BERFIKIR SEBAGAI
WUJUD SYUKUR TERHADAP ANUGERAH TUHAN
Oleh : Faiz
al-zawahir*
Ketika
seorang mencoba untuk membuat suatu berfikir radikal, mereka akan mengalami
problematika dalam benturan teologis, hal ini saya alami hari ini, dimana secara sekilas Nampak adanya pertentangan antara yang
dogma-dogma serta tradisi yang disakralkan dalam kehidupan masyarakat dengan rekonstruksi
berfikir dengan mengedepankan rasionalitas
yang condong berimplikasi terhadap relativisme, artinya munculnya polemik dalam diri ini mempertanyakan kebenaran dari dogma itu
serta tujuan dari tradisi-tradisi keagamaan.
Konflik pemikiran dan perasaan yang bergejolak dalam
proses berfikir seseorang tak jarang menjadikan manusia itu gelisah dan terus
mencari jawaban mana yang benar dan mana yang salah. Hal itu sebagai fitrah manusia, fitrah adalah anugrah
dari Tuhan yang begitu besar di mana manusia selalu condong pada kebenaran dan
hati nuraninya senantiasa ingin menggapai kebenaran tersebut.
Manusia
diberikan tuhan akal untuk berfirkir terkadang pemikiran yang dipakai oleh
manusia menentang apa yang menjadi ideologisya. Kita tahu yang diperlukan adalah solusi dalam pemecahan
atatu dekontruksi kesestan berfikir, kendala yang peling signifikan seperti
menentang aturan absolitis agama, orang ingin berfikir bebas tapi dalam alurnya
mereka loncat dan menyelam di naluri pemikiran manusia lainya.
Pendayagunaan
akal guna mencapai keimanan dan keislman yang ajeg merupakan prasyarat mutlak
dalam agama islam. Addinu huwal aqlu
Ladinu liman la aqlu lahu agama adalah akal maka tidak ada agama bagi orang
yang tidak menggunakan akalnya. Akal bisa mengatarkan manusia menuju keislaman
yang utuh dan keimanan yang teguh ketika dalam prosesnya menggunakan kerangka
berfikir yang islami dengan berpondasikan nilai-nilai ilahiyah dan nilai insaniyah
yang diajarkan oleh
Salah satu
pembaharu pemikiran muda adalah WAHIB,
wahib merupakan pemuda yang mengedepankan kebebasan
berfikir sebagai bukti mensyukuri nikmat TuhanNya, dia mengatakan bahwa
menilai baik dan buruk itu bukan berdasar dari Al-Qur’an dan Sunnah tetapi dari
penilian akalnya. Saat orang melihat pernyataan ini mungkin mereka akan
berasumsi ini kesesatan berfikir, tapi maksud darinya bukan kita menentang
Al-Qur’an dan Sunnah tapi bagaimna kita sebagai manusia menggunakan akalnya
untuk berfikir jangan hanya terpaku pada diktum agama, inilah wahib yang
memberikan kebebsan berfikir tanpa apologia diktum agama. Keterbatasan,
kebencian, permusuhan timbul karena perbedaan berfikir apapun itu, baik
pemahaman agama, politik, sosial dan lainya contoh kita tahu Islam itu satu tap
mengapa dalam pelaksanaan ritual ibadah, banyak perbedaan ?? apakah ini
kesesatan agama ? apakah ini sekenario tuhan ?? inilah perbedaan kerangka dalam
berfikir.
Kita ketahui
satu kepala dengan kepala lainya itu berbeda meskipun rambut sama hitam, sama
dari Tuhan, tapi inilah romantisme dalam berfikir, jangan pernah kita katakan
perbedaan pasti memunculakan permusuhan tapi berikan konstruktif dalam
rasionlitas kita, permusuhan timbul karena egoisme, tidak saling menghargai,
merasa paling benar sehingga transformasi kebenarannya menjadi polemik baru.
Kasih sayang
yang kita berikan tidak hanya
utnuk orang yang kita sayani dan cintai, tapi kasih dan sayang kita harus kita
berikan pada keanekaragaman berfikir , mencoba untuk mencitai perbedaan sama
halnya dengan menghargai dan memberikan ruang hati untuk memunculkan
ke-ikhlasan, kita sama-sama punya Tuhan, kita pun sama punya persamaan dan
perbedaan , menciptakan stabilitas berfikir itulah harapan kita semua teringat
catatan harian Ahmad Wahib diantaranya :
Aku bukan nasionalis, bukan Katoloik, bukan sosialis,
aku bukan budha, Protestan,bukan westernis.
Aku bukan komunis aku bukan humanis,
aku adalah semuanya . mudah-mudahan inilah yang
disebut Muslim.
Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku
sebagai suatu kemutlakan tanpa menghubung-hibngkan dari kelompok mana saya
termasuk serta dari aliran apa saya berangkat
( Ahmad Wahib, 1981 : 41
)
Ini merupakan
salah satu contoh kecil dari seorang Wahib, mari kita berutopis bersama bahwa hari esok kita dapat
menghargai perbedaan tanpa melihat dari mana dia berasal. Kawan-kawan semua kita hidup dalam
ruang lingkup keberagaman, serta polemik berfikir , kita berada pada lingkungan
mayoritas Islam , kunci untuk menjadikan keamanan serta kenyamanan dalam
bersosial adalah stabilitas dalam berfikir dengan mengedepankan persaudaraan
dan persatuan.
*Faiz Al-zawahir, Seorang mahasiswa
jurusan Pendidikan Agama Islam UIN SGD Bandung; Aktivis HMI Komisariat Tarbiyah
Cabang Kabupaten Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar