KH. Abdur Rahman Wahid
(Hubungan Agama dan Negara)
BAB. I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sangat boleh
jadi semua orang sepakat tentang Gus Dur hanya satu hal, yaitu bahwa dia adalah
tokoh kontraversial tulen. Dan memang semua orang boleh menjuluki apa saja
tentang tokoh yang satu ini mulai dari yang baik-baik sampai kepada yang
buruk-buruk. Toh selama ini Gus Dur cuek saja dengan kalimat yang sekaligus
menjadi ciri khasnya “gitu aja kok repot”.
Sampai saat
ini, belum atau taakan perna ada yang akan bisa menandingi Gus Dur dalam banyak
mengumpulkan julukan. Keluasan pergaulan dan perhatian Gus Dur niscaya sangat
berperan dalam mengumpulkan julukan itu. Mereka yang melihatnya begitu taat dan
gigihnya mengikuti orang tua dan kakeknya dalam mencintai tanah air mungkin
akan mejlukunya Nasionalis. Mereka yang melihatnya berkiprah dibidang kesenian
dan budaya mungkin akan menjulukinya budayawan atau seniman. Mereka yang sering
menyaksikan dalam mengisi seminar-seminar dan menuliskan pemikiranpemikirannya
mungkin akan mejulukinya cendekiawan atau pemikir dan seterusnya.
Sangat boleh
jadi “Wallahu a’lam” Gus Dur memang merupakan “pelajaran” atau “pengajaran”
yang sangat keras bagi bangsa yang tak kunjung bisa berbeda dan bersikap adil
ini. Mulai dari zaman kerajaan hingga zaman raja Suharto bangsa ini boleh
dikata tidak pernah diajari untuk berbeda. Bahkan yang selalu didikkan oleh
para penguasanya terutama penguasa orde baru dulu adalah penyeragaman. Sehingga
tanpa terasa di Republik ini perbedaan yang paling fitri pun masih dipandang
sebagai hal yang angker. Orang yang berbeda diidientikkan dengan musuh. Dan
pada gilirannya orangpun sulis bersikap adil dan obyektif.
Oleh karena itu
jangan heran bila demokrasi disini masih terus menjadi infian dan slogan.
Barangkali dan mudah-mudahan karena sayangnya Allah kepada bangsa ini, iapun
terus mengingatkan dengan setiap kali memperlihatkan fenomena-fenomena
kontraversial yang betapapun kita ingin menyeragamkan tak akan pernah kita
dapat menyatukan pandangan kita, sebagai contoh berulangkalinya terjadi
perbedaan penentuan hari raya baik “idiel fitry” maupun “idiel adha”. Betapapun
hebatnya argument masing-masing pihak, tetapun pihak lain tidak akan mampu
sependapat. Masing-masing hanya akan bersikap sesuai keyakinan sendiri.
Boleh jadi
karena berkali-kalinya kita tidak bisa mencermati pelajaran-pelajaran Allah
yang diberikan dengan cara seperti itu, maka iapun memberikan pelajaran puncak
dalam bentuk seorang imam yang paling kontraversial yang pernah dimiliki
Republik ini yang sedikitpun tidak pernah merasa takut terhadap perbedaan,
yaitu Gus Dur !
Terpilihnya
Gusdur sebagai presiden bukanlah pemberian poros tengah, bukan Amin Rais, bukan
NU apalag PKB partai yang dideklarasikan oleh Gus Dur sendiri dan kalau
seandainya boleh ditanyakan pada Poros Tengah yang mengusungnya waktu itu atau
kepada fraksi-fraksi yang ada di MPR, termasuk Amin Rais sendiri,apakah Gus Dur
pada saat itu menjadi pilihan mereka untuk menjadi presiden ? Asal mereka mau
jujur pada diri mereka sendiri, pasti mereka akan menjawab bukan.
Dari sekian
orang yang segar bugar, sekian ribu politisi,sekian ribu ahli politik,sekian
ribu tokoh masyarakat, sekian ribu pakar tata negara, tetapi aneh Gus Dur yang
bukan tokoh partai politik, bukan pemerintah yang sedang berkuasa dan buka pula
milioner, dipilih secara demokratis bahkan paling demokratis dalam sejarah
Republik ini oleh MPR hasil pemilu yang demokratis dalam era keterbukaan dimana
setiap orang bisa menyampaikan anspirasinya sebesar-besarnya.
Jadi minimal menurut
keyakinan saya sendiri, Gus Dur adalah tokoh kontraversial sejati yang suka
berbeda memang dipilih oleh Allah untuk memberikan pelajaran kepada kita,
bangsa yang selama ini terus menerus hanya dididik bersikap seragam dan tidak
menghargai keadilan.
Berdasarkan
latar belakang tersebut diatas melalui makalah ini penulis akan mengambil
secuil pemikiran dan pandangan seorang Gus Dur (K.H.ABD.RAHMAN WAHID ) melalui
topic “K.H.Abd.Rahman Wahid Hubungan Agama dan Negara”
B.
Rumusan dan
Batasn Masaalah.
Dalam
pembahasan makalah ini penlis membatasi rumusan dan permasalahan sebagai
berikut :
1. Siapakah
sebenarnya K.H.Abd. Rahman Wahiud ?
2. Bagaimana pemikiran
K.H.Abd. Rahman Wahid (Gusudur) tentang hubungan agama dan negara ?
3. Apa
alasan-alasan K.H.Abd.Rahman Wahid dalam memisahkan antara urusan agama dan
negara ?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini selain untuk lebih memperdalam,memahami pemikiran
gusdur dalam masalah agama dan Negara serta hubungan antara keduanya. Penulisan
makalah ini juga bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah filsafat
islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi K.H.Abd.Rahman Wahid
1. Gus Dur Kecil
K.H.Abd.Rashman
Wahid atau yang lebih dikenal dengan gelar Gus Dur, lahir dengan nama
Abdurrahman Addakhil pada tanggal 4 Agustus 1940 di Denayar Jombang, anak
pertama dari enam bersaudara. Ayahnya K.H.Abd. Wahid Hasyim, adalah putra
K.H.Hasyim Asy’ari, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dan pendiri Jam’iyah
Nahdhatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan didunia
melalui jumlah anggota sedikitnya 40 juta orang .
Ibunya,
Ny. Hj Sholehah juga putri tokoh besar NU, K.H.Bisri Syamsuri, pendiri Pondok
Pesantren Denanyar Jombang dan Rois ‘Aam Syuriyah PBNU setelah K.H.Wahab Hasbullah,
dengan demikian secara genetik K.H.Abd Rahman Wahid memang keturunan Dara biru.
Gus Dur adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh besar Bangsa
Indonesia.
Lebih
dari itu Gus Dur adalah keturunan Brawijaya IV (Lembu Peteng) lewat dua jalur
yakni Ki Ageng Tarub I dan Joko Tingkir. Bersama Ir. Sukarno Presiden pertama
Republik Indonesia dan kawan-kawan. Ayah Gus Dur termasuk salah seorang perumus
“Piagam Jakarta”. Iapun pernah menjabat Menteri Agama pada masa Republik
Indonesia Serikat (RIS). Dalam keudukannya sebagai keturunan kiyai paling
terkemuka dan bangsawan di Indonesia.
Meskipun
demikian kehidupan Gus Dur tidak mencerminkan seorang ningrat. Dia berproses
dan hidup sebagaimana layaknya kebanyakan masyarakat. Gus Dur kecil belajar di
Pondok Pesantren. Dalam usia 5 tahun ia sudah lancar membaca al Qur’an, gurunya
waktu itu adalah kakenya sendiri K.H.Hasyim Asy’ari .
Pada
saat bocah tidak seperti anak seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama
ayahnya, tetapi ikut bersama kakeknya. Dia diajari mengaji dan membaca al
Qur’an oleh kakenya sendiri di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Disaat
serumah dengan kakenya itulah Gus Dur mulai mengenal politik dari orang-orang
yang tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.
2. Proses menjadi Gus Dur.
Pada
usia 22 tahun, Gus Dur berhasil menamatkan bebrap kitab standar mu’tabarah
Pondok Pesantren. Sehingga dia dapat dikatakan telah memenuhi syarat untuk
menjadi seorang alim. Dalam usia itu ia kemudian berangkat menuju Mekah untuk
menunaikan ibadah haji dan melanjutkan studynya ke Timur Tengah. Pada tahun
1964 Gus Dur melanjutkan study di Al Azhar Islamic University Mesir, mengambil
konsentrasi Departemen of Higer Islamic and Arabic Studies.
Setelah
tiba di Mesir Gus Dur menemui kendala karena ijazahnya tertolak, sehingga
praktis selama dua tahun disana waktunya tebuang hanya untuk mengurus Ijazah
tadi. Ketika akhirnya ia diterima di Fakultas Syari’ah Universitas Al
Azhar,namun lagi-lagi hatinya tak terpuaskan karena pelajaran yang dia terima
disana rata-rata sudah dia pelajari di pesantren, dan untuk menghilangkan rasa
bosan sebagai gantinya Gus Dur menghabiskan waktunya disalah satu perpustakaan
lengkap di Kairo.
Selama
kuliah di Kairo ia lebih aktif ke perpustakaan, nonton film dan selebihnya
diisi dengan kegiatan organisasi, akibatnya Gus Dur tidak naik tiungkat dalam
kuliahnya di Al Azhar. Mendengar kegagalan kuliyah Gus Dur di Mesir, gadis pujaannya Nuriyah mengirim
surat dari tanah air kepadanya di Mesir yang bernada motifasi dan menghibur,
“Kamu harus berhasil dalam kuliahmu seperti berhasilnya kamu menanamkan
perasaan dalam hatiku,” tulis Nuriyah .
Meski
begitu bagi Gus Dur belajar di Mesir bukan tanpa kesan menurut pengakuannya, di
Mesir itulah ia banyak memperoleh faham “Sosialisme yang berbudaya”.
Orang-orang Arab kata Gus Dur sering mempersoalkan sosialisme dari sudut
budaya, hal itu dilakukan karena mereka tidak punya tempat mempersoalkan
sosialisme dari sudut agama. Dan inilah yang ikut mempengaruhi
pemikiran-pemikiran Gus Dur yang membias dalam derap langkahnya di Indonesia.
Merasa
tak akan berkembang Gus Dur lalu memutuskan keluar dari Universitas Al Azhar
mesir dan pindah ke Bagdad, dan pada tahun 1966, dalam usia 26 tahun Gus Dur
secara resmi masuk ke Departemen of Relegion, di Universitas Baghdad Irak. Di
Baghdad Gus Dur memperoleh gelar Lc-setinggkat S1 di Indonesia-Sastra Arab.
Kemudian melanjutkan S2 (Setingkat MA). Judul thesisnya sudah diajukan, tapi
sial sipembimbing meninggal dunia dan untuk mencari gantinya setengah mati,
akhirnya ia memutuskan pulang ke Indonesia.
3. Eksperimentasi menjadi Gus Dur.
Dengan
berbekal ijazah S1 Universitas Baghdad, Gus Dur kembali ke IndonesiaPada tahun
1972 ia menjadi dosen sekaligus dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim
Asy’ari (Unhas) di Jombang hingga tahun 1974. Ketika itu pula ia menekuni
kembali bakatnya menulis dan menjadi kolumnis. Tulisannya yang anatik dan
kritis, tajam dan reflektif tentang pesasntren, toleransi beragama, pluralism,
demokratisasi dam filsafat tersebar keberbagai media massa, terutama majalah
Tempo,Surat Kabar Kompas,pelita dan jurnal prisma .
Hal
inilah yang kemudian mengantar seorang Gus Dus semakin mencuat kepermukaan
karena gagasan-gagasannya yang menarik perhatian banyak orang dan tidak sedikit
yang mengundang kontraversi.
B. Agama da Negara dalam Pandangan K.H.Abd. Rahman Wahid
Pada
dekade l980an beberapa cendekiawan muslim termasuk K.H.Abd. Raman Wahid
memberikan kalaripakasi tentang hubungan anatar agama dan negara, hal ini
mereka anggap perlu karena pada dekade tersebut banyak ummat Islam yang
ragu-ragu dan hawatir tentang posisi Islam dan negara, keraguan tersebut dapat dimengerti
karena pada dekade tersebut pemerintah Indonesia intens melakukan pembedahan
idiologis yang mempunyai dampak luas terhadap kekuatan politik Islam. Sementara
dipihak lain pemerintah Orde Baru meskipun kedengarannya agak berlebihan, juga
meragukan kestiaan golongan Islam terhadap Pancasila. Hal ini terutama setelah
terjadinya berbagai rentetan kejadian yang dinilai mengganggu stabilitas
nasional.
Dalam
situasi seperti ini, sejumlah cendekiawan Muslim melontarkan pemikiran kreatif
dan kritis, termasuk K.H.ABD. Rahman Wahid beliau berpendapat bahwa dalam
Islam, negara itu adalah hukum (alhukmu) dan Islam sama sekali tidak memiliki
bentuk negara. Yang ada pada Islam adalah etik kemasyarakatan dan komunitas,
Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang defenitif. Dalam persoalan yang
paling pokok saja kata beliau seperti suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak
konsisten, terkadang memakai istikhlaf, bai’at atau ahlulhalli wal aqdi (sistem
formateur). Padahal menurut K.H.Abd. Rahman Wahid, soal suksesi adalah masaalah
yang cukup urgen dalam masaalah kenegaraan, kalau memang Islam punya konsep
tentu tidak terjadi demikian.
Dalam
prespektif Ahl-u ‘l-sunnah wa’l-jama’ah, pemerintahan ditilik dan dinilai dari
segi fungsinya, bukan dari norma formal eksistensinya, atau negara
itu Islam apa bukan, selama kaum Muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh maka konteks pemerintahannya tidak laigi menjadi pusat pemikirannya. Kitab suci al Qur’an pun mengatakan dengan tegas bahwa : waja’alna kum syu’ub-an waqaba’ila lita’arafu. Syu’ub itu artinya nation (bangsa) kata beliau, sedangkan qaba’il artinya suku, namun yang penting adalah lita’arafu, untuk saling berhubungan bukan untuk saling unggul-unggulan, tandasnya.
itu Islam apa bukan, selama kaum Muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh maka konteks pemerintahannya tidak laigi menjadi pusat pemikirannya. Kitab suci al Qur’an pun mengatakan dengan tegas bahwa : waja’alna kum syu’ub-an waqaba’ila lita’arafu. Syu’ub itu artinya nation (bangsa) kata beliau, sedangkan qaba’il artinya suku, namun yang penting adalah lita’arafu, untuk saling berhubungan bukan untuk saling unggul-unggulan, tandasnya.
Yang
ditenatang oleh Islam bukanlah nasionalisme, tetapi fasisme seperti yang
terjadi pada Jerman, Italia dan sebagainya. Namun demikian kata beliau lebih
lanjut, tidak ada halangan bagi seorang muslim untuk menjadi nasionalis, ayat
tersebut sudah ekplisit menyebut adanya bangsa. Dengan demikian tidak perlu
muncul kesulitan dalam mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan.
Tetapi beliau mengakui bahwa pengertian bangsa dalam rumusan al Qur’an diatas
terbatas hanya pada bangsa sebagai satuan etnis yang mendiami territorial bersama.
Sementara wawasan kebangsaan dimasa modern ini pengertiannya sudah lain, ya’ni
satuan politis yang didukung oleh idiologi nasional.
Penjelmaan
pengertian ini kata beliau adalah konsep negara bangsa (nation state). Diabad
modern ini mau tidak mau Islam harus berinteraksi dengan sederetan fenomena
yang secara global yang merupakan nation state. Tulis Abdurrahman Wahid .
Tidak mudah bagi kaum Muslimin untuk mencernakan kearusan historis dalam berintraksi dengan fenomena global itu. Kesulitan besar dalm mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan, terletak pada Islam yang seolah-olah “supra nasional” sebagaimana semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara menyeluruh, tidak peduli asal usul etnisnya. Maka ada kesulitan memasukkan nilai-nilai Islam kedalam konstruksi idiologis yang bersifat nasional. Salah satu cara untuk meneropongi kaitan antara wawasan
Tidak mudah bagi kaum Muslimin untuk mencernakan kearusan historis dalam berintraksi dengan fenomena global itu. Kesulitan besar dalm mencari kaitan antara Islam dan wawasan kebangsaan, terletak pada Islam yang seolah-olah “supra nasional” sebagaimana semua agama, Islam menjangkau kemanusiaan secara menyeluruh, tidak peduli asal usul etnisnya. Maka ada kesulitan memasukkan nilai-nilai Islam kedalam konstruksi idiologis yang bersifat nasional. Salah satu cara untuk meneropongi kaitan antara wawasan
Islam
yang universal dan supra nasional dengan wawasan kebangsaan dari sebuah
masyarakat bangsa ialah dengan mengambil sudut pandang fungsional antara
keduanya.
Dengan jalan fikiran seperti ini Islam harus ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahtraan warga masyarakat apapun bentuk masyarakat yang digunakan. Dan pada akhirnya Abdurrahman Wahid menyimpulkan bahwa tugas Islam yang utama adalah mengembangkan etika social yang memungkinkan tercapainya kesejahtraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masayarakat yang bernama negara nasional maupun diluarnya.
Dengan jalan fikiran seperti ini Islam harus ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahtraan warga masyarakat apapun bentuk masyarakat yang digunakan. Dan pada akhirnya Abdurrahman Wahid menyimpulkan bahwa tugas Islam yang utama adalah mengembangkan etika social yang memungkinkan tercapainya kesejahtraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masayarakat yang bernama negara nasional maupun diluarnya.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai Islam dapat difungsikan sepenuhnya
dalam sebuah masyarakat bangsa terlepas dari bentuk negara yang digunakan.
K.H.Abd.Rahman
Wahid juga melihat pancasila sebagai “aturan permainan” yang menghubungkan
semua agama dan faham dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Jadi kalau pancasila berfungsi membenarkan satu agama saja, mnisalnya UIslam
saja maka ia akan berhenti sebagai “aturan permainan” yang disepakati bersama.
Dalam kaitannya dengan klaim bahwa setiap gama benar, pancasila harus memberikan
rumusan interperetatif yang memenuhi kepentingan semua pihak, dan bukan satu
pihak saja. Dalam konteks ini dapat dirimuskan bahwa Pancasila memperlakukan
bahwa semua agama sama dan semuja sama dimuka hukum dan dalam pergaulan
masyarakat.
Tetapi
dalam hubungan penerimaan NU terhadap pancasila sebagai satu-satunya asas.
Abdurrahman Wahid menjelaskannya dari sudut Fiqhi kum ahl-u’l-sunnah wa’l
jama’ah. Bagi NU pancasila sebagai idiologi bangsa memiliki posisi netral.
Pandangan ini sejalan dengan visi imam Syafi’i tentang tiga jenis negara ya’ni
dar Islam (negara Islam), dar harb (negara perang), dan dar sulh (negara damai). Pemerintahan kita yang
beridiologi pancasila termasuk dalam “negara damai” yang harus dipertahankan.
Kalau syari’ah dalam bentu hukum/fiqhi atau etika masyarakat masih dilakukan oleh kaum muslimin didalamnya sekalipun itu tidak diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undang-undang negara, bila etika masyarakat Islam sudah dijalankan maka tidak ada alasan lain bagi umat Islam selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama. Dari sanalah timbulnya keharusan untuk taat kepada pemerintah, ujarnya.
C. Alasan-Alasan K.H.Abd.Rahman Wahid memisahkan antara hubungan agama dan negara.
Kalau syari’ah dalam bentu hukum/fiqhi atau etika masyarakat masih dilakukan oleh kaum muslimin didalamnya sekalipun itu tidak diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undang-undang negara, bila etika masyarakat Islam sudah dijalankan maka tidak ada alasan lain bagi umat Islam selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama. Dari sanalah timbulnya keharusan untuk taat kepada pemerintah, ujarnya.
C. Alasan-Alasan K.H.Abd.Rahman Wahid memisahkan antara hubungan agama dan negara.
Diantara
sekian banyak intlektual Indonesia K.H.Abd Rahman Wahid adalah salah seorang
intelektual yang jelas menolak hubungan agama dengan negara dengan beberapa
alasan sebagai berikut :
1.
Dipilihnya agama sebagai suplementer dalam
kehidupan bernegara akan berakibat pada kecilnya penghargaan terhadap hak asasi
manusia dan tidak akan mendukung tegaknya kedaulatan hukum serta kecilnya ruang
gerak dari kiebebasan berbicara dan berpendapat.
2.
Dalam posisinya yang suplementer hubungan agama
dan negara akan bersifat manipulative, yaitu sekedar menjadikan sumber-sumber
agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan.
3.
K.H.Abd. Rahman Wahid juga menolak sebagai
idiologi alternative bagi negara. Karena dalam sebuah negara pluralistik
menjadikan Islam atau agama apapun, sebagai idiologi negara hanya akan memicu
disintegrasi. Sementara negara seperti Indonesia tidak mungkin memberlakukan
nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara yang berasal dari agama
dan pandangan hidup yang berlainan.
4.
Dalam sebuah negara pluralistik negara
merupakan hukum alam atau sunnatullah, menurut Abdurrahman Wahid, Islam
seharusnya diinplementasikan sebagai suatu etika social yang berarti Islam
harus berfungsi komplomenter dalam kehidupan negara. Memaksakan Islam sebagai
idiologi negara akan membawa bangsa ini kedalam masa penuh ketegangan seperti terlihat
hampir selama lima dekade sejak tahun 1930-an .
5.
Bagi Abdurrahman Wahid agama sebagai etika
sosial yang berfungsi koplementer dalam negara, nilai-nilai dasar Islam bersama
nilai-nilai agama dan pandangan hidup yang lain ditanah air akan potensial dan
kondusif dalam mendukung tegaknya kontruk keindonesiaan yang adil, egaliter dan
demokratis dalam pola relasi saling mendukung dan melengkapi. Pada saat yang
sama juga tumbuh derajat toleransi dan harmoni yang tinggi antara agama atau
pandangan hidup dalam suatu pola hidup yang berdampingan secara damai.
D.
Tanggapan
terhadap pemikiran Gusdur mengenai hubungan agama dan Negara
Dari pemabahasan dalam makalah ini penulis dapat menarik inti dari pemikiran gusdur adalah sebagai berikut :
Dari pemabahasan dalam makalah ini penulis dapat menarik inti dari pemikiran gusdur adalah sebagai berikut :
- K.H.Abd Rahman Wahid berasl dari keluarga santri sunni namun memiliki sikap dan pemikiran yang liberal, progresif dan inklusif, kendati latar belakang pendidikan formalnya tidak ada ditempuh di Barat secara intlektual, jauh lebih siap berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran barat.
- Bahwa nilai-nilai agama dapat difungsikan sepenuhnya dalam sebuah masyarakat bangsa terlepas dari bentuk negara yang digunakan. Tugas Islam yang utama adalah mengembangkan etika social yang memungkinkan tercapainya kesejahtraan kehidupan umat manusia, baik melalui bentuk masayarakat yang bernama negara nasional maupun diluarnya.
- Nilai-nilai agama dan pandangan hidup yang lain ditanah air akan potensial dan kondusif dalam mendukung tegaknya kontruk keindonesiaan yang adil, egaliter dan demokratis dalam pola relasi saling mendukung dan melengkapi. Pada saat yang sama juga tumbuh derajat toleransi dan harmoni yang tinggi antara agama atau pandangan hidup dalam suatu pola hidup yang berdampingan secara damai.
Hubungan Antara Agama dan Negara.
Seperti yang sudah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya, tema ini merupakan
gagasan Gus Dur yang merupakan langit-langit suprastruktur yang menaungi
struktur dan basis-basis struktur pemikiran Gus Dur. Kemudian setelah dirasa
cukup memberikan pengantar, sebagaimana biasanya, Idris juga memimpin peserta
kursus untuk membacakan Fatihah kepada beliau, Gus Dur. Setelah selesai
membacakan al-Fatihah untuk Gus Dur, Arif memulai memaparkan makalah yang sudah
siap untuk dipresentasikan.
Pemikiran Gus Dur tentang hubungan Islam dan
Negara lebih layak dimasukkan ke dalam filsafat politik Islam, karena pemikiran
Gus Dur ini lebih terkait dengan upaya menghubungkan antara manusia dengan
politik dan mencoba mengembalikan politik sebagai kebutuhan manusia.
Sebagai pembuka kajian teks-teks Gus Dur, Arif mengutip salah satu tulisan Gus Dur tentang problem diskursus negara Islam, teks tersebut berbunyi:
Sebagai pembuka kajian teks-teks Gus Dur, Arif mengutip salah satu tulisan Gus Dur tentang problem diskursus negara Islam, teks tersebut berbunyi:
“Pemikiran negara dalam karya para
penulis muslim, langsung terkait dengan pemikiran tentang hukum. Dengan demikian,
pemikiran negara yang berkembang lalu begitu diletakkan pada aspek legal dari
negara dan unsur-unsur pendukungnya, seperti status perangkat kenegaraan (imam,
dst).. negara lalu hanya didekati dari sudut teori kekuasaan belaka, justru
bukan dari sudut legitimasi negara bila dikaitkan dengan kekuasaan rakyat..
Dengan kata lain, pemikiran negara lalu menjadi terlepas dari pemikiran
politik, karena pada hakikatnya pemikiran politik selalu berurusan dengan
pembagian kekuasaan antara yang memerintah dan yang diperintah”.
Gus Dur hendak mengeritik
pandangan-pandangan penulis muslim terkait pemikiran politiknya. Di antara
tokoh muslim yang dikritik Gus Dur dalam tulisan ini adalah al-Mawardi dalam
Ahkam al-Shultaniyyahnya dan Ali Abdurraziq dengan gagasan sekulerismenya dalam
karyanya al-Islam wa Ushul al-Hukm
Kemudian untuk mempertegas kritik
Gus Dur terhadap konsep Negara Islam dalam konteks Indonesia, Arif juga
menunjukkan teks-teks Gus Dur lainnya yang di antaranya adalah tulisan Gus Dur
yang berjudul “Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam?” Makalah ini adalah
tulisan Gus Dur yang disampaikan dalam diskusi yang diadakan di Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, pada tanggal 7 Februari 1988. Penggalan
makalah itu berbunyi:
Keseimbangan hak partisipasi individu
dan pemerintahan yang kuat
o
Baik
hak individu warga masyarakat maupun pentingnya kekuasaan efektif di tangan
pemerintah, sama-sama memiliki dasar tekstual. Ayat al-Qur’an menentukan
kewajiban melakukan proses syura (permusyawaratan), yang diandaikan menjadi
wahana penyaluran aspirasi individu… Bahkan demikian jauh hak-hak individu itu
dijaga, sehingga tampak agak anarkis (Sabda Rasulullah, “Tiada ketundukan
kepada makhluq, termasuk yang paling berkuasa sekalipun, dalam hal yang
menentang ketentuan Allah)”.
o
Sebaliknya,
kekuasaan pemerintah juga ditegakkan, seperti dalam ayat, “Tunduklah kalian
kepada Allah, utusan-Nya dan pemegang kekuasaan (pemerintah) di antara kalian”.
Namun ketundukan kepada kekuasaan pemerintah itu dirumuskan dengan jelas:
tindakan yang adil, pengutamaan kemashlahatan umum dan pemenuhan batas minimal
kebutuhan hidup. Terlebih jauh lagi, landasan keadilan itu justru diletakkan
dalam konteks moral, menjadi sikap hidup yang diberlakukan sebagai tolok ukur
kelayakan seseorang untuk memegang jabatan pemerintahan.
o
Pengutamaan
kemashlahatan umum dituntut dalam bentuknya yang operasional, bukan sekadar
dalam prinsip global. Salah satu kaidah fiqh adalah ‘kebijaksanaan pemimpin
(pemerintahan) harus didasarkan pada kepentingan orang banyak. Salah satu
kerangka operasionalnya adalah perintah menyelenggarakan jihad, yang tentunya
beban terberatnya terletak di pundak para pemegang kekuasaan. Dalam I’anah
al-Thalibin ditentukan bahwa salah satu bentuk jihad adalah menjaga
mereka yang dilindungi oleh Islam dari kerusakan (daf’u darari ma’sumin), yang
dirumuskan penyediaan makanan manakala dibutuhkan, penyediaan pakaian, papan,
obat-obatan dan biaya perawatan. Sedangkan mereka yang harus dilindungi adalah
baik kaum muslimin maupun non-muslim yang hidup damai dalam masyarakat yang
sama.
Dalam
makalah tersebut Gus Dur memberikan sebuah tawaran tentang hubungan antara
Agama dan Negara. Kutipan dari makalah tersebut bisa disimak pada teks berikut:
·
Pancasila ditempatkan kaum muslim sebagai
landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan
Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum muslim. Ideologi konstitusional tidak
dipertentangkan dengan agama, tidak menjadi penggantinya dan tidak diperlakukan
sebagai agama. Dengan demikian, tidak akan diberlakukan UU maupun peraturan
yang bertentangan dengan ajaran agama
·
Pancasila masih harus diuji, apakah mampu atau
tidak mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut Islam.
Itulah kunci yang dapat disumbangkan Islam kepada ideologi kita, Pancasila.
Kunci itu diperoleh dari lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam
kepada warga; jaminan dasar atas keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian
keluarga, harta milik pribadi dan keselamatan profesi.
(Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Nasional, 1991, h., 3
(Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Nasional, 1991, h., 3
Sebagai
penutup dari pengajian teks Gus Dur ini, Arif memberikan kembali sebuah
pernyataan Gus Dur:
“Secara
keseluruhan, Islam lalu berfungsi dalam kehidupan bangsa dalam dua bentuk.
Bentuk pertamanya adalah sebagai akhlaq masyarakat (etika sosial) warga
masyarakat, sedangkan bentuk kedua adalah partikel-partikel dirinya yang dapat
dituangkan melalui proses konsensus (Undang-undang 1.1974 tentang Perkawinan,
UU Peradilan Agama 7/1989, sebagai contoh)”.
(Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Nasional, 1991, h., 3)
negara dan agama dalam konteks Indonesia
itu menyatu. Hal ini didasarkan pada pada pancasila. Sila pertama jelas
menyebutkan bahwa Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Sebuah pengakuan bahwa kereligiusitasan warga negara tak bisa dibantah.
Namun demikian, Indonesia bukanlah negara
yang menjadikan agama sebagai sampul buku melainkan isi buku itu sendiri.
Menarik sekali, sebab seakan-akan Indonesia seperti gadis yang pemalu untuk
mengungkap dan menunjukkan cintanya, dia memilih diam-diam untuk mengartikan
cinta dan mencintai. Pancasila ditengarai sebagai wujud verbal dari gerak-gerik
bangsa yang menghamba pada Tuhan.
Agama bagi bangsa Indonesia memang
penting, dan merupakan bagian dari kehidupannya. Meski nilai pentingnya ini
tidaklah bisa diukur seberapa jauh bangsa ini mengaplikasikan legal formal
agama. Sebab, kalau ditilik, banyak juga di antara warga bangsa yang
menjalankan agama dengan “enjoy”, asal percaya kalau Tuhan itu ada dia sudah
beragama. Keragaman menjalankan agama inilah yang memicu timbulnya istilah
Islam Santri, Abangan, dan Ningrat. Meski hal ini sebenarnya hanya berbau
politik warisan kolonial.
Hubungan antara agama dan negara
selayaknya suami istri, mengalami pasangan surut. Ijab qobul yang
menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara ketuhanan tidaklah berjalan mulus.
Prakemerdekaan agama merupakan salah satu faktor penggerak bangsa untuk melawan
penjajah. Ini dibuktikan dengan keberadaan tokoh agama yang mampu memompa
semangat anak bangsa untuk bersatu padu melawan penjajahan. Penjajahan
merupakan berhala baru yang wajib ditumpas dari bumi pertiwi. Agama menjadi
kapak yang digunakan untuk memecah kepala berhala penjajah.
Namun, ketika penjajah hengkang dari bumi
pertiwi, kemerdekaan telah proklamasikan agama dan negara seakan-akan eker-ekeran,
rebutan posisi siapa yang layak memberi nama dan dasar bagi Indonesia yang baru
lahir. Inilah awal masa-masa bagaimana agama dan negara mengalami pasang surut.
Dalam rumusan dasar negara, Pancasila, sila pertama menyebutkan, yang intinya,
negara berdasarkan ketuhanan dan masyarakat wajib menjalankan syariatnya
masing-masing.
Sebagaian elemen bangsa merasa “tujuh kata
tersebut” mempunyai indikasi jika negara Indonesia hendak didasarkan pada agama
Islam. Padahal tidak hanya umat Islam saja yang memperjuangkan kemerdekaan.
Inilah fase dimana, banyak kelompok, ormas berbagi kue kemerdekaan atas nama
Indonesia. Hal ini dapat disaksikan dalam cerita film “Lewat tengah malam”.
Indonesia diperebutkan. Kalau boleh jangan satu agama, ormas atau yang lain,
yang mengklaim dan menetapkan Indonesia ini sebagai negara yang kemasannya
seperti apa. akhirnya disepakati jika Indonesia sebagai negara berketuhanan
saja, tidak ada agama yang mendominasi atas agama lain.
Apakah konsensus tersebut menciptakan
keharmonisan antara agama dan negara? belum! Bahkan dalam fase selanjutnya
ormas agama kerap dicurigai sebagai bahaya latin yang mencoba mencuri
kesempatan untuk mendirikan negara berdasarkan agama. Sebut saja DI/TII adalah
salah satu makar yang mengatasnamakan agama Islam untuk makar terhadap
kedaulatan negara, belum makar-makar lain yang kerap terjadi.
Pada era Soekarno ada konsep Nasakom
(Nasionalis, Agamis, dan Komunis). Apakah Nasokom merupakan gagasan Soekarno
yang mencoba memadukan paham-paham, kepercayaan yang pada waktu itu ketiganya
begitu mencuat? Saya kira iya, apalagi Soekarno merupakan sosok idealis dan
sangat mencintai Indonesia. Bisa saja Nasokam adalah usaha mendamaikan
keragaman berfikir anak bangsa. Namun, gagasan itu hanya kandas di tengah
perjalanan. Dan yang menyedihkan Soekarno malah dituduh sebagai agen komunis.
Komunis tumbang, sebab tidak cocok dengan jiwa bangsa indonesia yang religius,
meski tidak religius-religius amat. Tinggallah nasionalis dan agamis.
Lagi-lagi belum ada kemesraan, meski
tinggal agama dan nasional. Keduanya saling curiga dan mencurigai. Meski agama
pernah berjuang melawan komunis ternyata malah dicurigai bahwa musuh
selanjutnya bagi kedaulatan negara adalah agama. Orde baru, adalah perwujudan
bagaimana begitu represifnya pemerintah terhadap keberadaan ormas agama. Memang
benar adanya negara mengayomi, mengakui keberadaan agama, tetapi di sisi lain
negara juga tidak rela jika agama harus koar-koar mengganti baju negara dengan
embel-embel agama. Untuk itu, langkah yang diambil negara adalah mengkerdilkan
peran agama, dan menyeragamkan dasar ormas agama dengan satu azas tunggal yakni
Pancasila sesuai tafsiran penguasa.
Memasuki era
reformasi, dimana suara kebebasan begitu diagungkan, agama atau tepatnya
organisasi yang berbasis agama menemukan ruang bebasnya untuk menunjukkan
dirinya setelah sekian lama tersekap dalam peraturan tirani. Ormas, partai yang
berbasis agama muncul subur bak jamur di musim hujan. Agama ingin menunjukkan
jatidirinya dengan mepenetrasi legal formal ke dalam kehidupan bernegara.
Muncullah gagasan perda-perda syariat yang dinilai sebagai bentuk kekaffahan
beragama. bahkan yang lebih lucu lagi, ketika baju keindonesia yang sudah
diamini ini hendak diganti dengan konsep kekhalifahan. Belum lagi, dari
fundamental agama yang tidak terima atau mengatakan pemerintahan ini hanyalah
pemerintahan kafir karena menerapkan demokrasi yang, katanya, notabene berasal
dari Barat. Entah apa yang diinginkan kaum fundamental dengan negara, belum
begitu jelas. Hemat saya yang diinginkan yang penting agamis. Lucu
Ternyata
kedewasaan bernegara dan beragama belum benar-benar dialami bangsa ini.
Indonesia seakan masih terus meramu berbagai komposisi untuk memewarnai dan
mengobati Indonesia yang kini lagi sakit. Lantas bagaima, sebaiknya, posisi
agama dalam negara?
Gus Dur
menawarkan gagasan “Integralisasi agama”. Gagasan ini sebagai penguat yang
independen terhadap negara nasional. Posisi agama tidak dipertentangkan secara
legal formal dengan negara nasional. Kalau kita kembali kepada masa pra
kemerdekaan agama posisinya bukan sebagai bendera melainkan sebagai semacam
“yel-yel” yang membangkitkan semangat perjuangan. Dengan kata lain, agama
bekerja dalam wilayah kultural yang intinya menyadarkan, tanpa menstrukuturkan
diri, masyarakat dalam beragama dan bernegara.
Agama dan
negara tak perlu dipertentangkan, tetapi juga jangan sampai tumpang tindih (overlapping).
Sebab jika dua kemungkinan itu terjadi akan menyebabkan kekacuan besar. Sebab
keduanya memiliki dasar yang setidaknya berbeda. Jika agama tumpang tndih
dengan agama, dikwatirkan hanya akan menimbulkan penggunaan agama demi
kepentingan penguasa. Agama hanya akan dipolitisasi demi kepentingan semata.
Agama yang
mempunyai landasan aqidah bisa menjadi pereduksi dari tata cara bernegara yang
saat ini cenderung sekuler dan material. Agama mempunyai tujuan memperbaiki
etika manusia dinilai alat yang tepat untuk menjaga manusia tetap menjadi
manusia. langkahnya pun bukan hanya dengan memasukkan legal syariat ke ranah
hukum nasional, tetapi bagaimana jiwa syariat itu bisa berdifusi ke
tengah-tengah masyarakat yang multi ini. Masyarakat harus tetap religius dalam
tindakan, bukan hanya mode, sebab masyarakat yang menghamba pada Tuhan tentunya
akan membawa kedamaian umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar