Jumat, 01 Agustus 2014

BERFIKIR SEBAGAI WUJUD SYUKUR TERHADAP ANUGERAH TUHAN



BERFIKIR SEBAGAI WUJUD SYUKUR TERHADAP ANUGERAH TUHAN
Oleh : Faiz al-zawahir*

            Ketika seorang mencoba untuk membuat suatu berfikir radikal, mereka akan mengalami problematika dalam benturan teologis, hal ini saya alami hari ini, dimana secara sekilas Nampak adanya pertentangan antara yang dogma-dogma serta tradisi yang disakralkan dalam kehidupan masyarakat dengan rekonstruksi berfikir dengan mengedepankan rasionalitas yang condong berimplikasi terhadap relativisme, artinya munculnya polemik dalam diri ini mempertanyakan kebenaran dari dogma itu serta tujuan dari tradisi-tradisi keagamaan. Konflik pemikiran dan perasaan yang bergejolak dalam proses berfikir seseorang tak jarang menjadikan manusia itu gelisah dan terus mencari jawaban mana yang benar dan mana yang salah. Hal itu sebagai fitrah manusia, fitrah adalah anugrah dari Tuhan yang begitu besar di mana manusia selalu condong pada kebenaran dan hati nuraninya senantiasa ingin menggapai kebenaran tersebut.
Manusia diberikan tuhan akal untuk berfirkir terkadang pemikiran yang dipakai oleh manusia menentang apa yang menjadi ideologisya. Kita tahu  yang diperlukan adalah solusi dalam pemecahan atatu dekontruksi kesestan berfikir, kendala yang peling signifikan seperti menentang aturan absolitis agama, orang ingin berfikir bebas tapi dalam alurnya mereka loncat dan menyelam di naluri pemikiran manusia lainya.
Pendayagunaan akal guna mencapai keimanan dan keislman yang ajeg merupakan prasyarat mutlak dalam agama islam. Addinu huwal aqlu Ladinu liman la aqlu lahu agama adalah akal maka tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan akalnya. Akal bisa mengatarkan manusia menuju keislaman yang utuh dan keimanan yang teguh ketika dalam prosesnya menggunakan kerangka berfikir yang islami dengan berpondasikan nilai-nilai ilahiyah dan nilai insaniyah yang diajarkan oleh
Salah satu pembaharu pemikiran muda adalah WAHIB, wahib merupakan pemuda yang mengedepankan kebebasan berfikir sebagai bukti mensyukuri nikmat TuhanNya, dia mengatakan bahwa menilai baik dan buruk itu bukan berdasar dari Al-Qur’an dan Sunnah tetapi dari penilian akalnya. Saat orang melihat pernyataan ini mungkin mereka akan berasumsi ini kesesatan berfikir, tapi maksud darinya bukan kita menentang Al-Qur’an dan Sunnah tapi bagaimna kita sebagai manusia menggunakan akalnya untuk berfikir jangan hanya terpaku pada diktum agama, inilah wahib yang memberikan kebebsan berfikir tanpa apologia diktum agama. Keterbatasan, kebencian, permusuhan timbul karena perbedaan berfikir apapun itu, baik pemahaman agama, politik, sosial dan lainya contoh kita tahu Islam itu satu tap mengapa dalam pelaksanaan ritual ibadah, banyak perbedaan ?? apakah ini kesesatan agama ? apakah ini sekenario tuhan ?? inilah perbedaan kerangka dalam berfikir.
Kita ketahui satu kepala dengan kepala lainya itu berbeda meskipun rambut sama hitam, sama dari Tuhan, tapi inilah romantisme dalam berfikir, jangan pernah kita katakan perbedaan pasti memunculakan permusuhan tapi berikan konstruktif dalam rasionlitas kita, permusuhan timbul karena egoisme, tidak saling menghargai, merasa paling benar sehingga transformasi kebenarannya menjadi polemik baru.
Kasih sayang yang kita berikan tidak hanya utnuk orang yang kita sayani dan cintai, tapi kasih dan sayang kita harus kita berikan pada keanekaragaman berfikir , mencoba untuk mencitai perbedaan sama halnya dengan menghargai dan memberikan ruang hati untuk memunculkan ke-ikhlasan, kita sama-sama punya Tuhan, kita pun sama punya persamaan dan perbedaan , menciptakan stabilitas berfikir itulah harapan kita semua teringat catatan harian Ahmad Wahib diantaranya : 
Aku bukan nasionalis, bukan Katoloik, bukan sosialis, aku bukan budha, Protestan,bukan westernis.
Aku bukan komunis aku bukan humanis,
aku adalah semuanya . mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim.
Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan tanpa menghubung-hibngkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat
( Ahmad Wahib, 1981 : 41 )

Ini merupakan salah satu contoh kecil dari seorang Wahib, mari kita berutopis bersama bahwa hari esok kita dapat menghargai perbedaan tanpa melihat dari mana dia berasal. Kawan-kawan semua kita hidup dalam ruang lingkup keberagaman, serta polemik berfikir , kita berada pada lingkungan mayoritas Islam , kunci untuk menjadikan keamanan serta kenyamanan dalam bersosial adalah stabilitas dalam berfikir dengan mengedepankan persaudaraan dan persatuan.


*Faiz Al-zawahir, Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam UIN SGD Bandung; Aktivis HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten Bandung.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar