PAULO FREIRE DAN LIBERALISASI PENDIDIKAN
Oleh : Faiz Al-zawahir*
Setiap manusia sangat membutuhkan apa yang namannya
pendidikan. Pendidikan mengajarkan kepada manusia bagaimana beriteaksi dengan
manusia lain lebih mudah. Pendidikan membantu manusia untuk mampu beradaptasi
dengan lingkungan luar. Sementara itu, usia pendidikan sendiri sama dengan
manusia itu, berarti manusia akan mengalami proses pendidikan pada saat ia
lahir, tentunya tanpa ia sadari. Apalagi, kalau di secara historis, pendidikan
telah mulai dilaksanakan sejak manusia berada dimuka bumi.
Adanya pendidikan adalah setua dengan adanya kehidupan
manusia itu sendiri. Tentunya manusia itu akan membentuk budaya dan peradaban
dimuka bumi dan itu sifatnya dinamis, selalu mengalami perkembangan. Dan hal
tersebut(perkembangan peradaban) mempengaruhi perkembangan pendidikan pula.
Dengan perkembangan peradaban manusia, berkembang pula pendidikan baik itu
bentuk, isi bahkan termasuk penylenggaraannya. Tentunya hal ini selaras dengan
perkembangan atau kemajuan manusia dalam pemikiran dan ide-ide tentang
pendidikan.
Di Indonesia tokoh fenoemenal yang tertulis dalam sejarah
Indonesia, pendidikan khususnya yakni Ki Hajar Dewantara, mengartikan
pendidikan sebagai tuntutan hidup tumbuhnya anak. Adapun maksudnya pendidikan
itu ialah, menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, ialah
agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.Dan menurut Driyakarya,
pendidikan merupakan usaha atau proses pemanusiaan manusia muda.
Bisa diambil suatu garis besar terhadap pendidikan,
pendidikan akan membentuk kepribadian manusia yang baik, dalam arti manusia
tersebut benar-benar menjadi hakikatnya manusia dan tidak mengalami dehumanisasi.
Dalam sejarah, dalam konteks-konteks nyata serta objetif, pemanusiaan maupun
dehumanisasi merupakan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia sebagai makhluk
yang belum utuh, yang sadar akan ketidak-utuhan dirinya.
Meski keduanya merupakan alternatif, hanya pemanusiaan yang
menjadi fitrah manusia. Fitrah ini selalu di injak-injak, namun justru tiap
kali ia diinjak ia makin diteguhkan. Dehumanisasi
sendiri merupakan keadaan dimana manusia itu mengalami suatu kondisi yang
menempatkan manusia itu dalam keadaan kurang manusiawi karena adanya
pihak yang merampas kemanusiawiannya dan cita-cita untuk menjadi manusia utuh
telah dihambat. Dehumanisasi juga merupakan produk tatanan yang tidak adil yang
melahirkan kekerasan para penindas yang membuat kaum tertindas menjadi kurang
dari manusia.Untuk itulah diperlukan sebuah upaya
menghapus semua bentuk penindasan.
Untuk menaklukkan situasi penindasan, pertama-tama manusia
harus mengenali sebab-musababnya secara kritis, hingga ia dapat menciptakan
situasi baru yang memungkinkan usaha mencapai keutuhan kemanusiaan. Tetapi,
kaum tertindas yang telah menyesuaikan diri dengan stuktur dominasi yan
menenggelamkan mereka, yang sudah pasrah, takkan bisa berjuang demi kebebasan
selama mereka merasa tak mampu menghadapi risiko-risiko yang pasti ada dalam
perjuangan semacam itu. Hal itu tidak diakibatkan oleh pendidikan yang masih
“tragis” bagi kaum tetindas dan mesti diperhitungkan. Pendidikan harus
dilaksanakan dengan bukan untuk, kaum tertindas ( secara
individual maupun kelompok) dalam perjuangan tiada henti untuk meraih kembali
kemanusiaan mereka. Pendidikan ini menjadikan penindasan beserta
sebab-musababnya sebagai objek renungan kaum tertindas, dan dari situ mereka
terlibat dalam perjuangan membebaskan diri mereka.
Paulo Freire memandang bahwa perlunya sebuah pendidikan yang
kritis untuk menjadi pedoman, landasan, pijakan, dan tolok ukur bagi manusia
dalam melihat fenoma yang ada, apalgi sebuah bentuk penindasan, tentu hal itu
akan terjadi pada suatu kondisi yang tidak berimbang antara satu individu
dengan individu lain maupun antara satu kelompok dengan kelompok lain, maka
yang terjadi adalah penindasan. Bagi kaum tertindas akan mengalami
dehumanisasi, maka dari itu diperlukan sebuah upaya sadar dan nyata untuk
beranjak dari masa suram tersebut, alternatif yang paling cocok ialah
pendidikan yang lebih baik dan perlunya liberasi pendidikan yang ujungnya akan
membentuk manusia seutuhnya. Jadi, bukan hanya sebatas pendidikan “formal”
belaka sebagai alat politisasi belaka yang hanya akan membuat manusia tetap
berada pada manusia yang belum utuh bahkan jauh lebih parah apabila pendidikan
dijadikan alat “penindasan” kemanusiaan.
Tentunya hal demikian akan berjalan dengan baik, apabila
seperangkat sistem yang mengatur juga beroperasi dengan maksimal dan saling
mendukung satu sam lain. Apabila kita melihat pada ranah lembaga pendidikan,
tugas pendidik untuk mencarikan cara tepat bagi peserta didik untuk belajar,
dan fungsi yang paling baik yang bisa ditawarkan kepada peserta didik, sehingga
mereka dapat memeranakan diri sebagai subjek belajar selama mengikuti
pendidikan untuk memberantas buta huruf misalnya. Pendidikan harus secara
konsisten menemukan dan terus mencari cara-cara yang memudahkan peserta didik
untuk melihat objek yang harus diketahui dan akhirnya dipelajari, sebagai
sebuah masalah. Dalam hubungan antara pendidik dan peserta didik yang
dimediatori oleh objek pegetahuan haruslah dengan di singkap, faktor yang
paling penting adalah perkembangan adalah sikap kritis terhadap objek, bukannya
apa yang diajarkan pendidik tentang objek. Maka ketika pendidik dan peserta
didik sama-sama mendekati objek untuk dianalisa guna menemukan maknanya, mereka
manemukan informasi yang benar untuk mendapatkan hasil analisa yang tepat.
Mengetahui (to knows) tidak sama dengan menebak (to guees); informasi itu hanya
akan bermanfaat jika kita dapat menangkap akar permasalahannya. Tanpa rumusan
masalah yang tepat, maka proses mencari informasi bukanlah momentum belajar
yang tepat dan proses tersebut hanya akan menjadi proses pengalihan informasi
dari pendidik kepada peserta didik.
Kembali lagi pada pendidikan (kaum tertindas), pendidikan
yang mereka alami dijalankan oleh kemurah-hatian otentik, kedermawanan humanis
( bukan humanitarian), menampilkan diri sebagai pendidikan manusia.
Pendidikan yang berawal dari kepentingan-kepentingan egoistis para penindas
yang membuat kaum tertindas jadi objek-objek hunatiraianisme, melestarikan dan
mengedepankan penindasan. Pendidikan seperti itu adalah alat mendehumanisasikan
manusia. Inilah sebebnya pendidikan kaum tertindas tak bisa dikembangkan atau
dipraktikkan oleh kaum penindas. Selain itu pula,
penerapan pendidikan yang membebaskan memerlukan kekuatn politik, sementara
kaum tertindas tidak memiliki itu. Itulah mengapa, pendidikan erat kaitannya
dengan politisasi. Sistem pendidikan menjadi sentralistik dan bahkan otoriter,
pihak penguasa memiliki kekuatan untuk mengatur semuanya. Ya kalau penguasa
(pemerintah) benar-benar memahami betapa pentingnya pendidikan, maka ia akan
mencurahkan perhatian yang lebih kepada pendidikan yakni liberasi pendidikan.
Jadi, artinya tidak ada unsur politik dalam pendidikan yang memberatkan manusia
dalam menjalani pendidikan. Bukan berarti pemerintah “lepas tangan” terhadap
perkembangan pendidikan, namum lebiih kepada bagaimana otoritas pemerintah
tidak mutlak dan absolut serta bebas dari unsur politisasi.
Karena apabila dunia pendidikan sudah tercermar dengan aroma
politisasi, maka akan berdampak buruk pada generasi muda (peserta didik). Mulai
dari pusat, sampai ke tingkat birokrasi sekolah akan diwarnai saling
menguntungkan kepentingan pribadi. Misalnya, dalam sebuah sekolah (apapun
jenjangnya) menjadi sebuah pasar pengetahuan; profesor menjadi seorang ahli
yang menjual dan mendistribusikan pengetahuan yang telah di paket, sedangkan
peserta didik menjadi klien yang membeli dan mengonsumsinya. Sekali lagi, yang
penting bagi pendidik dan peserta didik adalah berusaha untuk menghindar dari
jebakan birokrasi karena sesungguhnya birokrasi hanya akan menghambat
kreatifitas dan membentuk peserta didik menjadi sekadar orang yang pandai
mengulang-ulang kata-kata yang klise.Makanya pendidikan
harus lebih menekankan pada konsep pemanusiaan yang murni bukan hanya
pengetahuan manusia itu “apa”, tapi “untuk apa”.
Jadi, memang kebanyakan sistem pendidikan (pada zaman
skarang) Indonesia khususnya, hanya menekankan pada aspek kognitif saja,
sedangkan psiko-motorik dan afektif masih minim, apalagi psiko-motorik memang
sangat sedikit pendidik yang sampai ke arah sana karena orientasi mereka hanya
menajdikan peserta didik sebagai ‘ilmuan”, bukan orang yang “berilmu”,
maksudnya out put yang dihasilkan hanya membentuk orang-orang yang berfikir
secara rasional tanpa menggunakan hati. Otak dijadikan otoritas utama dengan
menomerdukan hati, bukan berarti pendidikan itu tidak menggunakan otak, hanya
persentase penggunaan hati sangat minim. Ya, kita lihat saja, untuk mata
pelajaran mengenai keagmaan hanya satu kali dalam seminggu, berbeda dengan
disiplin ilmu yang lain.
Ya, walaupun, konsep pendidikan Paulo freire ini lebih
kepada bagaimana usaha manusia dari kaum terindas untuk bangkit dari
ketertindasannya itu, ya bisa dibilang suatu revolusinerisasi dari kaum
tertindas melalui pendidikan, hal tersebut beliau lihat dari konteks pada
wilayah yang sedang menglami penjajahan, bukan berarti pada zaman sekarang hal
tesebut tidak relevan lagi, justru yang beliau katakan masih terlihat, walaupun
bukan dalam bentuk formal (penjajahan).
Beliau juga menyatakan, faktor yang paling penting dalam
dunia pendidikan ini bukanlah belajar membaca dan menulis, yang bisa jadi
proses tersebut tidak disertai dengan penglihatan yang kritis terhadap konteks
sosial mereka. Apa yang beliau katakan memang
terjadi pada dunia pendidikan, khususnya Indonesia, hanya mengajarkan
pengetahuan dari itu parahnya lagi terkadang peserta didik hanya menyalin apa
yang ada di buku. Peserta didik hanya identik dengan kelas, buku, pena, dan
guru. Peserta didik tidak diaktualkan dalam konteks sosial yang ada.
Jadi, seyogyanya, guru (pendidik) dan murid (peserta didik),
sama-sama bertindak dalam dan bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi
subjek-subjek, bukan hanya dala tugas menyingkap kenyataan, supaya
mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali
pengetahuan tadi. Selagi mereka memperoleh pengetahuan tentang kenyataan
melalui reungan dan tindakan bersama, mereka menemukan diri sebagai
pencipta-pencipta yang permanen. Dengan bagitu, maka
tidak akan ada lagi peserta palsu, melainkan peserta yang terlibat penuh dengan
komitmen terhadap pemanusiaan.
Sumber:
Dwi Siswoyo, dkk. (2008). Ilmu Pendidikan.
UNY-Press:Yogyakarta
Paulo Freire. (2008). Pendidikan Sebagai Proses. Pustaka
Pelajar:Yogyakarta.
Paulo Freire dkk. (2006). Menggugat Pendidikan;
Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. Pustaka Pelajar:Yogyakarta,
Cetakan Ke-VI.
*Faiz Al-zawahir Ketua Umum HMI
Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten Bandung. Mahasiswa Jurusan Pendidikan
Agama Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar