PEMIKIRAN KEISLAMAN
NURCHOLIS MADJID
DALAM BUKU DAN TEKS NILAI-NILAI
DASAR PERJUANGAN (NDP) HMI
1.
Biografi Nurcholish Madjid
Prof. Dr. Nurcholish Madjid (lahir di
Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 – meninggal di Jakarta, 29 Agustus
2005 pada umur 66 tahun) atau populer dipanggil Cak Nur, adalah seorang pemikir
Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktifis
Himpunan Mahasiswa Islam, ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan
pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari
berbagai kalangan masyarakat. Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua
Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor
Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005.
Nurcholish Madjid adalah sosok yang
melahirkan banyak fenomena untuk konteks masyarakat Indonesia. Sifat fenomenal
tokoh ini dapat kita lihat pada fakta bahwa dengan kekuatan pribadi dan
pemikirannya, Nurcholish Madjid mampu melahirkan pengaruh terhadap perubahan-perubahan
tertentu di dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh dan perubahan-perubahan itu
bersifat institusional dan literal. Secara institusional, hasil dari pengaruh
kekuatan pribadinya itu bisa terlihat wujud dan kinerja spesifik organisasi HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam), di masa kepemimpinannya dan beberapa periode
setelah itu. Tapi, pengaruh institusional yang paling mencolok dari Nurcholish
Madjid adalah Yayasan Paramadina. Melalui lembaga ini, Nurcholish Madjid
meletakkan pengaruhnya bukan saja pada sosialisasi pemikiran-pemikirannya,
melainkan juga pada terbentuknya sebuah komunitas tertentu, walau masih
samar-samar yang menjadi pendukungnya kebanyakan dari kalangan santri kota.
Secara literal (apa yang tetrtulis),
kehadiran Nurcholish Madjid telah memperkaya khazanah literatur(kesusasteraan)
intelektual di negara kita. Ini ditandai bukan saja oleh publikasi
pemikiran-pemikirannya sendiri, melainkan juga berbagai studi diri dan
pemikirannya. Dalam arti kata lain, baik melalui pemikiran-pemikirannya maupun
publikasi studi-studi tentangnya telah dengan sendirinya melahirkan dinamika
(keadaan) intelektual di negara dan masyarakat. Melalui karya-karya itu, bukan
saja didapatkan bahan untuk memahami dunia intelektual Indonesia, melainkan
juga memberikan landasan bagi perdebatan dan pengenalan intelektual lebih
lanjut bagi generasi-generasi mendatang.
Suatu “biografi seorang genius”
selalu saja dalam “penulisannya” diiringi dengan hal-hal yang berbau mitos
(penipuan akan fakta sebenarnya). Karena itu tidak aneh jika sosok atau
perilaku seseorang terkenal penuh dengan cerita-cerita tak masuk akal. Dan
biasanya, justru bagian yang tak masuk akal itulah yang banyak digemari dan
karenanya diekspos (dipertontonkan/di tunjukan) secara besar-besaran. Tujuannya
memang tidak buruk. Apalagi dikatakan jahat, malah justru sebaliknya, yaitu
untuk menambah “kehebatan” orang tersebut. Tak kurang “fantasi mitos” semacam
itu diarahkan kepada seorang cendekiawan yang paling fenomenal untuk tidak
mengatakan kontroversional dalam konteks Indonesia, yaitu, Nurcholish Madjid.
Nurcholish Madjid dilahirkan pada
tanggal 17 Maret 1939 M dan bertepatan 26 Muharram 1358, di Jombang, sebuah
kota Kabupaten di Jawa Timur. Nurcholish Madjid dibesarkan dalam kultur
pesantren. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, adalah seorang alim dari pesantren
Tebu Ireng, dan masih memiliki pertalian kerabat dengan K.H. Hasyim Asy’ari
pemimpin pesantren Tebu Ireng Jombang dan tokoh pendiri NU, dan juga Ra’is
Akbar NU kakek Abdur Rahman Wahid. Ibu Nurcholish Madjid adalah murid K.H
Hasyim Asy’ari dan anak seorang aktivis Sarekat Dagang Islam (SDI) di Kediri.
Pada masa itu SDI banyak dipegang oleh kalangan kyai dari NU. Dengan demikian
Nurcholish Madjid memang berasal dari kultur NU. Ketika NU bergabung dengan
Masyumi tahun 1985, ayah Nurcholish Madjid masuk dalam kalangan Masyumi. Dan
ketika pada saat NU keluar dari Masyumi 1952, ayah Nurcholish Madjid tidak
kembali ke NU dan tetap bertahan pada Masyumi, karena berpegang pada semacam
fatwa K.H. Hasyim Asy’ari bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai Islam di
Indonesia yang sah.
Tentang sikap ayahnya ini Nurcholish
Madjid mengatakan “ … saya berfikir, mengapa masih mungkin orang seperti ayah
saya, yang dalam soal agama berkiblat pada ulama pesantren, tapi dalam soal
politik berkiblat pada orang sekolahan (Masyumi)”.
Pendidikan dasar Nurcholish Madjid
ditempuh di dua sekolah tingkat dasar, yaitu, al-Wathaniyah yang dikelola oleh
orang tuanya sendiri, dan di Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang. Pada
kota yang sama Nurcholish Madjid melanjutkan Pendidikan Menengah Pertama (SMP).
Dengan demikian, sejak dari pendidikan dasar, beliau sudah menganut dua corak
pendidikan. Pertama, pendidikan dasar dengan modal pesantren, yang berorientasi
pada corak “kearaban” dengan menjadikan kitrab-kitab kuning sebagai referensi
pokok dan lebih menonjolkan metode tradisional. Kedua, pendidikan dengan pola
umum, yang lebih berorientasi pada metode pendidikan modern. Sejak pada
pendidikan dasar inilah Nurcholish Madjid sudah memperlihatkan kecerdasannya,
hal ini ditandai dengan berbagai penghargaan yang diterimanya karena
prestasinya.
Apa yang perlu dicatat dari dua
pendidikan dasar yang diikutinya adalah merupakan cikal bakal pembentukan
embrio intelektualnya. Dengan dua pola pendidikan ini Nurcholish Madjid
memiliki akses pada warisan klasik serta khazanah modernitas, yang pada
akhirnya membentuk Nurcholis Madjid menjadi seorang neo modernisme sejati
tentunya juga dibentuk oleh pengalaman ayah Nurcholish Madjid.
Kemudian setelah menyelesaikan
pendidikan dasarnya Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya pada pesantren
Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang (salah satu pesantren yang dikelola NU). Tetapi,
studinya di pesantren ini tidak berlangsung lama kurang lebih berlangsung dua
tahun. Dari pengakuan Nurcholish Madjid, ia mengungkapkan bahwa hal ini adalah
sebagai dampak dari “ijtihad politik” ayahnya. Seperti telah dinyatakan diatas,
bahwa ayah Nurcholish Madjid, K.H. Abdul Madjid, sebagai warga NU tetap
memegang pilihan politisnya pada Masyumi (sebuah organisasi politik yang lebih
didominasi oleh kalangan Islam modernis, yang pada awalnya juga merupakan
pilihan politis warga NU), sementara tokoh-tokoh NU lainnya karena beberapa hal
memilih keluar dari Masyumi. Pilihan politik ayah Nurcholis Madjid yang tetap
berafiliasi ke Masyumi inilah, yang berbeda dengan tokoh-tokoh NU lainnya,
membawa akibat pada kehadiran Nurcholish Madjid di pesantren Darul ‘Ulum dalam
suasana permusuhan.
Dalam hal ini Nurcholish Madjid
mengatakan, “ini anak Masyumi kesasar, begitu kata mereka saya sangat sedih
sekali”. Kondisi konflik ini akhirnya membawa Nurcholis Madjid “nyantri” di
Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (sekitar 120 km dari
Jombang), sebuah pesantren yang relatif cukup memberikan nuansa pemikiran
reformasi. Dengan semboyan “berfikir bebas setelah berbudi tinggi, berbadan
sehat dan berpengetahuan luas”. Pesantren ini memiliki pendekatan modernis.
Dengan menciptakan iklim berfikir kritis menghadapi pluralitas, tidak
sektarian, tidak fanatik, dan menawarkan tata aturan sosial yang relatif modern
(semangat pluralitas ini terlihat dari kitab fiqh yang menggunakan karya Ibn
Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Mihayat al-Muqtasid (sebuah kitan
fiqh perbandingan yang kejelasan dan kepraktisan belum ada duanya). Di samping
itu adanya penekanan pada para santri untuk memahami dan menguasai bahasa Arab
dan Inggris. Penekanan ini terlihat dengan ditetapkannya kedua bahasa tersebut
sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Di pesantren inilah Nurcholish Madjid
masuk ke KMI (Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah) dan tamat enam tahun
kemudian (1960). Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya tersebut, sesuai
tradisi pesantren Nurcholish Madjid masih sempat mengajar di pondok pesantren
yang telah membesarkannya, kurang lebih satu tahun.
Di samping itu, sebagaimana telah
disebutkan diatas bahwa, selain dua model pendidikan (tradisional dan modern),
yang juga turut membentuk intelektual Nurcholish Madjid adalah
pengalaman-pengalaman sang ayah. Dengan tetap memilih Masyumi sebagai aspirasi
politiknya, ayahnya juga sering berlangganan bulletin-bulletin dan
majalah-majalah yang berisi pemikiran para tokoh Masyumi. Dengan demikian,
menjadi hal yang sangat mungkin bagi Nurcholish Madjid untuk bersentuhan dengan
pemikiran-pemikiran para tokoh Masyumi tersebut. Proses ini tentu saja
memberikan konstribusi yang cukup besar bagi pembentukan pola intelektual
Nurcholish Madjid selanjutnya.
Berdasarkan latar belakang pendidikan
pesantren, setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, kemudian Nurcholish
Madjid melanjutkan pendidikan tingginya di luar Jawa Timur. Lembaga pendidikan
yang menjadi pilihannya adalah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta
dengan pilihan pada Fakultas Adab jurusan Sejarah Kebudayaan Islam. Studi ini
diselesaikannya pada tahun 1968 dengan magnum opus, al-Qur’an Arabiyan
Lughatan Wa ‘Alamiyun Ma’naan. (Al Qur’an dilihat secara bahasa bersifat
lokal, sedangkan dari segi isi bersifat universal). Pada masa studi di
pendidikan tinggi inilah, selain aktif di bangku kuliah Nurcholis Madjid juga
terlibat aktif dalam kegiatan organisasi di luar kampus. Ia menambah pengalaman
organisasinya sekaligus berpartisipasi dalam sebuah organisasi Islam HMI,
sebuah organisasi mahasiswa terbesar dan cukup solid pada masa itu. Kiprah awal
Nurcholis Madjid di organisasi ini dimulai pada tahun 1963, kira-kira setelah
empat semester dalam masa perkuliahan. Dimulai ditingkat cabang, Nurcholis
Madjid sudah menunjukkan “kepiawaiannya” sebagai seorang leader, yang
mengundang kekaguman para aktifis-aktifis lainnya, terlebih bila dilihat dari
basis Nurcholish Madjid yang berasal dari IAIN Jakarta, suatu basis yang amat
marginal pada saat itu. Karir organisasinya semakin menonjol, ketika di
penghujung tahun 1966, HMI mengadakan kongres di kota Solo, dan beliau
dicalonkan sebagai salah satu kandidat Ketua Umum PB HMI. Oleh karena citra
kepemimpinannya yang menonjol dan moralitas personal yang kuat ia terpilih
menjadi Ketua PB HMI. Bahkan Nurcholis Madjid terpilih menjadi Ketua Umum PB
HMI selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971). Di samping itu, pada periode
ini juga Nurcholish Madjid banyak menempati posisi formasi penting di
organisasi kemahasiswaan dunia, antara lain, ia pernah menduduki Presiden
PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, 1967-1969), juga menjadi Wakil
Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Student Organization,
1969-1971).
Di samping mengabdi di almameternya,
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholis Madjid juga menjadi staf peneliti
LEKNAS / LIPI (Lembaga Penelitian Ilmiah indonesia). Sebagai peneliti ia
tertarik untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu Tingkat
Doktoral dengan pilihan studi pada Chicago University, Ibn Taymiyah on
Kalam and Falsafah : Problem of Reason and Revolution in Islam.
Pretensi dari paparan singkat
mengenai biografi intelektual Nurcholis Madjid diatas, sesungguhnya adalah
ingin berbicara tentang lingkungan yang mempengaruhi Nurcholish Madjid. Apa
yang bisa dikatakan disini adalah bahwa masa kecilnya berada dalam sebuah masa
bergejolak secara sosial politik, lahir setengah dekade lebih sedikit sebelum
proklamasi kemerdekaan Indonesia Nurcholish Madjid untuk ukuran sekarang,
tentunya telah ikut merasakan transisi dan perubahan besar masyarakat Indonesia
sebagai akibat dari peralihan pemerintah jajahan kepada pemerintahan bangsanya
sendiri. Bagaimanapun juga, periode krusial yang tidak bisa (lagi) dialami oleh
generasi pelanjut ini mempengaruhi kesadaran Nurcholish Madjid dan juga
orang-orang yang segenerasi dengannya tentang arti dan dinamika sebuah
masyarakat, seperti tercermin dalam pandangan-pandangan keagamaannya dewasa ini
tentulah sedikit banyaknya terpengaruh pada pengalaman-pengalaman penting masa
kecilnya.
Corak Pemikiran
Nurcholis Madjid
Kemunculan neo-modernisme yang
dikembangkan Nurcholish Madjid dilatar belakangi oleh sejarah perkembangan umat
Islam itu sendiri. Di satu pihak, Nurcholis Madjid melihat modernisme Islam
yang lahir di awal abad XX, gagal mempertahankan kesegaran pemikiran-pemikiran
“pembaharuannya”, ketika gerakan ini menjadi besar. Apa yang kemudian terjadi
adalah kerutinan kerja mengolah dan menyelenggarakan lembaga-lembaga “pembaharuan
secara amat praktikal”.
Kerutinan ini telah menyebabkan
kesempatan untuk pengolahan intelektual relatif semakin menghilang. Sikap
mereka yang menentang secara tegas pemikiran tradisionalis semakin memperkering
inspirasi-inspirasi intelektual. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya
sebagai gerakan pemikiran yang tegar, bahkan kaku. Sementara di pihak lainnya,
tradisionalisme Islam cukup kaya dengan pemikiran Islam klasik. Akan tetapi
justru karena kekayaan itu, para pendukung pola pemikiran ini menjadi sangat
berorientasi pada masa lampau dan sempat selektif menerima gagasan-gagasan modernisasi.
Akibatnya, perkembangan dan dinamika pemikiran di kalangan pendukung
tradisionalme bergerak secara sangat lambat.
Dengan latar belakang semacam inilah
pola pemikiran neo-modernisme muncul untuk menjembatani atau bahkan mengatasi
dua pola pemikiran konvensional diatas. Sebagaimana yang telah disebutkan
diatas, karakteristik pokok pada pola pemikiran neo-modernisme ini adalah suatu
sikap untuk mengakomodasikan (menyediakan) dua kutub pemikiran sekaligus, yaitu
modernisme dan tradisionalisme. Dalam konteks pemikiran sosial politik, sikap
akomodasi terhadap modernisme dan tradisionalisme ini berpengaruh terhadap cara
pandang Nurcholish Madjid dalam melihat hubungan antara umat islam dan negara.
Di satu pihak, elemen-elemen sosial pemikiran politik modern yang bersifat
universal diterima sebagai suatu kenyataan yang tidak terelakan dalam
perkembangan politik masyarakat Indonesia. Tetapi di pihak lain, tradisi
politik keagamaan yang bersifat lokal, juga dipergunakan dalam usaha
menempatkan diri dalam sistem politik yang ditentukan oleh pemerintah. Sikap
semacam ini memang relatif tidak terdapat dalam pemikiran-pemikiran modernis
Islam di masa lalu, di sekitar tahun 1955-1959. Pandangan politik modernis
dalam periode ini berusaha menempatkan Islam yang telah diramu dengan
elemen-elemen pemikiran tradisional. Dengan
demikian, seperti juga telah disebutkan secara selintas diatas, pemikiran
neo-modernisme Islam tentang masalah sosial politik terkonsentrasi terhadap
upaya mendamaikan, atau menempatkan suatu hubungan yang harmonis antara
cita-cita Islam dan umatnya dengan kenyataan, demi keamanan politik negara.
2.
Nilai-nilai Dasar Perjuangan
a. Sejarah Perumusan Nilai-nilai
Dasar Perjuangan
Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang merupakan
salah satu naskah dotrin perjuangan bagi HMI, berada pada posisi yang cukup
sentral. Berdasarkan analisa sejarah yang dilakukan oleh Prof. Dr. H. Agussalim
Sitompul, beberapa faktor yang melatarbelakangi dirumuskannya NDP ada empat.
Pertama,
pemahaman keislaman yang ada di Indonesia saat itu perlu untuk ditingkatkan,
terutama di tingkatan masyarakat (termasuk pelajar dan mahasiswa Islam),
mengingat penghayatan yang benar terhadap nilai-nilai Islam sangat perlu bagi
masyarakat Indonesia.[1]
Kedua, HMI belum memiliki sebuah naskah
atau buku tentang Islam yang dijadikan sebagai pegangan perjuangan bagi
kader-kadernya.[2]
Ketiga, agar HMI memiliki panduan
dalam memahami Islam dengan baik serta dapat menerjemahkannya dalam dimensi
ruang dan waktu dalam bingkai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan.[3]
Keempat, agar HMI memiliki suatu
ideologi yang bertahan relatif lama antara 20 sampai 25 tahun.[4]
Berkaitan dengan faktor yang ketiga, dengan sangat
jelas dapat ditemukan juga di dalam kata pengantar yang dituliskan oleh PB HMI
dalam buku NDP,[5]
yang menyebutkan adanya dua syarat bagi suksesnya perjuangan.[6]
Selain keempat faktor di atas, perumusan NDP juga
sangat dipengaruhi oleh hasil dari perjalanan Nurcholis Madjid selama tiga
bulan ke Timur Tengah. Nurcholis Madjid menyebut NDP sebagai kesimpulan dari
perjalanannya tersebut.[7]
Selama perjalanannya di Timur Tengah, banyak hal
yang ditemukannya, yang kemudian memberi inspirasi bahwa sepulang dari
perjalanannya tersebut ia harus menulis sesuatu tentang nilai-nilai dasar
Islam, yang kemudian ditulisnya pada bulan April.
Jika menggunakan nama “nilai-nilai dasar Islam”,
menurut Nurcholis Madjid akan terkesan mengklaim terhadap Islam. Maka untuk
menghindari kesan klaim terhadap Islam, Nurcholis Madjid mencari nama lain yang
lebih sesuai dengan aktifitas sebagai mahasiswa Islam, dimana NDP itu nantinya
akan diperuntukkan.
Mengenai nama NDP, Nurcholis Madjid mendapatkan
inspirasi dari judul buku karya Willy Eicher, seorang ideolog Jerman, yang
berjudul The Fundamental Values and Basic
Demand of Democratic Socialism (Nilai-nilai Dasar dan Tuntutan-tuntutan
Asasi Sosialisme Demokrat). Nurcholis mengambil kata “nilai-nilai dasar” nya.
Sedangkan untuk kata “perjuangan”, Nurcholis mendapatkan inspirasi dari buku
karya Syahrir yang berjudul “Perjuangan
Kita”, yang ternyata buku tersebut, entah isi atau judulnya saja, meniru
buku karya Hitler yang berjudul “Mein
Kamf”.[8]
Tentang ideologi atau doktrin perjuangan, sebelum
adanya NDP, HMI telah memiliki ideologi atau doktrin perjuangan. Ideologi HMI
saat itu berupa kepribadian HMI dan Garis-garis Pokok Perjuangan. Keberadaan
NDP tidak lain adalah untuk menyempurnakan keberadaan ideologi yang telah ada
sebelumnya, juga sebagai suatu metodologi dalam memahami dan menghayati Islam
sebagai dasar HMI.
NDP dirumuskan pada tahun 1969, kemudian disahkan
pada Kongres ke-9 tahun 1969 di Malang. Pada Kongres tersebut sempat terdapat
kesulitan dalam membahas NDP, dikarenakan cakupan persoalan yang dibahas di
dalamnya terlalu luas sehingga tidak mungkin dibahas di forum Kongres. Maka
Kongres memutuskan untuk menyerahkan tanggung jawab penyempurnaan naskah
tersebut kepada tiga orang, yaitu Endang Saifuddin Anshari, Sakib Mahmud, dan
Nurcholis Madjid sendiri.[9]
Sehingga lahirlah NDP seperti yang sampai sekarang masih menjadi pegangan bagi
kader HMI dan disampaikan sebagai salah satu materi pokok pada setiap jenjang
training di HMI.[10]
Dalam perkembanganya, NDP mengalami beberapa
perubahan. Perubahan pertama terjadi saat Kongres ke-16 di Padang tahun 1986,
dan hanya namanya saja yang dirubah sementara seluruh isinya tetap. NDP dirubah
nemanya menjadi Nilai Identitas Kader (NIK). Perubahan kedua terjadi saat
Kongres ke-11 di Bogor tahun 1974, NDP yang semula dirubah menjadi NIK,
dikembalikan lagi menjadi NDP. Perubahan ketiga terjadi saat Kongres-25 di
Makasar tahun 2006, NDP dirubah isinya dan tanpa kata pengantar dari PB HMI
tertanggal 31 Januari 1971.
Sejak Kongres ke-25 HMI di Makasar, HMI mulai
memiliki dualisme NDP. Di satu pihak ada yang menggunakan NDP hasil Kongres
Makasar, dan di lain pihak ada yang menggunakan NDP hasil Kongres Malang.
Dualisme NDP tersebut berlangsung hingga Kongres ke-27 di Depok, yang
memutuskan kembali kepada NDP hasil Kongres Malang. Kongres ke-26 di Palembang
memutuskan memberikan waktu selama satu tahun kepada PB HMI untuk menyelesaikan
polemik seputar dualisme NDP melaluui diadakannya forum-forum ilmiah. Sementara
PB HMI berupaya menyelesaikan polemik dualisme yang ada, HMI diberikan
kesempatan untuk menggunakan NDP dari kedua versi yang ada tersebut.[11]
Untuk dapat memahami NDP dan mengamalkan dengan
benar, sedikitnya ada empat dokumen historis yang harus diketahui dan difahami.
Keempat dokumen tersebut adalah latar belakang perumusan NDP yang ditulis oleh
Nurcholis Madjid, Kata Pengantar PB HMI tertanggal 31 Januari 1971, Naskah NDP,
dan sejarah NDP yang ditulis oleh Agussalim Sitompul.[12]
b. Naskah Nilai-nilai
Dasar Perjuangan
NDP
NURCHOLIS MADJID VERSION
A. DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia memerlukan suatu bentuk
kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan
budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat
terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang
sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus
pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan
tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka
dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di
kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan
yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau
salah satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk
kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur
baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan
bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian
melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat
anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap
mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam
kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan
peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan
diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang peradaban manusia, tetapi
nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru
merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna
perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia
meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan
menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka
satu-satunya sumber nilai sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu
sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang
mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian (Syahadat)
Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara
peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada Tuhan" meniadakan
segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "Selain Allah"
memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu
dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan
yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar
manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai -
nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang
ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak
hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh
manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif, ilmiah, historis,
pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia,
maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat
Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia
memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tatanilai yang
bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih
tinggi namun tidak bertentangan denga insting dan indera.
Sesuatu yang diperlukan itu adalah
"Wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan
sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan
sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga
wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia
tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi
dan Rosul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu untuk
menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rosul dan nabi itu telah
lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak
Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rosul penghabisan, jadi tiada
Rosul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rosul itu adalah manusia biasa dengan
kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada
Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran. Selain berarti
bacaan, kata Al-Quran juga bearti "kumpulan" atau kompilasi, yaitu
kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Quran
merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan
tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada
hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain. Jadi untuk
memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang
kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW.
Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang
harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah. Kemudian di
dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa
ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti
oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas menerangkan secara
singkat ; katakanlah : "Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah
Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula
berbapa. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha
Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya daripada
segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia,
Tuhan seru sekalian Alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang
pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin, dan "kemanapun
manusia berpaling maka disanalah wajah Tuhan". Dan "Dia itu bersama
kamu kemanapun kamu berada". Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.
Sebagai "yang pertama dan yang
penghabisan", maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada,
termasuk tata nilai. Artinya ; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada
kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus menuju kepada kebenaran
dan mengarah kepada "persetujuan" atau "ridhanya ". Inilah
kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan
hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain).
Tuhan menciptakan alam raya ini dengan
sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti. Oleh karena itu alam mempunyai
eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang
tetap. Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya penciptanya, maka alam
mengandung kebaikan pada diriNya dan teratur secara harmonis. Nilai ciptaan ini
untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya. Maka alam dapat dan
dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah)
yang berlaku didalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya
sendiri.
Jika kenyataan alam ini berbeda dengan
persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak
mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau maya atau
sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit, yaitu idea
atau nirwana. Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme yang
mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat
materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif
sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa
alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah
satu sudut daripada filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan
mahluk-Nya yang tertinggi. Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan
"Khalifah" atau wakil Tuhan di bumi. Manusia ditumbuhkan dari bumi
dan diserahi untuk memakmurkannya. Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan
kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di
dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut
"sejarah". Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi
pemilik atau "rajanya".
Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang
pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang
menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk
kepada sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk
mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya
sendiri. Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan.
Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah "perubahan dan
perkembangan", sebab : segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan
olehNya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya. Segala sesuatu ini adalah
berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal
perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu. Di dalam
memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan
itu menunju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu
berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju
kebenaran itu. Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai
tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya.
Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah
yang disemangati oleh iman dan ilmu. Bidang iman dan pencabangannya menjadi
wewenang wahyu sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk
mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi
tentang alam dan tentang manusia (sejarah). Untuk memperoleh ilmu pengetahuan
tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan
kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan padanya kualitas-kualitas
yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan dimuka, alam diciptakan
dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai
Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam.
Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada
Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang Maha Esa.
Ini disebut "Tauhid" dan lawannya
disebut "syirik" artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik
seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan
dan kemajuan peradaban, kemanusiaan menuju kebenaran.
Sesudahnya atau kehidupan duniawi ini ialah
"hari kiamat". Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak
lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut
juga "hari agama", atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya
pemilik dan raja. Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti
kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan
jawab individu manusia yang bersifat mutlak dihadapan illahi atas segala
perbuatannya dahulu didalam sejarah.
Selanjutnya kiamat merupakan "hari
agama", maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada yang
diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya / kehidupan
akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan
mengetahui kejadian-kejadiannya.
B. PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR TENTANG
KEMANUSIAAN
Telah disebutkan di muka, bahwa manusia
adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang tertinggi dan adalah wakil dari
Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia bukan hanya
beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan
susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia
saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati
cenderung kepada kebenaran (Hanief).
"Dlamier" atau hati nurani adalah
pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia
ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa. Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi
dan prinsipil membedakannya dari mahluk-mahluk yang lain. Dengan memenuhi hati
nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan dinyatakan dalam kerja atau amal
perbuatanya. Nilai- nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum
menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang kongkrit. Nilai hidup
manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan
yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia
mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang
tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan. Hidup yang pernuh dan
berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang
didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan
kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup
berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam
kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan-kemajuan baik yang
mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang
seluas-luasnya. Dia diliputi oleh semangatmencari kebaikan, keindahan dan
kebenaran. Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan
perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan
berkebudayaan. Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (widom,
hikmah).
Dia berpengalaman luas, berpikir bebas,
berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun
datangnya. Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan
amarah dan pemaaf. Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik
daripada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah
yang lebih baik.
Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah
yang kegiatan mental dan phisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani
dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak
mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah
kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian,
merdeka, memiliki dirinya sendiri,menyatakan ke luar corak perorangannya dan
mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal
perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan
antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat, hak dan kewajiban serta
kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat
manusia.
Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy)
antara kegiatan-kegiatan rokhani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan
politik maupun dunia akherat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan
kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan
kebenaran. Dia seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya
benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari
pada kecenderungannya yang suci yang murni. Suatu pekerjaan dilakukan karena
keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan
karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih). Kerja
yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberikannya
kebahagiaan. Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan
ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling
berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada
kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan.
Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas
yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.
C. KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR) DAN
KEHARUSAN UNIVERSAL (TAKDIR)
Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin
ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela tanpa paksaan yang
didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan dalam pengertian kebebasan
memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan sejalan dengan hati
nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal
dari perkembangan tak terkekang daripada kemauan baiknya. Keikhlasan adalah
gambaran terpenting daripada kehidupan manusia sejati. Kehidupan sekarang di
dunia dan abadi (external) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akherat.
Dalam aspek pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang
harus dipikul secara individual, dan komunal sekaligus. Sedangkan dalam aspek
kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, melainkan hanya menerima
akibat baik dan buruknya dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di
akherat tidak terdapat pertanggung jawaban perseorangan (mutlak). Manusia
dilahirkan sebagai individu, hidup ditengah alam dan masyarakat sesamanya,
kemudian menjadi individu kembali.
Jadi individualitas adalah pernyataan asasi
yang pertama dan terakhir, dari pada kemanusiaan, serta letak kebenarannya
daripada nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena individu adalah penanggung jawab
terakhir dan mutlak daripada awal perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi,
adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi individualitas hanyalah pernyataan
yang asasi dan primer saja dari pada kemanusiaan. Kenyataan lain, sekalipun
sifat sekunder , ialah bahwa individu dalam suatu hubungan tertentu dengan
dunia sekitarnya. Manusia hidup ditengah alam sebagai makhluk sosial hidup
ditengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang
merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk
pribadi dalam kontek hidup ditengah masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah
esensi daripada kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja
merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu kenyataan.
Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap
menguasai alam. Hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia
sendiri yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia.
Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya "keharusan Universal " atau
"kepastian hukum " dan takdir. 3) jadi kalau kemerdekaan pribadi
diwujudkan dalam kontek hidup di tengah alam dan masyarakat dimana terdapat
keharusan universal yang tidak tertaklukan, maka apakah bentuk yang harus
dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya?
Sudah tentu bukan hubungan penyerahan,
sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan
akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya
sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan adanya
kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas
kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif daripada kemerdekaan
adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kretif manusia. Yaitu
tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan "ikhtiar" artinya
pilih merdeka.
Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan dari
individu, juga berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar merupakan usaha
yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi banyak segi yang
integral dan bebas; dan dimana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain
kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa
adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, manusia menjadi tidak merdeka
dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan pertanggung jawaban pribadi
dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah
dunia dan dirinya sendiri. Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau
takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan
bagi dunia dan dirinya sendiri.
Manusia tidak dapat berbicara mengenai
takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Maka percaya
kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak terlalu berputus asa karena
suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan diri karena suatu kemunduran.
Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada dirinya sendiri, melainkan
juga kepada keharusan yang universal itu.
D. KETUHANAN YANG MAHA ESA DAN KEMANUSIAAN
Telah jelas bahwa hubungan yang benar
antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan.
Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tatapi
jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah
kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari
dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada
kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian
kepada-Nya.
Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan
hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan
hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak sebagai
tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu ?.
Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada. Karena
sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu
hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan kata dan kulturiil,
kita sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai dengan
uraian bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah. Karena
kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran. Maka dia adalah Yang
Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang
Tuhan YME. Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan
Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata
bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan
atau "ridho" daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena
adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan
semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah
karena nilai kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan
atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah"
itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan.
Kata "iman" berarti percaya dalam
hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat
mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan
itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan
YME. Pelakunya disebut "Muslim". Tidak lagi diperbudak oleh sesama
manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah
manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan YME.
Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan YME) menimbulkan
kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan
bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid
adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak
mengenal batas.
Dia adalah pribadi manusia yang sifat
perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban.
Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin
dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan tidak selaras dengan
dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain, ialah pemisahan
antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrowi
antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan
bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi
: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan.
Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality)
yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri : jadi berlawanan dengan
kemanusiaan.
Oleh karena hakikat hidup adalah amal
perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan
diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata. Kecintaan kepada Tuhan sebagai
kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam
kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa
usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan,
keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia "amal saleh" (harafiah:
pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada
iman. Jadi Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena
kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada
perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah
tidak sejati. Oleh karena itu semangat Ketuhanan YME dan semangat mencari ridho
daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu
pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradabannya.
"Syirik" merupakan kebalikan dari
tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada
Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain
kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang
meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada
kemanusiaan. Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena
syirik. Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif
yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih
atas pekerjaan yang dilakukannya. Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu
sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi
karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
"Musyrik" adalah pelaku daripada
syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik
manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan
menjadi setingkat dengan Tuhan.
Demikian pula seseorang yang menghambakan
(sebagaimana dengan jiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat
dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan.
Kedua perlakuan itu merupakan penentang
terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Maka
sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan
sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang
memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya.
Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan) maka kebutuhan
menimbulkan sikap yang adil kepada manusia.
E. INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat
kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan pribadi
adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih berharga daripada
kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk
hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai mahkluk sosial, manusia
tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada
ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu. Maka dalam masyarakat
itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan pribadi
itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya.
Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri : sebab
kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial,
dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda.
Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna
kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian
anggota saja. Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam
kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi kesempatan untuk
mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan
kecenderungannya dan bakatnya. Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia
dia adalah mahkluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat
berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya
pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa
nafsu cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan
orang karena mengikuti hawa nafsu. Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan
karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah
keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan,
persamaan hak antara sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus
ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan.
Kemerdekaan tak terbatas hanya dapat dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih
satu orang, kemerdekaan tak terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu yang
bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain.
Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada
pihak yang kuat atas yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah
tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan
merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak
pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya. Sebagai
kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling menolong
dalam membentuk masyarakat yang bahagia.
Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu
yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar antara manusia dengan sejarah
bukanlah penyerahan pasif, tetapi sejarah ditentukan oleh manusia sendiri.
Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala (akibat baik)
bagi satu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia.
Manusia merasakan akibat amal perbuatannya
sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dalam hidup kemudian
(sesudah sejarah). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang
bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam
membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan. Manusia mengenali dirinya
sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan, jika ia
mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk
memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup
gotong-royong ini ialah keistimewaan dan kecintaan sesama manusia dalam
pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang.
F. KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
Telah kita bicarakan tentang hubungan
antara individu dengan masyarakat dimana kemerdekaan dan pembatas kemerdekaan
saling bergantungan, dan dimana perbaikan kondisi masyarakat tergantung pada
perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika kemerdekaan dicirikan
dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak terbatas) maka sudah terang
bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan bebas segala keinginan
pribadinya. Akibatnya pertarungan keinginan yang bermacam-macam itu satu sama
lain dalam kekacauan atau anarchi. Sudah barang tentu menghancurkan masyarakat
dan meniadakan kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan keadilan dalam
masyarakat. Siapakah yang harus menegakkan keadilan dalam masyarakat? Sudah
barang pasti ialah masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya diperlukan
adanya satu kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang
dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan
jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah
terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan.
Kualitas yang harus dipunyai, rasa
kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran kecintaan yang tak terbatas pada
Tuhan. Di samping itu diperlukan kecakapan yang cukup. Kelompok orang-orang itu
adalah pemimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar
setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam jangka waktu yang sama
menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai
manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.
Negara adalah bentuk masyarakat yang
terpenting, dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan
berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama berkewajiban menegakkan
kadilan. Maksud semula dan fundamental daripada didirikannya negara dan
pemerintah ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara daripada
kemungkinan perusakkan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia
sebaliknya setiap orang mengambil bagian pertanggungjawaban dalam masalah-masalah
atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
Pada dasarnya masyarakat dengan
masing-masing pribadi yang ada didalamnya haruslah memerintah dan memimpin diri
sendiri. Oleh karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang
lahir dari masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaan atas
persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana keadilan dan martabat
kemanusiaan tidak terganggu. Kekuatan yang sebenarnya didalam negara ada
ditangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat.
Menegakkan keadilan mencakup penguasaan
atas keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal
batas (hawa nafsu) adalah kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan
sosial untuk menjunjung tinggi prinsip kegotongroyongan dan kecintaan sesama
manusia. Menegakkan keadilan amanat rakyat kepada pemerintah yang musti
dilaksanakan. Disadari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kapada pemerintah
termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (kebenaran mutlak). Pemerintah
yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan
akhirnya kepada Tuhan YME.
Perwujudan menegakkan keadilan yang
terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau
pembagian kekeyaan diantara anggota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap
orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rejeki. Dalam masyarakat yang
tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perjuangan dialektis
yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang
didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi disatu pihak
dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa
dilain pihak. Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang
pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya
yaitu bila sudah mencapai batas maksimal pertentangan golongan itu akan
menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan
peradabannya.
Dalam masyarakat yang tidak adil, kekeyaan
dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak wajar
sekalipun realitas selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan antara manusia dalam
kemampuan fisik maupun mental namun dalam kemiskinan dalam masyarakat dengan
pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan
perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku daripada kezaliman
sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya. Oleh karena itu
sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada dipihak yang
benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang
menjalankan kezaliman dan yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menag
terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu disudahi dengan kemenangan tak
terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam
masyarakat.
Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh
adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kapitalisme dengan mudah seseorang
dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya karena
kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya
untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka. Oleh karena itu
menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha
akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat. Sesudah syirik kejahatan
terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan beserta
penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak
mengikuti jalan Tuhan. Maka menegakkan keadilan inilah membimbing manusia ke
arah pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang
kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar
ma'ruf) dan pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada
manusia kepada kebenaran asasinya dan rasa kemanusiaan (nahi munkar). Dengan
perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi atau cara-cara memperoleh,
mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan
kamanusiaan diperbolehkan (yang ma'ruf dihalalkan) sedangkan cara yang
bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan).
Pembagian ekonomi secara tidak benar itu
hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan prisip Ketuhanan YME,
dalam hal ini pengakuan berketuhanan YME tetapi tidak melaksanakannya sama
nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai yang tidak
dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata.
Dalam suatu masyarakat yang tidak
menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri,
manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang
pekerja menguasai hasil pekerjaanya, tetapi justru dikuasai oleh hasil
pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan dan kapital
itu selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan
ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau
kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti
keserakahan, ketamakan dan kebengisan.
Oleh karena itu menegakkan keadilan bukan
saja dengan amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana diterapkan dimuka, tetapi juga
melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar tetap mencintai
kebenaran dan menyadari secara mendalam akan andanya tuhan. Sembahyang
merupakan pendidikan yang kontinue, sebagai bentuk formil peringatan kepada
tuhan. Sembahyang yang benar akan lebih efektif dalam meluruskan dan
membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah kekejian dan
kemungkaran. Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang benar. Sembahyang
menyelesaikan masalah - masalah kehidupan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang
ada secara instrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu kebutuhan
sepiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak.
Pengabdian yang tidak tersalurkan secara
benar kepada tuhan YME tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain. Dan
membahayakan kemanusiaan.
Dalam hubungan itu telah terdahulu
keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhadap kemanusiaan.
Dalam masyarakat, yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi
golongan kaya dan miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas - batas kewajaran
dan kemanusian dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu
sejalan dengan dibenarkannya pemilikan pribadi (Private ownership) atas harga
kekayaan dan adanya perbedaan - perbedaan tak terhindar dari pada kemampuan -
kemampuan pribadi, fisik maupun mental. Walaupun demikian usaha - usaha kearah
perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus dijalankan
oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir masalah
perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dipungut dari orang - orang kaya dalam
jumlah presentase tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin.
Zakat dikenakan hanya atas harta yang
diperoleh secara benar, sah, dan halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram
tidak dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi
rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebelum
penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibentuk suatu masyarakat yang
adil berdasarkan ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi didapati cara
memperoleh kekayaan secara haram, diman penindasan atas manusia oleh manusia
dihapus.
Sebagaimana ada ketetapan tentang bagaimana
harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana mempergunakan harta
kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika hanya digunakan hak itu
tidak bertentangan, pemilikan pribadi menjadi batal dan pemerintah berhak
mengajukan konfikasi.
Seorang dibenarkan mempergunakan harta
kekayaan dalam batas - batas tertentu, yaitu dalam batas tidak kurang tetapi
juga tidak melebihi rata - rata atau israf pertentangan dengan perikemanusiaan.
Kemewahan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dalam
masyarakat membuat akibat destruktif. Sebaliknya penggunaan kurang dari
rata-rata masyarakat ( taqti) merusakkan diri sendiri dalam masyarakat
disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang dapat digunakan untuk
manfaat bersama.
Hal itu semuanya merupakan kebenaran karena
pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan. Manusia
seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberikan bagian
yang wajar dari padanya
Pemilikan oleh seseorang (secara benar)
hanya bersifat relatif sebagai mana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu
sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki tuhan, untuk kepentingan umum.
Maka kalau terjadi kemiskinan, orang - orang miskin diberi hak atas sebagian
harta orang - orang kaya, terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga.
Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan
memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup
yang wajar sebagaimana yang diperlukan oleh pribadi-pribadi agar diandan
keluarganya dapat mengatur hidupnya secara terhormat sesuai dengan
kainginan-keinginannya untuk dapat menerima tanggungjawab atas
kegiatan-kegiatnnya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa pemerintah harus
membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah pendidikan, kecakapan
yang wajar kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang
pantas.
G. KEMAJUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Dari seluruh uraian yang telah di kemukakan
, dapatlah dikumpulkan dengan pasti bahwa inti dari pada kemmanusiaan yang suci
adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau Amal Saleh
1). Iman dalam pengertian kepercayaan akan
adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa , serta menjadikanya
satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak.
Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan
kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap pri kemanusiaan. Sikap pri
kemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang bersesuaian dengan dan
meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna untuk
sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan manusia ?.
Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu
tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula perjalanan ummat manusia atau
sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam kehidupan relatif
adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu.
Demikianlah segala sesuatu berubah, kecuali
tujuan akhir dari segala yang ada yaitu kebenaran mutlak (Tuhan).
2). Jadi semua nilai yang benar adalah
bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan.
3). Oleh karena itu manusia berikhtiar dan
merdeka, ialah yang bergerak. Gerakan itu tidak lain dari pada gerak maju
kedepan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak setatis. Dia bukanlah seorang
tradisional, apalagi reaksioner.
4). Dia menghendaki perubahan terus menerus
sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencarai
kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu
menyatakan dirinya dan ditemukan didalam alam dari sejarah umt manusia.
Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk
mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun relatif
namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui dalam
perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran
mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika
mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri.
5). Jadi ilmu pengetahuan adalah
persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan
dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikan kepada kepatuhan
tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa.
6). Dengan iman dan kebenaran ilmu
pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi.
7).Ilmu pengetahuan ialah pengertian yang
dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya
sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya ialah
hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna dapat
mengarahkanya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu
tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar dapat
menguasai dan menggunakanya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi ummat
manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan
kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau rasio.
8). Demikian pula manusia harus memahami
sejarah dengan hukum-hukum yang tetap.
9). Hukum sejarah yang tetap (sunatullah
untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan
jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang
daripadanya dengan menuruti hawa nafsu.
10). Tetapi cara-cara perbaikan hidup
sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah
masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk dapat
mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang.
11). Menguasai dan mengarahkan masyarakat
ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya kearah kemajuan dan
perbaikan.
H. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari seluruh uraian yang telah lalu
dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sbb
Hidup yang benar dimulai dengan percaya
atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta kecintaan
kepada-Nya yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak.
Nilai-nilai itu mamancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi
kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika
tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh
untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya.
Iman dan takwa dipelihara dan diperkuat
dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan, ibadah mendidik
individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang tuguh kepada
kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Segala sesuatu
yang menyangkut bentuk dan cara beribadah menjadi wewenang penuh dari pada
agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat-ibadat yang terus
menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan kedudukannya di tengahh alam dan
masyarakat dan sesamanya. Ia telah melebihkan sehingga kepada kedudukan Tuhan
dengan merugikan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai
mahluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil
bentuknya yang utama dalam usaha yanag sungguh - sungguh secara essensial
menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang
maupun waktu yang menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang
memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha -
usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada
nilai - nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usaha itu ialah "amar
ma'ruf , disamping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan
kemerosotan nilai - nilai kemanusiaan dan nahi mungkar. Selanjutnya bentuk
kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas
dan kaum miskin pada umumnya serta usaha - usaha kearah penungkatan nasib dan taraf
hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.
Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang
besar kepada kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu sikap berjuang. Berjuang itu
dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas
dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan kebenaran
dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan. Dan dengan jalan
itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu
persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan
bangunan yang kokoh kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan
solidaritas yang tinggi dan oleh sikap yang tegas kepada musuh - musuh dari
kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran.
Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain
atau golongan lain.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu
merupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuang kemanusiaan berusaha
mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu, manusia harus
mengetahui arah yang benar dari pada perkembangan peradaban disegala bidang.
Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu
pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai
tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa
kebahagiaan bahkan mengahancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia
Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahun harus didasari
oleh sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang
kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan
diantaranya yang terbaik.
3. Tanggapan Penulis Terhadap Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP
HMI) Nurcholis Madjid
Pemikiran keislaman
Caknur didalam NDP HMI dapat dilihat salah satunya dari sejauh mana HMI
memahami dan mengembangkan NDP secara lebih luas dan kontekstual melalui
dimensi ruang dan waktu yang ada. Sejak gerakan pembaruan pemikiran yang didengungkan
oleh Nurcholis Madjid bersama yang lainnya, HMI telah mulai diidentikan dengan
gerakan intelektual muslim pembaharu.
Bagi kalangan HMI,
terutama saat ini, pemikiran keislaman Caknur didalam NDP HMI hampir selalu
berangkat dari pemahamannya terhadap NDP. Sejauh mana pemahaman HMI terhadap
NDP, maka sejauh itu juga pemikiran keislamannya. Bukan berarti NDP adalah
sebuah konsep yang sudah selesai dan stagnan, sehingga dikataka sebagai
barometer kualitas pemikiran keialsman HMI, bahkan pemikiran keindonesiaannya.
NDP HMI caknur
version dilahirkan dari semangat yang tinggi dalam menyempurnakan kualitas HMI
seryta sumbangsinya dalam pemikiran keislaman. NDP diharapkan mampu selain
sebagai cara pandang HMI terhadap Islam, juga sebagai ideologi serta filsafat
perubahan sosial. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi posisi, fungsi dan
peran NDP, ia harus senantiasa dihadapkan dengan realitas kekinian. Melalui itu
maka akan terlahir pemikiran-pemikiran baru, yang lebih segar dan kontekstual,
namun tetap berada pada garis keislaman.
Kebutuhan HMI
terhadap NDP sebagai cara pandang terhadap Islam, yang sekaligus sebagai
penjelasan tentang Islam sebagai dasar HMI, adalah untuk membangun konsepsi
yang sama terhadap Islam. Hal ini dikarenakan HMI adalah organisasi yang
terbuka serta independen, sehingga membuka kemungkinan adanya kader yang
berasal dari latar belakang yang berbeda. Maka untuk itu dibutuhkan NDP Caknur dalam posisinya sebagai cara pandang. Hal
tersebut bukan berarti bahwa NDP Caknur kemudian
menegasikan adanya perbedaan. Karena NDP Caknur hanya mengandung hal-hal atau
pembahasan-pembahasan yang bersifat substantif dan universal, maka kemungkinan
adanya pengebirian terhadap kemerdekaan dalam memberi interpretasi terhadap
Islam sangat kecil, bahkan tidak ada. NDP Caknur berbicara tentang nilai, tentang bagaimana
memahami sebuah nilai, dan menghindari berbicara hal-hal yang bersifat teknis,
yang seringkali perbedaan pendapat, bahkan pertentangan secara nyata terlahir
dari hal-hal teknis tersebut.
Kemudian kebutuhan
HMI terhadap NDP khusunya Caknur vesrion
dalam fungsinya sebagai ideologi dikarenakan sebagai organisasi perjuangan,
maka dibutuhkan ideologi yang tepat dalam rangka mendukung perjuangannya.
keberadaan ideologi menjadi sangat penting bagi HMI dikarenakan ideologi itulah
nantinya, yag selain memberikan dorongan kepada tindakan sosial, juga berakibat
kepada terjadinya perubahan sosial.
Ideologi, menurut
Karl Mannheim, biasanya terkait dengan beberapa hal. Pertama, ideologi merupakan sistem-sistem gagasan yang umum atau
luas. Kedua, ideologi seketika
mengakar pada etika sosial. Ketiga,
ideologi mengarahkan kepada tindakan sosial, ia bukan hanya sebatas
menjernihkan atau menata pengetahuan. Keempat,
ideologi merupakan sebab sekaligus akibat dari perubahan sosial yang mendasar.[13]
NDP Caknur juga menjadi kebutuhan bagi HMI sebagai
filsafat perubahan sosial. Melalui NDP, persoalan-persoalan sosial yang
menyangkut teologi, sosial, politik, kebudayaan, ekonomi, dan pendidikan, dapat
dibaca. Jika dari hasil pembacaan tersebut terdapat gejala-gejala yang
mengindikasikan adanya persoalan, melalui NDP dengan dibantu oleh ilmu-ilmu
sosial yang ada, dapat dirumuskan gagasan-gagasan baru sebagai jalan keluar.
Setiap bab yang
terkandung di dalam NDP Caknur ,
menyangkut tiga persoalan pokok, yang itu adalah esensi dari ajaran Islam. Jika
dalam kenyataannya ketiga hal pokok tersebut diabaikan, maka masa depan umat
manusia akan mengarah kepada kehancuran. Ketiga hal pokok tersebut adalah
tauhid, kemanusiaan, dan keadilan.
Jika kita pelajarai
NDP Caknur secara keseluruhan serta
nila-nilai yang terkandung di dalam NDP Caknur . Maka setidaknya menurut penulis kedudukan
serta pungsi NDP Caknur dalam lingkup organisasi Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) adalah sebagai berikut :
1) Nilai-nilai Dasar
Perjuangan sebagai Cara Pandang HMI terhadap Islam
Islam adalah dasar perjuangan bagi HMI. Karena
Islam adalah dasar perjuangan yang memuat ajaran pokok tentang keadilan dan
usaha perbaikan masyarakat, Islam mebutuhkan penguraian yang lebih lanjut.
Penguraian lebih lanjut tersebut membutuhkan cara pandang atau rumusan-rumusan
sebagai hasil penafsiran terhadap ajaran-ajaran pokok agama Islam.
Dalam pemahamannya secar lebih luas, Islam adalah
agama universal. Dikarenakan keuniversalannya, maka Islam mengandung pemaknaan
yang luas dan dalam. Untuk dapat menerjemahkan prinsip-prinsip keuniversalan
Islam di tengah-tengah masyarakat, maka dibutuhkan cara pandang yang benar
dalam menafsirkan Islam.
Bagi organisasi mahasiswa yang merupakan alat
dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam, HMI mencoba menghindari munculnya
berbagai akibat yang tidak diharapkan dalam pelaksanaan ajaran agama Islam.
Perbedaan pemahaman yang terdapat di dalam tubuh umat islam, yang seringkali
berakibat kepada terjadinya pertikaian antar sesama, hanya akan merugikan umat
Islam itu sendiri. Belum lagi jika pertikaian tersebut berujung kepada
perpecahan dalam waktu panjang, yang disertai dengan sikap yang saling
mengkafirkan. Tentu saja hal itu selain hanya akan menghambat perkembangan dan
masa depan umat Islam, juga merugikan umat-umat dari agama yang lain.
Sikap merasa paling benar, mengancam umat lain
yang dianggap sesat oleh kelompok lainnya yang berujung pada terciptanya
perasaan takut dan terancam dalam menjalankan praktek-praktek ibadah, justru
merupakan penodaan atau penistaan terhadap ajaran agama yang dianggap paling
benar.
Di tengah kondisi sosial-keagamaan yang demikian,
HMI memiliki peran dalam menjembatani adanya ketegangan yang ada. Tentu saja
untuk dapat menjadi penengah, HMI harus memiliki pemahaman yang selain lebih
luas juga yang dapat diterima oleh semua kalangan. Meskipun akan terdapat
pendapat yang berbeda, ketika HMI dapat menyampaikan pemahamannya tentang Islam
secar lebih bijaksana, akan dapat mencegah pertikaian umat.
Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa cara pandang
keislaman HMI tidak jauh dari pemahaman HMI terhadap NDP Caknur , seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Islam,
yang dalam pandangan HMI, menurut cara pandangnya dengan menggunakan NDP, bukan
sebatas agama yang terdiri dari simbol-simbol maupun ritual-ritual yang
bersifat teknis.
Menurut cara pandang dengan menggunakan NDP, Islam
lebih dikembalikan kepada substansi nilai-nilianya yang universal.
Keuniversalan Islam tersebut yang lebih dipahami sebagai ajaran kebenaran, yang
harus diaktualisasikan ke dalam segala bentuk tindakan di segala aspek. Pada
hal teknis inilah, Islam kemudian mewujud ke dalam bentuk ritual-ritual yang
selama ini ada. Ritual yang selama ini dilakukan oleh sebagian umat Islam,
namun disertai dengan unsur-unsur yang di dalamnya mengacu kepada klaim
kebenaran, bagi HMI bukalah Islam yang sesungguhnya. Sebab ketika terdapat
klaim kebenaran, maka praktek-praktek keagamaan akan menjadi praktek-praktek
yang berujung kepada kekerasan, teror, serta tindakan-tindakan negatif lainnya,
yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Tindakan saling mengkafirkan, saling menghujat,
bahkan saling membunuh di antara sesama kalangan umat Islam yang disebabkan
hanya karena perbedaan pemahaman, bagi HMI, mereka bukanlah Islam. Justru
ketika terdapat seseorang atau kelompok, yang secara formal bukan beragama
Islam, pada dasarnya mereka dapat dikatakan sebagai seorang yang Islam. Islam
dalam maknannya yang umum, yaitu sikap tunduh dan patuh kepada Tuhan, kepada
nilai-nilai kebenaran. Sebagai contoh adalah, seorang non muslim yang berbuat
baik serta berkomitmen terhadap nilai nilai seperti keadilan, kasih sayang,
kemanusiaan, dan kejujuran, dia lebih islami jika dibandingkan dengan seorang
muslim yang selalu menebar fitnah, teror, kebencian, dan membunuh sesamanya.
Secara genealogis, padangan HMI yang demikian
sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Nurcholis Madjid tentang Islam,
mengingat NDP sendiri sangat identik dengan Nurcholis Madjid. Pandangan
Nurcholis Madjid tersebut juga sangat dipengaruhi oleh Ibnu Taymiyah yang
membagi Islam menjadi dua, yaitu Islam umum dan Islam khusus.
Lebih lanjut Nurcholis Madjid memberikan
penjelasan mengenai Islam sebagai sikap berserah diri kepada Tuhan berikut
segala konsekwensinya. Sikap berserah diri kepada Tuhan tersebut, pada dasarnya
merupakan inti dan hakekat semua agama serta keagamaan yang benar.[14]
Pandangan-pandangan Nurcholis Madjid yang sangat
universal dan substantif mengenai Islam itulah, juga pandangan-pandangan para
tokoh HMI mengenai hal yang sama, selanjutnya berpengaruh terhadap pola pikir
HMI secara umum. Hampir semua pembahasan di dalam NDP Caknur merupakan pandangan-pandangan yang lebih
menitikberatkan aspek universalitas Islam.
Secara keseluruhan NDP Caknur terdiri dari tujuh bab ditambah dengan bab
penutup. Bab-bab di dalam NDP, jika disederhanakan hanya akan menyisakan empat
prinsip pokok yang selanjutnya merupakan esensi ajaran Islam dalam pandangan
HMI. Keempat prinsip pokok tersebut adalah tauhid, kemanusiaan, keadilan, dan
kesatuan antara iman, ilmu, dan amal. Sebagaimana tertulis di dalam NDP pada
paragraf terakhir pada bab penutup, di sana dituliska bahwa tugas hidup manusia
pada dasarnya sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu, dan beramal. Prinsip
terakhir itulah yang hingga hari ini menjadi semboyan keislaman HMI.[15]
Untuk dapat beriman, berilmu, dan beramal sebagai
suatu bagian yang integral dalam diri seorang manusia, maka seorang manusia
harus memahami secara benar hakekat ketuhanan, hakekat kemanusiaan, hakekat,
keadilan, hakekat ilmu pengetahuan, serta hakekat pengamalan atas nilai-nilai
tersebut. Jika pemahaman seseorang tentang Islam tidak mencakup pemahaman
beberapa hal tersebut, apalagi hanya sepenggal-sepenggal, maka keislamannya
tidak lebih dari sebatas formalitas.
Implikasi dari cara pandang keislaman yang
demikian, akan menjadikan seseorang tidak terjebak kepada pemahaman yang sempit
terhadap agama. Ketika berbicara tentang relasi antara Islam dan negara, maka
seseorang dengan cara pandang demikian tidak terjebak kepada pendikotomian atau
bahkan mempertentangkan kedua entitas tersebut. Beberapa persoalan tentang
hubungan antara Islam dan negara, yang kemudian berujung kepada keinginan keras
dalam hal bentuk negara apa yang akan diterapkan, tidak lain dikarenakan cara
pandang tentang pemerintahan Islam yang masih sangat sempit.
Meskipun Islam tidak secara rinci menjelaskan
persoalan mengenai negara, struktur-struktur, serta tata kelola di dalamnya,
namun Islam memiliki dan telah memberikan landasan nilai bagi bentuk sebuah
negara yang diharapkan. Seperti ungkapan Ibnu Taymiyah yang cukup terkenal,
bahwa negara yang dipimpin oleh orang kafir namun berlaku adil lebih baik dari
pada sebuah negara yang dipimpin oleh seorang muslim namun tidak adil. Dari
ungkapan Ibnu Taymiyah tersebut sangat jelas bahwa Islam lebih menitiktekankan
pada hal-hal yang berupa nilai. Adapun implementasi dari nilai tersebut
bersifat dinamis dan disesuaikan dengan konteks serta kebutuhan yang ada.
Sekalipun dinamis dalam penerapannya, namun tetap tidak boleh melenceng dari
nilai-nilai yag ada.
Tidak hanya dalam kaitannya dengan aspek politik,
dalam aspek-aspek yang lain pun, misalnya seperti aspek pendidikan, sosial,
ekonomi, dan budaya, HMI menggunakan prnsip yang sama. Melalui prinsip atau
cara pandang seperti itu, dalam setiap konteks yang ada, HMI lebih mengutamakan
bagaimana terwujudnya keadilan, terjaganya kemanusiaan, terlestarikannya
kejujuran, dan tercapainya kesejahteraan secara merata dari pada oleh siapa
orientasi-orientasi tersebut dilakukan.
Demikianlah HMI, dengan NDP-nya yang disusun oleh
Caknur melihat Islam sebagai sikap
tunduk kepada kebenaran, yang kemudian melahirka komitmen terhadap kebenaran
tersebut tanpa menjadikan setiap perbedaan yang ada sebagai hal yang
bertentangan. Bagi HMI, hal yang bertentangan adalah segala sesuatu yang
bertolak belakang dengan prinsip ketundukan kepada kebenaran dan
ketidakkomitmenan terhadap prinsip tersebut, sekalipun secara yuridis-formal
segala sesuatu itu berlabelkan Islam.
Komitmen HMI terhadap Islam, meskipun dalam
wilayah implementasinya tidak dapat dilepaskan dari beberapa kekurangan, telah
menyiratkan pemikiran keislamannya. Sepanjang sejarah perjuangannya, sebagai
acuan bagi HMI dalam pemahamannya terhadap Islam, NDP terlahir atas pengaruh
dan juga sekaligus mempengaruhi sejarah perjuangan tersebut. Hal itu terutama
ketika HMI berada pada era tahun 1970-an.
Posisi NDP Caknur sebagai
cara pandang keislaman HMI pada era 1970-an terlihat jelas ketika HMI menyikapi
wacana pembaruan pemikiran dan ketika HMI dihadapkan kepada kebijakan
pemerintah tentang azas tunggal Pancasila. Saat dimana HMI menerima segala
resiko dalam usaha pembaruan pemikiran, juga saat dimana HMI menerima Pancasila
sebagai azasnya, adalah bukti bahwa HMI telah berfikir secara substantif dan
universal. Bagi HMI saat itu, pembaruan pemikiran adalah keniscayaan yang harus
dilakukan. Maka meskipun resikonya adalah dianggapnya HMI sebagai agen
pemikiran Barat, hal tersebut tidak menjadikan perjuangannya dalam memajukan
Islam menyurut.
Demikian juga saat HMI harus mengalami konflik
internal ketika mengganti azasnya menjadi Pancasila, pemikiran dan
perjuangannya tetap tidak terpasung oleh strategi Orde Baru. Di satu sis HMI
menerima Pancasila sebagai azasnya, namun di sisi lain HMI tetap ada sebagai
sebuah organisasi yang sama sekali tidak berbeda dengan ketika dia berazaskan
Islam. Pancasila yang secara formal menjadi azas, tidak masalah bagi HMI,
selama secara hakekat Islam tetap menjadi ruh perjuangannya. Dalam hal itu HMI
berusaha meletakkan Islam di hati, dan bukan di luar.
Penerimaan itu juga, dilandasi oleh pemikiran
keislaman HMI yang telah sampai pada tahap matang. Dalam arti bahwa Islam harus
mengindonesia dan Indonesia harus terislamkan meskipun tidak secara formal.
Sebab bagi HMI Pancasila pada dasarnya adalah Islam, hanya bungkusnya saja yang
berbeda. Kelima sila dalam Pancasila menurut HMI merupakan pengejawantahan
nilai-nilai Islam, atau dapat dikatakan juga bahwa Pancasila itu adalah bentuk
dari Islam yang mengindonesia.
2) Nilai-nilai Dasar
Perjuangan sebagai Ideologi
Setiap tujuan membutuhkan perjuangan, dan setiap
perjuanga membutuhkan pengorbanan. Tidak semua organisasi perjuangan bersedia
untuk secara ikhlas berkorban. Berkorban hanya akan dilakukan oleh seseorang
atau kelompok yang telah meyakini benar kebenaran dari makna dan orientasi
perjuangannya. dengan keyakinan tersebut, akan timbul dorongan-dorongan, juga
pembenaran-pembenaran atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam perjuangan
tersebut.
Menurut Dahlan Ranuwiharjo, salah seorang tokoh
HMI, ideologi adalah landasan gerak atau seperangkat nilai-nilai berdasarkan
pandangan dunia (pandangan hidup) untuk mengatur kehidupan Negara dalam
segi-seginya dan yang disusun dalam sebuah konstitusi berikut
peraturan-peraturan dan implementasinya.[16]
Dalam konteks organisasi seprti HMI, definisi ideologi yang diberikan oleh
Dahlan Ranuwiharjo tersebut dapat diartikan sebagai landasan gerak atau
nilai-nilai yang bersumber dari pandangan dunia untuk mengarahkan organisasi
kepada tujuan perjuangannya. Ideologi tersebut, paling tidak harus dirumuskan
kemudian disepakati bersama berikut tata penerapannya.
Pada wilayah ideologi, tauhid harus menjadi dasar
utamanya (sumber). Bagaimana pemahaman kader maupun manusia secara umum tentang
tauhid menjadi dasar dari epistemologinya. Sehingga dengan pengetahuan yang
bersumber dari tauhid tersebut akan dapat menghasilkan pandangan dunia yang
objektif. Ideologi sangat penting bagi perjuangan organisasi, sebab ideologi
sebagai landasan setiap gerak yang akan diaktualisasikan.
Terdapat banyak sekali ideologi raksasa yang
dengan segala unsur-unsurnya, juga memiliki orientasi dalam pencapaian tujuan.
Misalnya saja liberalisme, kapitalisme, sosialisme, nasionalisme, dan
lain-lain. Maka sebagai landasan gerak yang universal dan baku, tauhid adalah
rujukan atau sumber utama bagi ideologi yang jelas, permanen dan selalu
relevan.
HMI adalah organisasi perjuangan. Perjuangan HMI
selain mengarah kepada apa yang menjadi tujuannya, tentu akan dihadapkan dengan
banyak tantangan. Untuk dapat melewati setiap tantangan yang dihadapi, juga
demi menjaga keberlangsungan perjuangannya, maka dibutuhkan ideologi. Seperti
apa yang dijelaskan di atas sebagai definisi ideologi, maka NDP cukup relevan
untuk dijadikan sebagai ideologi bagi HMI.
NDP Caknur adalah
rumusan-rumusan yang diolah berdasarkan pemahaman terhadap Islam sebagai sumber
nilai. Islam yang mengandung unsur-unsur
tauhid, kemanusiaan, dan keadilan, kemudian dikontekstualisasikan dengan
realitas yang ada dan difahami kembali untuk melahirkan landasan nilai dan
seperangkat nilai bagi kebutuhan perjuangan organisasi. Maka dalam hal itulah,
NDP adalah ideologi bagi HMI. Ketika terdapat pertanyaan mengapa bukan Islam
saja sebagai ideologi bagi HMI, maka dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya HMI
tetap berlandaskan Islam. Dan NDP Caknur adalah penjelasan tentang Islam sebagai
landasan HMI, yang mengandung rumusan-rumusan tertentu bagi kebutuhan
perjuangan HMI.
3) Nilai-nilai dasar
Perjuangan NDP Caknur sebagai Filsafat
Perubahan Sosial
Bagai sebuah masyarakat, perubahan adalah suatu
keniscayaan. Gerak dinamis sebuah masyarakat tertentu ke arah perubahan
dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Perubahan yang
dipengaruhi oleh faktor internal adalah perubahan yang disebabkan oleh segala
sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri, yang biasanya atas
kehendak masyarakat. sedangkan perubahan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal
adalah perubahan yang disebabkan adanya pengaruh dari luar, biasanya kondisi
alam, lingkungan sekitar masyarakat, maupun segala sesuatu yang lain yang tidak
dapat dikontrol oleh manusia.
Perubahan sosial tidak bisa berdiri sendiri,
biasanya ia akan diikuti oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat yang
berhubungan dengan perubahan itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, perubahan
sosial yang terjadi biasanya diawali dari tingkat nasional yang kemudian akan
mempengaruhi perubahan-perubahan yang lain pada tingkatan di bawahnya. Melalui
salah satu karyanya, Selo Sumarjan membagi perubahan sosial menjadi dua sifat,
yaitu perubahan sosial yang disengaja (intended)
dan perubahan sosial yang tidak disengaja (unintended).[17]
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan bernegara, biasanya
lebih bersifat intended, bahkan tidak
jarang perubahan tersebut telah direncanakan sebelumnya. Berbeda lagi dengan
perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan sosial
yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat biasanya unintended. Oleh karena itu, seringkali perubahan sosial yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat, membuat masyarakat yang bersangkutan merasa
bingung bahkan menentangnya. Hal ini disebabkan karena perubahan tersebut
memang tidak pernah disengaja.[18]
Teori tentang perubahan sosial memang telah banyak
dikemukakan oleh para tokoh sosial, juga para pelaku gerakan sosial. Teori
perubahan sosial tersebut, juga perubahan sosial itu sendiri, tentu berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Keniscayaan mengenai adanya perbedaan baik
secara teoritik maupun praktek di dalam perubahan sosial sangat dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Beberapa teori perubahan sosial, misalnya bisa didapati
teori globalisasi, teori evolusi, modernisasi, lingkaran sejarah, materialisme
historis, pembangunan, dan masih banyak lagi teori tentang perubahan sosial
yang dapat digunakan dalam membaca, menyimpulkan, dan merencanakan serta bertindak
untuk perubahan sosial.[19]
Untuk dapat menghasilkan dan melakukan upaya gerakan sosial yang relevan dan
efektif, harus memahami ilmu mengenai perubahan sosial. Bagaimana kondisi yang
sebenarnya sedang berlangsung, kondisi yang ideal seperti apa, bagaimana cara
untuk melakukan perubahan sosial, bagaimana mempertahankan atau menjadikan
lebih baik perubahan sosial yang telah terwujud, kesemuanya terdapat di dalam
ilmu atau teori tentang perubahan sosial.
Dalam konteks Indonesia hari ini, salah satu teori
yang dapat diadaptasi untuk digunakan dalam membaca situasi yang ada, kemudian
menyimpulkan atas apa yang terjadi, merencanakan tindakan yang akan dilakukan,
dan bertindak, mungkin orang-orang seperti Karl Marx,[20]
Talcot Parsons,[21]
dan Selo Sumarjan,[22]
cukup bisa dipinjam pemikirannya. Bahwa kondisi dan perubahan yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia hari ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan
yang menghendaki tercapainya kepentingan serta dapat dipertahankan, itu adalah
benar. Di samping itu, setiap kondisi dan perubahan yang terjadi, pun terkadang
juga dilatarbelakangi oleh faktor masyarakat yang ada di bawah. Perubahan
sosial, selain bisa terjadi dengan disengaja, ia juga bisa tidak disengaja.
Perubahan sosial, selain ia berangkat dan dimulai dari struktur atas, juga bisa
berangkat dan dimulai oleh struktur yang ada di bawah. Dalam hal ini,
kebudayaan, ekonomi, politik, dan pendidikan, tidak bisa dilupakan sebagai
perangkat dan faktor terjadinya perubahan sosial.[23]
Sebagai salah satu contoh perubahan sosial adalah
perubahan yang terjadi setelah reformasi 1998. Meskipun tidak dapat dikatakan
sepenuhnya berhasil, namun dalam beberapa hal, reformasi 1998 telah merubah
beberapa hal di Indonesia. Misalnya saja kebebasan dalam mengemukakan pendapat
yang sebelumnya sangat dibatasi bahkan diancam, setelah adanya gelombang
reformasi kebebasan tersebut kini mulai dirasakan angin sejuknya. Selain itu,
mulai semakin berimbangnya kekuatan antara Negara dan masyarakat dalam beberapa
aspek, meskipun dalam beberapa hal yang lain Negara masih sangat dominan dan
masyarakat tersubordinasi, juga sebagai salah satu bentuk dari perubahan sosial
yang terjadi. Keseimbangan tersebut diakibatkan oleh salah satu faktor,
misalnya karena adanya salah satu “partai politik penguasa”[24]
yang dengan kebijakan pemerintah pada waktu itu mewajibkan beberapa kalangan
maupun institusi untuk mendukung partai tersebut sehingga menjadi semakin
kuatlah penguasa. Hal itu, setelah reformasi 1998 telah mulai hilang,
digantikan dengan kebijakan untuk bebas dalam memilih partai politik di satu
sisi, dan kebijakan untuk bersikap netral di sisi lain. Perubahan tersebut
tentu selain berangkat dari atas, sebagai sebuah kebijakan pemerintah, juga
karena dorongan dari bawah yang merasa selalu tertekan dengan kekuasaan yang
dengan kekuatannya yang besar seringkali berlaku represif.
Dengan meminjam pikiran Selo Sumarjan tentang
perubahan sosial, besar kemungkinan setiap perubahan sosial yang terjadi, atau
bahkan kemungkinan akan terjadi, beserta gejalanya, akan dapat dibaca dan
diprediksi. Sehingga perubahan sosial yang akan terjadi nantinya, benar-benar
dapat dipersiapkan tindaklanjutnya. Akan menjadi lebih baik, ketika perubahan
sosial yang nantinya akan terjadi, merupakan perubahan sosial yang disengaja,
yang direncanakan, sehingga segala persiapan yang dibutuhkan telah benar-benar
siap.
Gerakan sosial merupakan tindakan kolektif yang
diorganisir secara longgar, tanpa cara terlembaga untuk menghasilkan perubahan
dalam masyarakat mereka. Untuk mendefinisikan apa itu gerakan sosial, paling
tidak haru mengandung beberapa komponen pokok diantaranya; kolektifitas orang
yang bertindak bersama, tujuan bersama tindakannya adalah perubahan tertentu
dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara yang sama, kolektifitasnya
bersifat relative tersebar namun derajatnya lebih rendah daripada organisasi
formal, serta tindakannya mempunyai derajat spontanitas yang relative tinggi
namun tak terlembaga dan berbentuk tidak konvensional.[25]
Gerakan sosial juga dapat diartikan sebagai; upaya kolektif untuk membangun
tatanan kehidupan yang baru, upaya kolektif untuk mengubah tatanan sosial,
upaya kolektif untuk mengubah norma dan nilai, tindakan kolektif berkelanjutan
yang dilakukan untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau
dalam kelompok yang menjadi bagian masyarakat itu, upaya kolektif untuk
mengendalikan perubahan atau untuk mengubah arah perubahan.
Gerakan sosial menghasilkan perubahan (atau
menghasilkan ‘pro status quo’ dalam
arti tiadanya perubahan) yang arahnya satu dengan yang lainnya bisa berbeda,
baik pada tataran ‘infra-struktur
material’, ‘struktur sosial’ dan
‘struktur politik’ maupun pada
tataran ‘supra-struktur ideologis.’
Hasil dari gerakan sosial dapat dilihat pada tiga tingkat yang saling
berkaitan, yaitu: kebijakan publik, kebudayaan, dan partisipan. Ada dua
komponen keberhasilan sehubungan dengan kebudayaan
publik (baik yang bersifat substantif maupun simbolik), yakni:
gerakan-penantang memperoleh pengakuan sebagai aktor politik yang absah,
memperoleh manfaat-manfaat baru bagi dirinya sendiri dan bagi konstituensinya.
Pada tingkat kebudayaan, gerakan
sosial kontemporer terutama adalah agen dari perubahan kebudayaan, dan
seringkali secara eksplisit ingin merubah kebudayaan dominan, sehingga
kampanyenya memusatkan pada perubahan wacana mengenai topik khusus, penggugatan
makna simbolik dari obyek, serta penjungkir-balikan norma-norma tingkah laku,
dengan menjalankan strategi ‘menggembosi’ kebudayaan dominan, dan juga
mengenalkan simbol-simbol baru, merekonsturksi wacana, dan menggelar
norma-norma alternatif. Gerakan sosial mempengaruhi partisipannya lewat partisipasi mereka dalam gerakan, individu
membangun perspektif-politis baru atas dunia dan jati diri mereka sendiri.
Gerakan berupaya mengubah ‘kerangka’ itu lewat pandangannya tentang dunia, dan
di dalam proses tindakan kollektif membangun dan melakukan pembatinan
(internalisasi) jati-diri kollektif yang bersifat opposisional.[26]
Melalui beberapa definisi di atas, secara pokok,
pada dasarnya gerakan sosial membutuhkan adanya tindakan kolektif serta
mengarah kepada terwujudnya suatu perubahan. Telah banyak memang beberapa
contoh gerakan sosial yang telah terjadi di beberapabelahan dunia dan dilakukan
oleh beragam stake holder. Dari keseluruhan gerakan sosial yang ada tersebut,
meskipun tidak secara keseluruhan dapat dikatakan berhasil, dalam arti lebih
dari lima puluh persen mencapai target, namun tetap di beberapa aspek telah
mampu mempengaruhi adanya suatu perubahan sosial. Dalam konteks Indonesia
misalnya, perubahan sosial yang pernah ada selalu diawali oleh adanya
kolektifitas gerakan yang mendorongnya. Kecil maupun besar kapasitas dari
setiap gerakan sosial yang ada, biasanya sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya
tekanan yang ada, dampak yang ditimbulkan, serta tingkat kesadaran
masyarakatnya.
Perubahan sosial, mulai dari masa kemerdekaan,
Orde Lama, Revolusi, Orde Baru dan Pembangunan, Reformasi, hingga masa
demokrasi seperti hari ini, sekali lagi, tidak bisa dilepaskan dari peranan
gerakan sosial. Gerakan sosial biasanya juga dilatarbelakangi oleh adanya ide
serta tokoh yang menggerakkan. Melalui ide yang bersarang dalam fikiran sang
tokoh, konsep mengenai gerakan sosial mulai berkembang kemudian keluar dan
terdiasporasikan kepada individu-individu, kelompok-kelompok,
institusi-institusi dan pada akhirnya akan mempengaruhi mereka. Pada akhirnya,
konsep tersebut menjelma secara nyata dalam beragam bentuknya sehingga
mendorong lahirnya sebuah perubahan.
Gerakan sosial, untuk dapat melahirkan hasil yang
maksimal, selain kolektifitas pada nantinya, ia membutuhkan nilai dasar sebagai
pondasi gerakannya. Di samping itu, ia juga akan membutuhkan cara, strategi,
dan beranekaragam aksi nyata. Nilai dasar yang dibutuhkan oleh gerakan sosial,
sehingga ia akan tetap mampu bertahan dalam jalur idealismenya, pada hakekatnya
lahir dari sebuah keyakinan akan kebenaran. Keyakinan tersebut akan melahirkan
cara pandang dan selanjutnya ideologi. Cara dan strategi dalam gerakan sosial
biasanya dirumuskan bersaman -meskipun sifatnya lebih cenderung dinamis- dalam
sebuah metodologi. Terakhir, setelah pondasi dasar gerakan sosial telah
dibangun, metodologinya dianggap sudah sangat tepat, selanjutnya adalah
tindakan nyata. Setiap gerakan sosial juga membutuhkan adanya refleksi,
evaluasi dan proyeksi. Hal tersebut diperlukan demi terjaganya kualitas
gerakan.
Hubungan antara HMI, gerakan sosial, dan perubahan
sosial sudah sangat jelas tergambarkan melalui sejarah penjang keterlibatan HMI
dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Meskipun demikian, agar perubahan
sosial ke arah yang diharapkan dapat terwujud secara maksimal, maka dibutuhkan
pandangan-pandangan yang tepat, jelas, dan terarah. Di samping itu, karena
watak dari perubahan sosial itu sendiri yang terkadang tidak dapat diprediksi,
terkadang juga beresiko terhadap upaya destruktif, maka dibutuhkan selain suatu
pemahaman yang benar, juga kebijaksanaan dalam menghadapinya. Pada konteks
inilah, pemikiran-pemikiran filosofis mengenai perubahan sosial dibutuhkan.
NDP Caknur menjelaskan
bagaimana kepercayaan adalah sesuatu yang menjadi kebutuhan bagi setiap
manusia. Kepercayaan tersebut akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup
dan budaya manusia. Oleh karena itu, kepercayaa selain sebagai kebutuhan, dalam
waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Nilai-nilai yang bertolak dari
kepercayaan yang benar tersebut, jika diterima oleh masyarakat kemudian menjadi
ikatan dalam hubungan sosial, maka akan melahirkan suatu tatanan yang baik.
Pandangan yang demikian tentu tidak berhenti hanya
sampai di situ. Dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat, pandangan tersebut harus mampu melahirkan pemikiran-pemikiran baru
guna sehingga mampu pesan perubahan. NDP Caknur adalah nilai-nilai, maka untuk dapat menjadi
relevan dengan kondisi sosial yang ada, ia harus dihadapkan dengan teori-teori
sosial yang ada. Pertemuan antara NDP Caknur dengan teori-teori sosial yang beraneka ragam,
yang dihadapkan dengan kondisi serta gejala sosial tertentu, maka akan
melahirkan suatu pemikiran atau perspektif baru. Pada konteks itulah, NDP
dikatakan sebagai filsafat perubahan sosial.
Signifikansi NDP Caknur
bagi HMI dalam wilayah empirik selama
ini telah mampu menjawab kebutuhan HMI dalam rangka menghadapi realitas sosial.
Secara tekstual NDP adalah salah satu naskah doktrin perjuangan bagi HMI.
Secara kontekstual, NDP berada pada posisi penting dengan fungsi dan perannya
yang juga sangat penting. Untuk menjawab kebutuhan masyarakat khususnya umat
Islam dalam mengembalikan segala persoalan kepada sumber-sumber Islam, NDP
adalah cara pandang yang tepat bagi HMI dalam membantu melihat kembali Islam
secara substantif dan proporsional. Sebagai perangkat nilai sekaligus pembenar
bagi perjuangan HMI, NDP merupakan ideologi yang tauhidik dan inklusif. Dan
dalam rangka mengantisipasi serta menjawab gejala perubahan yang terjadi di
dalam masyarakat, setiap kader HMI dapat menjadikan NDP sebagai filsafat
perubahan sosial.
[1] Lihat Azhari Akmal Tarigan, Islam
Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai-nilai Dasar Perjuangan, (Jakarta:
Penerbit Kultura, 2007), hlm. xxxi.
[2] Azhari Akmal Tarigan, Islam
Mazhab HMI.., hlm. xxxi.
[3] Azhari Akmal Tarigan, Islam
Mazhab HMI.., hlm. xxxi.
[4] Sholichin, HMI Candradimuka
Mahasiswa.., hlm. 317.
[5] Diterbitkan tahun 1971 dengan ditandatangani oleh Nurcholis Madjid
selaku Ketua Umum dan Ridwan Saidi selaku Sekretaris Jendral, dan hanya untuk
kalangan HMI
[6] Lebih lengkapnya, di dalam kata pengantar tersebut dituliskan, “Dua
syarat bagi suksesnya perjuangan ialah: (1) Keteguhan iman atau keyakinan
kepada dasar, yaitu idealisme kuat, yang berarti harus memahami dasar
perjuangan itu. (2) ketepatan penelaahan kepada medan perjuangan guna dapat
menetapkan langkah-langkah yang harus ditempuh, berupa program perjuangan atau
kerja, yaitu ilmu yang luas. Maka perumusan NDP ini adalah suatu usaha guna
memenuhi syarat pertama tersebut”. Lihat PB HMI, Nilai-nilai Dasar Perjuangan (Jakarta: PB HMI, 1971), hlm. 4.
[7] Mengenai perjalanan Nurcholis Madjid, yang kemudian dikatakannya bahwa
NDP adalah kesimpulan dari perjalanannya tersebut, lihat Nurcholis Madjid,
“Gagasan dan Latar Belakang Perumusan NDP”, dalam Muchriji Fauzi dan Ade
Komaruddin Mochamad (ed.), HMI Menjawab
Tantangan Zaman, (Jakarta: Penerbit PT Gunung Kulabu, 1990), hlm. 9.
[8] Muchriji Fauzi dan Ade Komaruddin Mochamad (ed.), HMI Menjawab Tantangan.., hlm. 9.
[9] Muchriji Fauzi dan Ade Komaruddin Mochamad (ed.), HMI Menjawab Tantangan Zaman.., hlm. 9.
[10] Di HMI terdapat tiga jenjang training formal: Latihan Kader I (Basic Training), Latihan Kader II (Intermediate Training), dan Latihan
Kader III (Advance Training). Selain
training formal, di HMI juga terdapat training informal dan non formal, salah
satunya adalah Senior Course, yang
menjadi salah satu syarat bagi kader HMI untuk dapat menjadi instruktur
training.
[11] Meskipun sebenarnya, jika dipahami secara bijaksana, sebenarnya tidak
ada versi-versi di dalam NDP. Pada dasarnya, perdebatan itu hanyalah seputar
metodologi. Karena menyangkut persoalan ideologi, maka dualisme tersebut
terkesan panas.
[12] Sholichin, HMI Candradimuka
Mahasiswa.., hlm. 314.
[13] Louis
Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme
Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies, (Yogyakarta: Jalasutra,
2004), hal. 35.
[14] Lihat Nurcholis Madjid, Islam,
Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 4.
[15] Lihat PB HMI, Nilai-nilai Dasar
Perjuangan, (Jakarta: PB HMI, 1971).
[16] A. Dahlan Ranuwiharjo, SH, Menuju
Pejuang Paripurna, (Ternate: KAHMI Ternate, 2000), hlm. 105.
[17] Selo Sumarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981).
[18] Selo Sumarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1981).
[19] Secara sederhana, baik
gerakan sosial maupun perubahan sosial, khususnya pada diri pelakunya, akan
melalui beberapa tahapan pokok, yaitu menganalisa, menyimpulkan, merencanakan,
dan bertindak. Melalui salah satu karyanya, dengan menggunakan teori perubahan
sosialnya Talcot Parsons, Selo Sumarjan dengan sangat jelas, gamblang dan tepat
melaklukan eksplanasi terhadap perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta.
Selain itu, Dawam raharjo juga pernah membuat karya yang cukup detil dan jelas
dalam menjelaskan tahapan-tahapan perubahan sosial yang terjadi di Indonesia.
Lihat, M. Dawam Rahardjo, Masyarakat
Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999).
lihat juga, Islam dan Transformasi Budaya,
(Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2002).
[20] Karl Marx, Capital. Vols. 1, (New York:
International Publisher Co,1978).
[21] Talcot Parsons, The Social System, (Glencoe: The Free
Press, 1951).
[22] Selo Sumarjan,
Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1981).
[23] Piotr Sztompka,
Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2004), hal. 65-114.
[24] Yang dimaksud adalah
partai Golongan Karya (Golkar). Pada masa Era Orde Baru di bawah kekuasaan
Presiden Soeharto, Golkar merupakan mesin politik yang sangat kuat, karena
didukung oleh Pegawai Negeri dan Militer. Pada waktu itu, pegawai negeri dan
militer diwajibkan berpihak atau menjadi anggota maupun simpatisan golkar.
Setelah Era Reformasi, keadan menjadi berubah, hari ini, Golkar bukan lagi
menjadi milik pemerintah, meskipun masih ada beberapa sisa-sisa tradisi Orde
Baru yang melekat tidak hanya pada partai Golkar, tetapi juga pada beberapa
partai lain. Hal tersebut merupakan hasil dari strategi dan metode yang
digunakan oleh Soeharto dalam memperbesar dan menjaga kekuasan serta
kekuatannya, yaitu melalui hegemoni konsep “pembangunanisme”
dan “Bapak-isme”. Mengenai mekanisme
perubahan yang terjadi tersebut, dapat disimak misalnya dalam Dr. Mansour
Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi, (Yogyakarta: INSIST Press, 2002), Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci terhadap Teori Pembangunan Dunia Ketiga,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
[25] Piotr Sztompka,
Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2004), hal. 325.
[26] Makalah MM Billah, Asas Gerakan, makalah pada Debt Campaign Training II yang
diselenggarakan oleh kerja sama antara INFID Jakarta, YBKS Surakarta, dan Gerah
Jabar pada tanggal 4-9 Maret 2002 di Hotel
& Restaurant Mega, Jl. Proklamasi 40 Jakarta. Pokok pikiran ini
diberikan sebagai bahan bacaan peserta Pelatihan Key Figures PusHAM UII yang diselenggarakan di Tawangmangu, Solo
pada tanggal 3-6 Agustus 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar