahi Ahmed An-Na’im)
(Abdullahi Ahmed An-Na’im)