Rabu, 16 Januari 2013

PEMIKIRAN KEISLAMAN NURCHOLIS MADJID DALAM BUKU DAN TEKS NILAI-NILAI DASAR PERJUANGAN (NDP) HMI


PEMIKIRAN KEISLAMAN NURCHOLIS  MADJID
DALAM BUKU DAN TEKS NILAI-NILAI DASAR PERJUANGAN (NDP) HMI

1.      Biografi Nurcholish Madjid
Prof. Dr. Nurcholish Madjid (lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 – meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun) atau populer dipanggil Cak Nur, adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam, ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005.
Nurcholish Madjid adalah sosok yang melahirkan banyak fenomena untuk konteks masyarakat Indonesia. Sifat fenomenal tokoh ini dapat kita lihat pada fakta bahwa dengan kekuatan pribadi dan pemikirannya, Nurcholish Madjid mampu melahirkan pengaruh terhadap perubahan-perubahan tertentu di dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh dan perubahan-perubahan itu bersifat institusional dan literal. Secara institusional, hasil dari pengaruh kekuatan pribadinya itu bisa terlihat wujud dan kinerja spesifik organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), di masa kepemimpinannya dan beberapa periode setelah itu. Tapi, pengaruh institusional yang paling mencolok dari Nurcholish Madjid adalah Yayasan Paramadina. Melalui lembaga ini, Nurcholish Madjid meletakkan pengaruhnya bukan saja pada sosialisasi pemikiran-pemikirannya, melainkan juga pada terbentuknya sebuah komunitas tertentu, walau masih samar-samar yang menjadi pendukungnya kebanyakan dari kalangan santri kota.
Secara literal (apa yang tetrtulis), kehadiran Nurcholish Madjid telah memperkaya khazanah literatur(kesusasteraan) intelektual di negara kita. Ini ditandai bukan saja oleh publikasi pemikiran-pemikirannya sendiri, melainkan juga berbagai studi diri dan pemikirannya. Dalam arti kata lain, baik melalui pemikiran-pemikirannya maupun publikasi studi-studi tentangnya telah dengan sendirinya melahirkan dinamika (keadaan) intelektual di negara dan masyarakat. Melalui karya-karya itu, bukan saja didapatkan bahan untuk memahami dunia intelektual Indonesia, melainkan juga memberikan landasan bagi perdebatan dan pengenalan intelektual lebih lanjut bagi generasi-generasi mendatang.
Suatu “biografi seorang genius” selalu saja dalam “penulisannya” diiringi dengan hal-hal yang berbau mitos (penipuan akan fakta sebenarnya). Karena itu tidak aneh jika sosok atau perilaku seseorang terkenal penuh dengan cerita-cerita tak masuk akal. Dan biasanya, justru bagian yang tak masuk akal itulah yang banyak digemari dan karenanya diekspos (dipertontonkan/di tunjukan) secara besar-besaran. Tujuannya memang tidak buruk. Apalagi dikatakan jahat, malah justru sebaliknya, yaitu untuk menambah “kehebatan” orang tersebut. Tak kurang “fantasi mitos” semacam itu diarahkan kepada seorang cendekiawan yang paling fenomenal untuk tidak mengatakan kontroversional dalam konteks Indonesia, yaitu, Nurcholish Madjid.
Nurcholish Madjid dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1939 M dan bertepatan 26 Muharram 1358, di Jombang, sebuah kota Kabupaten di Jawa Timur. Nurcholish Madjid dibesarkan dalam kultur pesantren. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, adalah seorang alim dari pesantren Tebu Ireng, dan masih memiliki pertalian kerabat dengan K.H. Hasyim Asy’ari pemimpin pesantren Tebu Ireng Jombang dan tokoh pendiri NU, dan juga Ra’is Akbar NU kakek Abdur Rahman Wahid. Ibu Nurcholish Madjid adalah murid K.H Hasyim Asy’ari dan anak seorang aktivis Sarekat Dagang Islam (SDI) di Kediri. Pada masa itu SDI banyak dipegang oleh kalangan kyai dari NU. Dengan demikian Nurcholish Madjid memang berasal dari kultur NU. Ketika NU bergabung dengan Masyumi tahun 1985, ayah Nurcholish Madjid masuk dalam kalangan Masyumi. Dan ketika pada saat NU keluar dari Masyumi 1952, ayah Nurcholish Madjid tidak kembali ke NU dan tetap bertahan pada Masyumi, karena berpegang pada semacam fatwa K.H. Hasyim Asy’ari bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai Islam di Indonesia yang sah.
Tentang sikap ayahnya ini Nurcholish Madjid mengatakan “ … saya berfikir, mengapa masih mungkin orang seperti ayah saya, yang dalam soal agama berkiblat pada ulama pesantren, tapi dalam soal politik berkiblat pada orang sekolahan (Masyumi)”.
Pendidikan dasar Nurcholish Madjid ditempuh di dua sekolah tingkat dasar, yaitu, al-Wathaniyah yang dikelola oleh orang tuanya sendiri, dan di Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang. Pada kota yang sama Nurcholish Madjid melanjutkan Pendidikan Menengah Pertama (SMP). Dengan demikian, sejak dari pendidikan dasar, beliau sudah menganut dua corak pendidikan. Pertama, pendidikan dasar dengan modal pesantren, yang berorientasi pada corak “kearaban” dengan menjadikan kitrab-kitab kuning sebagai referensi pokok dan lebih menonjolkan metode tradisional. Kedua, pendidikan dengan pola umum, yang lebih berorientasi pada metode pendidikan modern. Sejak pada pendidikan dasar inilah Nurcholish Madjid sudah memperlihatkan kecerdasannya, hal ini ditandai dengan berbagai penghargaan yang diterimanya karena prestasinya.
Apa yang perlu dicatat dari dua pendidikan dasar yang diikutinya adalah merupakan cikal bakal pembentukan embrio intelektualnya. Dengan dua pola pendidikan ini Nurcholish Madjid memiliki akses pada warisan klasik serta khazanah modernitas, yang pada akhirnya membentuk Nurcholis Madjid menjadi seorang neo modernisme sejati tentunya juga dibentuk oleh pengalaman ayah Nurcholish Madjid.
Kemudian setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya pada pesantren Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang (salah satu pesantren yang dikelola NU). Tetapi, studinya di pesantren ini tidak berlangsung lama kurang lebih berlangsung dua tahun. Dari pengakuan Nurcholish Madjid, ia mengungkapkan bahwa hal ini adalah sebagai dampak dari “ijtihad politik” ayahnya. Seperti telah dinyatakan diatas, bahwa ayah Nurcholish Madjid, K.H. Abdul Madjid, sebagai warga NU tetap memegang pilihan politisnya pada Masyumi (sebuah organisasi politik yang lebih didominasi oleh kalangan Islam modernis, yang pada awalnya juga merupakan pilihan politis warga NU), sementara tokoh-tokoh NU lainnya karena beberapa hal memilih keluar dari Masyumi. Pilihan politik ayah Nurcholis Madjid yang tetap berafiliasi ke Masyumi inilah, yang berbeda dengan tokoh-tokoh NU lainnya, membawa akibat pada kehadiran Nurcholish Madjid di pesantren Darul ‘Ulum dalam suasana permusuhan.
Dalam hal ini Nurcholish Madjid mengatakan, “ini anak Masyumi kesasar, begitu kata mereka saya sangat sedih sekali”. Kondisi konflik ini akhirnya membawa Nurcholis Madjid “nyantri” di Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (sekitar 120 km dari Jombang), sebuah pesantren yang relatif cukup memberikan nuansa pemikiran reformasi. Dengan semboyan “berfikir bebas setelah berbudi tinggi, berbadan sehat dan berpengetahuan luas”. Pesantren ini memiliki pendekatan modernis. Dengan menciptakan iklim berfikir kritis menghadapi pluralitas, tidak sektarian, tidak fanatik, dan menawarkan tata aturan sosial yang relatif modern (semangat pluralitas ini terlihat dari kitab fiqh yang menggunakan karya Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Mihayat al-Muqtasid (sebuah kitan fiqh perbandingan yang kejelasan dan kepraktisan belum ada duanya). Di samping itu adanya penekanan pada para santri untuk memahami dan menguasai bahasa Arab dan Inggris. Penekanan ini terlihat dengan ditetapkannya kedua bahasa tersebut sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Di pesantren inilah Nurcholish Madjid masuk ke KMI (Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah) dan tamat enam tahun kemudian (1960). Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya tersebut, sesuai tradisi pesantren Nurcholish Madjid masih sempat mengajar di pondok pesantren yang telah membesarkannya, kurang lebih satu tahun.
Di samping itu, sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa, selain dua model pendidikan (tradisional dan modern), yang juga turut membentuk intelektual Nurcholish Madjid adalah pengalaman-pengalaman sang ayah. Dengan tetap memilih Masyumi sebagai aspirasi politiknya, ayahnya juga sering berlangganan bulletin-bulletin dan majalah-majalah yang berisi pemikiran para tokoh Masyumi. Dengan demikian, menjadi hal yang sangat mungkin bagi Nurcholish Madjid untuk bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran para tokoh Masyumi tersebut. Proses ini tentu saja memberikan konstribusi yang cukup besar bagi pembentukan pola intelektual Nurcholish Madjid selanjutnya.
Berdasarkan latar belakang pendidikan pesantren, setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, kemudian Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikan tingginya di luar Jawa Timur. Lembaga pendidikan yang menjadi pilihannya adalah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta dengan pilihan pada Fakultas Adab jurusan Sejarah Kebudayaan Islam. Studi ini diselesaikannya pada tahun 1968 dengan magnum opus, al-Qur’an Arabiyan Lughatan Wa ‘Alamiyun Ma’naan. (Al Qur’an dilihat secara bahasa bersifat lokal, sedangkan dari segi isi bersifat universal). Pada masa studi di pendidikan tinggi inilah, selain aktif di bangku kuliah Nurcholis Madjid juga terlibat aktif dalam kegiatan organisasi di luar kampus. Ia menambah pengalaman organisasinya sekaligus berpartisipasi dalam sebuah organisasi Islam HMI, sebuah organisasi mahasiswa terbesar dan cukup solid pada masa itu. Kiprah awal Nurcholis Madjid di organisasi ini dimulai pada tahun 1963, kira-kira setelah empat semester dalam masa perkuliahan. Dimulai ditingkat cabang, Nurcholis Madjid sudah menunjukkan “kepiawaiannya” sebagai seorang leader, yang mengundang kekaguman para aktifis-aktifis lainnya, terlebih bila dilihat dari basis Nurcholish Madjid yang berasal dari IAIN Jakarta, suatu basis yang amat marginal pada saat itu. Karir organisasinya semakin menonjol, ketika di penghujung tahun 1966, HMI mengadakan kongres di kota Solo, dan beliau dicalonkan sebagai salah satu kandidat Ketua Umum PB HMI. Oleh karena citra kepemimpinannya yang menonjol dan moralitas personal yang kuat ia terpilih menjadi Ketua PB HMI. Bahkan Nurcholis Madjid terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971). Di samping itu, pada periode ini juga Nurcholish Madjid banyak menempati posisi formasi penting di organisasi kemahasiswaan dunia, antara lain, ia pernah menduduki Presiden PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, 1967-1969), juga menjadi Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Student Organization, 1969-1971).
Di samping mengabdi di almameternya, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholis Madjid juga menjadi staf peneliti LEKNAS / LIPI (Lembaga Penelitian Ilmiah indonesia). Sebagai peneliti ia tertarik untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu Tingkat Doktoral dengan pilihan studi pada Chicago University, Ibn Taymiyah on Kalam and Falsafah : Problem of Reason and Revolution in Islam.
Pretensi dari paparan singkat mengenai biografi intelektual Nurcholis Madjid diatas, sesungguhnya adalah ingin berbicara tentang lingkungan yang mempengaruhi Nurcholish Madjid. Apa yang bisa dikatakan disini adalah bahwa masa kecilnya berada dalam sebuah masa bergejolak secara sosial politik, lahir setengah dekade lebih sedikit sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia Nurcholish Madjid untuk ukuran sekarang, tentunya telah ikut merasakan transisi dan perubahan besar masyarakat Indonesia sebagai akibat dari peralihan pemerintah jajahan kepada pemerintahan bangsanya sendiri. Bagaimanapun juga, periode krusial yang tidak bisa (lagi) dialami oleh generasi pelanjut ini mempengaruhi kesadaran Nurcholish Madjid dan juga orang-orang yang segenerasi dengannya tentang arti dan dinamika sebuah masyarakat, seperti tercermin dalam pandangan-pandangan keagamaannya dewasa ini tentulah sedikit banyaknya terpengaruh pada pengalaman-pengalaman penting masa kecilnya.
 Corak Pemikiran Nurcholis Madjid
Kemunculan neo-modernisme yang dikembangkan Nurcholish Madjid dilatar belakangi oleh sejarah perkembangan umat Islam itu sendiri. Di satu pihak, Nurcholis Madjid melihat modernisme Islam yang lahir di awal abad XX, gagal mempertahankan kesegaran pemikiran-pemikiran “pembaharuannya”, ketika gerakan ini menjadi besar. Apa yang kemudian terjadi adalah kerutinan kerja mengolah dan menyelenggarakan lembaga-lembaga “pembaharuan secara amat praktikal”.
Kerutinan ini telah menyebabkan kesempatan untuk pengolahan intelektual relatif semakin menghilang. Sikap mereka yang menentang secara tegas pemikiran tradisionalis semakin memperkering inspirasi-inspirasi intelektual. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai gerakan pemikiran yang tegar, bahkan kaku. Sementara di pihak lainnya, tradisionalisme Islam cukup kaya dengan pemikiran Islam klasik. Akan tetapi justru karena kekayaan itu, para pendukung pola pemikiran ini menjadi sangat berorientasi pada masa lampau dan sempat selektif menerima gagasan-gagasan modernisasi. Akibatnya, perkembangan dan dinamika pemikiran di kalangan pendukung tradisionalme bergerak secara sangat lambat.
Dengan latar belakang semacam inilah pola pemikiran neo-modernisme muncul untuk menjembatani atau bahkan mengatasi dua pola pemikiran konvensional diatas. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, karakteristik pokok pada pola pemikiran neo-modernisme ini adalah suatu sikap untuk mengakomodasikan (menyediakan) dua kutub pemikiran sekaligus, yaitu modernisme dan tradisionalisme. Dalam konteks pemikiran sosial politik, sikap akomodasi terhadap modernisme dan tradisionalisme ini berpengaruh terhadap cara pandang Nurcholish Madjid dalam melihat hubungan antara umat islam dan negara. Di satu pihak, elemen-elemen sosial pemikiran politik modern yang bersifat universal diterima sebagai suatu kenyataan yang tidak terelakan dalam perkembangan politik masyarakat Indonesia. Tetapi di pihak lain, tradisi politik keagamaan yang bersifat lokal, juga dipergunakan dalam usaha menempatkan diri dalam sistem politik yang ditentukan oleh pemerintah. Sikap semacam ini memang relatif tidak terdapat dalam pemikiran-pemikiran modernis Islam di masa lalu, di sekitar tahun 1955-1959. Pandangan politik modernis dalam periode ini berusaha menempatkan Islam yang telah diramu dengan elemen-elemen pemikiran tradisional.  Dengan demikian, seperti juga telah disebutkan secara selintas diatas, pemikiran neo-modernisme Islam tentang masalah sosial politik terkonsentrasi terhadap upaya mendamaikan, atau menempatkan suatu hubungan yang harmonis antara cita-cita Islam dan umatnya dengan kenyataan, demi keamanan politik negara.

2.      Nilai-nilai Dasar Perjuangan
a.      Sejarah Perumusan Nilai-nilai Dasar Perjuangan
Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang merupakan salah satu naskah dotrin perjuangan bagi HMI, berada pada posisi yang cukup sentral. Berdasarkan analisa sejarah yang dilakukan oleh Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, beberapa faktor yang melatarbelakangi dirumuskannya NDP ada empat.
Pertama, pemahaman keislaman yang ada di Indonesia saat itu perlu untuk ditingkatkan, terutama di tingkatan masyarakat (termasuk pelajar dan mahasiswa Islam), mengingat penghayatan yang benar terhadap nilai-nilai Islam sangat perlu bagi masyarakat Indonesia.[1] Kedua, HMI belum memiliki sebuah naskah atau buku tentang Islam yang dijadikan sebagai pegangan perjuangan bagi kader-kadernya.[2] Ketiga, agar HMI memiliki panduan dalam memahami Islam dengan baik serta dapat menerjemahkannya dalam dimensi ruang dan waktu dalam bingkai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan.[3] Keempat, agar HMI memiliki suatu ideologi yang bertahan relatif lama antara 20 sampai 25 tahun.[4]
Berkaitan dengan faktor yang ketiga, dengan sangat jelas dapat ditemukan juga di dalam kata pengantar yang dituliskan oleh PB HMI dalam buku NDP,[5] yang menyebutkan adanya dua syarat bagi suksesnya perjuangan.[6]
Selain keempat faktor di atas, perumusan NDP juga sangat dipengaruhi oleh hasil dari perjalanan Nurcholis Madjid selama tiga bulan ke Timur Tengah. Nurcholis Madjid menyebut NDP sebagai kesimpulan dari perjalanannya tersebut.[7]
Selama perjalanannya di Timur Tengah, banyak hal yang ditemukannya, yang kemudian memberi inspirasi bahwa sepulang dari perjalanannya tersebut ia harus menulis sesuatu tentang nilai-nilai dasar Islam, yang kemudian ditulisnya pada bulan April.
Jika menggunakan nama “nilai-nilai dasar Islam”, menurut Nurcholis Madjid akan terkesan mengklaim terhadap Islam. Maka untuk menghindari kesan klaim terhadap Islam, Nurcholis Madjid mencari nama lain yang lebih sesuai dengan aktifitas sebagai mahasiswa Islam, dimana NDP itu nantinya akan diperuntukkan.
Mengenai nama NDP, Nurcholis Madjid mendapatkan inspirasi dari judul buku karya Willy Eicher, seorang ideolog Jerman, yang berjudul The Fundamental Values and Basic Demand of Democratic Socialism (Nilai-nilai Dasar dan Tuntutan-tuntutan Asasi Sosialisme Demokrat). Nurcholis mengambil kata “nilai-nilai dasar” nya. Sedangkan untuk kata “perjuangan”, Nurcholis mendapatkan inspirasi dari buku karya Syahrir yang berjudul “Perjuangan Kita”, yang ternyata buku tersebut, entah isi atau judulnya saja, meniru buku karya Hitler yang berjudul “Mein Kamf”.[8]
Tentang ideologi atau doktrin perjuangan, sebelum adanya NDP, HMI telah memiliki ideologi atau doktrin perjuangan. Ideologi HMI saat itu berupa kepribadian HMI dan Garis-garis Pokok Perjuangan. Keberadaan NDP tidak lain adalah untuk menyempurnakan keberadaan ideologi yang telah ada sebelumnya, juga sebagai suatu metodologi dalam memahami dan menghayati Islam sebagai dasar HMI.
NDP dirumuskan pada tahun 1969, kemudian disahkan pada Kongres ke-9 tahun 1969 di Malang. Pada Kongres tersebut sempat terdapat kesulitan dalam membahas NDP, dikarenakan cakupan persoalan yang dibahas di dalamnya terlalu luas sehingga tidak mungkin dibahas di forum Kongres. Maka Kongres memutuskan untuk menyerahkan tanggung jawab penyempurnaan naskah tersebut kepada tiga orang, yaitu Endang Saifuddin Anshari, Sakib Mahmud, dan Nurcholis Madjid sendiri.[9] Sehingga lahirlah NDP seperti yang sampai sekarang masih menjadi pegangan bagi kader HMI dan disampaikan sebagai salah satu materi pokok pada setiap jenjang training di HMI.[10]
Dalam perkembanganya, NDP mengalami beberapa perubahan. Perubahan pertama terjadi saat Kongres ke-16 di Padang tahun 1986, dan hanya namanya saja yang dirubah sementara seluruh isinya tetap. NDP dirubah nemanya menjadi Nilai Identitas Kader (NIK). Perubahan kedua terjadi saat Kongres ke-11 di Bogor tahun 1974, NDP yang semula dirubah menjadi NIK, dikembalikan lagi menjadi NDP. Perubahan ketiga terjadi saat Kongres-25 di Makasar tahun 2006, NDP dirubah isinya dan tanpa kata pengantar dari PB HMI tertanggal 31 Januari 1971.
Sejak Kongres ke-25 HMI di Makasar, HMI mulai memiliki dualisme NDP. Di satu pihak ada yang menggunakan NDP hasil Kongres Makasar, dan di lain pihak ada yang menggunakan NDP hasil Kongres Malang. Dualisme NDP tersebut berlangsung hingga Kongres ke-27 di Depok, yang memutuskan kembali kepada NDP hasil Kongres Malang. Kongres ke-26 di Palembang memutuskan memberikan waktu selama satu tahun kepada PB HMI untuk menyelesaikan polemik seputar dualisme NDP melaluui diadakannya forum-forum ilmiah. Sementara PB HMI berupaya menyelesaikan polemik dualisme yang ada, HMI diberikan kesempatan untuk menggunakan NDP dari kedua versi yang ada tersebut.[11]
Untuk dapat memahami NDP dan mengamalkan dengan benar, sedikitnya ada empat dokumen historis yang harus diketahui dan difahami. Keempat dokumen tersebut adalah latar belakang perumusan NDP yang ditulis oleh Nurcholis Madjid, Kata Pengantar PB HMI tertanggal 31 Januari 1971, Naskah NDP, dan sejarah NDP yang ditulis oleh Agussalim Sitompul.[12]

b.      Naskah Nilai-nilai Dasar Perjuangan

NDP NURCHOLIS MADJID VERSION
    A. DASAR-DASAR KEPERCAYAAN

    Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
    Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
    Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
    Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.

    Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada Tuhan" meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "Selain Allah" memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai - nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
    Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan denga insting dan indera.
    Sesuatu yang diperlukan itu adalah "Wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rosul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rosul dan nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rosul penghabisan, jadi tiada Rosul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rosul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
         Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran. Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti "kumpulan" atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain. Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah. Kemudian di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas menerangkan secara singkat ; katakanlah : "Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapa. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
    Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin, dan "kemanapun manusia berpaling maka disanalah wajah Tuhan". Dan "Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada". Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.
    Sebagai "yang pertama dan yang penghabisan", maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya ; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada "persetujuan" atau "ridhanya ". Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain).
    Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti. Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada diriNya dan teratur secara harmonis. Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya. Maka alam dapat dan dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku didalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri.
    Jika kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana. Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut daripada filsafat materialisme.
    Manusia adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi. Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan "Khalifah" atau wakil Tuhan di bumi. Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya. Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut "sejarah". Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau "rajanya".
    Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri. Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan. Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah "perubahan dan perkembangan", sebab : segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan olehNya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya. Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu. Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menunju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu. Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya.
    Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan ilmu. Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah). Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. Tuhan Allah Yang Maha Esa.
    Ini disebut "Tauhid" dan lawannya disebut "syirik" artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban, kemanusiaan menuju kebenaran.
    Sesudahnya atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja. Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab individu manusia yang bersifat mutlak dihadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah.
    Selanjutnya kiamat merupakan "hari agama", maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya / kehidupan akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-kejadiannya.

    B. PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR TENTANG KEMANUSIAAN
    Telah disebutkan di muka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief).
    "Dlamier" atau hati nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari mahluk-mahluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
    Kehidupan dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatanya. Nilai- nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang kongkrit. Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan. Hidup yang pernuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan-kemajuan baik yang mengenai alam maupun masyarakat yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya. Dia diliputi oleh semangatmencari kebaikan, keindahan dan kebenaran. Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan. Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (widom, hikmah).
    Dia berpengalaman luas, berpikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya. Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf. Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik daripada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.

    Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri,menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat, hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia.
    Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rokhani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akherat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran. Dia seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari pada kecenderungannya yang suci yang murni. Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberikannya kebahagiaan. Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan.
    Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.

    C. KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR) DAN KEHARUSAN UNIVERSAL (TAKDIR)
    Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang daripada kemauan baiknya. Keikhlasan adalah gambaran terpenting daripada kehidupan manusia sejati. Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (external) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akherat. Dalam aspek pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul secara individual, dan komunal sekaligus. Sedangkan dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, melainkan hanya menerima akibat baik dan buruknya dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akherat tidak terdapat pertanggung jawaban perseorangan (mutlak). Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup ditengah alam dan masyarakat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.
    Jadi individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir, dari pada kemanusiaan, serta letak kebenarannya daripada nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena individu adalah penanggung jawab terakhir dan mutlak daripada awal perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.
    Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari pada kemanusiaan. Kenyataan lain, sekalipun sifat sekunder , ialah bahwa individu dalam suatu hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup ditengah alam sebagai makhluk sosial hidup ditengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam kontek hidup ditengah masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam. Hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya "keharusan Universal " atau "kepastian hukum " dan takdir. 3) jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam kontek hidup di tengah alam dan masyarakat dimana terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukan, maka apakah bentuk yang harus dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya?

    Sudah tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif daripada kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kretif manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan "ikhtiar" artinya pilih merdeka.
    Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, manusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan pertanggung jawaban pribadi dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan dirinya sendiri. Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
    Manusia tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan diri karena suatu kemunduran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada dirinya sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang universal itu.

    D. KETUHANAN YANG MAHA ESA DAN KEMANUSIAAN
    Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tatapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
    Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu ?. Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.
    Dalam perbendaharaan kata dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai dengan uraian bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah. Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran. Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME. Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho" daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan.
    Kata "iman" berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan YME. Pelakunya disebut "Muslim". Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan YME. Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
    Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.
    Pembagian kemanusiaan tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain, ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi : manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri : jadi berlawanan dengan kemanusiaan.
    Oleh karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata. Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia "amal saleh" (harafiah: pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman. Jadi Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati. Oleh karena itu semangat Ketuhanan YME dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradabannya.
    "Syirik" merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan. Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik. Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya. Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
    "Musyrik" adalah pelaku daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan.
    Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan jiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan.
    Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan) maka kebutuhan menimbulkan sikap yang adil kepada manusia.

    E. INDIVIDU DAN MASYARAKAT
    Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih berharga daripada kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai mahkluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu. Maka dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya. Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri : sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial, dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda.
    Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian anggota saja. Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya. Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah mahkluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu. Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan, persamaan hak antara sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya dapat dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang, kemerdekaan tak terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya. Sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia.
    Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif, tetapi sejarah ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia.
    Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dalam hidup kemudian (sesudah sejarah). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan. Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan, jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong-royong ini ialah keistimewaan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang.

    F. KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
    Telah kita bicarakan tentang hubungan antara individu dengan masyarakat dimana kemerdekaan dan pembatas kemerdekaan saling bergantungan, dan dimana perbaikan kondisi masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika kemerdekaan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak terbatas) maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan bebas segala keinginan pribadinya. Akibatnya pertarungan keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dalam kekacauan atau anarchi. Sudah barang tentu menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan keadilan dalam masyarakat. Siapakah yang harus menegakkan keadilan dalam masyarakat? Sudah barang pasti ialah masyarakat sendiri, tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya satu kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan.
    Kualitas yang harus dipunyai, rasa kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran kecintaan yang tak terbatas pada Tuhan. Di samping itu diperlukan kecakapan yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pemimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.
    Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama berkewajiban menegakkan kadilan. Maksud semula dan fundamental daripada didirikannya negara dan pemerintah ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara daripada kemungkinan perusakkan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia sebaliknya setiap orang mengambil bagian pertanggungjawaban dalam masalah-masalah atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
    Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada didalamnya haruslah memerintah dan memimpin diri sendiri. Oleh karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaan atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu. Kekuatan yang sebenarnya didalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat.
    Menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu) adalah kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip kegotongroyongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan amanat rakyat kepada pemerintah yang musti dilaksanakan. Disadari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kapada pemerintah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (kebenaran mutlak). Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan YME.
    Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau pembagian kekeyaan diantara anggota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rejeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perjuangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi disatu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa dilain pihak. Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya yaitu bila sudah mencapai batas maksimal pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya.
    Dalam masyarakat yang tidak adil, kekeyaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun dalam kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku daripada kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada dipihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dan yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menag terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu disudahi dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam masyarakat.
    Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kapitalisme dengan mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka. Oleh karena itu menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat. Sesudah syirik kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan beserta penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan. Maka menegakkan keadilan inilah membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar ma'ruf) dan pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia kepada kebenaran asasinya dan rasa kemanusiaan (nahi munkar). Dengan perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi atau cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kamanusiaan diperbolehkan (yang ma'ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan).
    Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan prisip Ketuhanan YME, dalam hal ini pengakuan berketuhanan YME tetapi tidak melaksanakannya sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai yang tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata.
    Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaanya, tetapi justru dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan dan kapital itu selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan kebengisan.
    Oleh karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana diterapkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan andanya tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang kontinue, sebagai bentuk formil peringatan kepada tuhan. Sembahyang yang benar akan lebih efektif dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah kekejian dan kemungkaran. Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang benar. Sembahyang menyelesaikan masalah - masalah kehidupan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara instrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu kebutuhan sepiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak.
    Pengabdian yang tidak tersalurkan secara benar kepada tuhan YME tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain. Dan membahayakan kemanusiaan.
    Dalam hubungan itu telah terdahulu keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhadap kemanusiaan. Dalam masyarakat, yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan kaya dan miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas - batas kewajaran dan kemanusian dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan dibenarkannya pemilikan pribadi (Private ownership) atas harga kekayaan dan adanya perbedaan - perbedaan tak terhindar dari pada kemampuan - kemampuan pribadi, fisik maupun mental. Walaupun demikian usaha - usaha kearah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dipungut dari orang - orang kaya dalam jumlah presentase tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin.
    Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh secara benar, sah, dan halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, diman penindasan atas manusia oleh manusia dihapus.
    Sebagaimana ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika hanya digunakan hak itu tidak bertentangan, pemilikan pribadi menjadi batal dan pemerintah berhak mengajukan konfikasi.
    Seorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas - batas tertentu, yaitu dalam batas tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata - rata atau israf pertentangan dengan perikemanusiaan. Kemewahan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dalam masyarakat membuat akibat destruktif. Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat ( taqti) merusakkan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang dapat digunakan untuk manfaat bersama.
    Hal itu semuanya merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan. Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberikan bagian yang wajar dari padanya
    Pemilikan oleh seseorang (secara benar) hanya bersifat relatif sebagai mana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki tuhan, untuk kepentingan umum. Maka kalau terjadi kemiskinan, orang - orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang - orang kaya, terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga. Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana yang diperlukan oleh pribadi-pribadi agar diandan keluarganya dapat mengatur hidupnya secara terhormat sesuai dengan kainginan-keinginannya untuk dapat menerima tanggungjawab atas kegiatan-kegiatnnya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah pendidikan, kecakapan yang wajar kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.

    G. KEMAJUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
    Dari seluruh uraian yang telah di kemukakan , dapatlah dikumpulkan dengan pasti bahwa inti dari pada kemmanusiaan yang suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau Amal Saleh
    1). Iman dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa , serta menjadikanya satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap pri kemanusiaan. Sikap pri kemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang bersesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna untuk sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan manusia ?.
    Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula perjalanan ummat manusia atau sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu.
    Demikianlah segala sesuatu berubah, kecuali tujuan akhir dari segala yang ada yaitu kebenaran mutlak (Tuhan).
    2). Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan.
    3). Oleh karena itu manusia berikhtiar dan merdeka, ialah yang bergerak. Gerakan itu tidak lain dari pada gerak maju kedepan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak setatis. Dia bukanlah seorang tradisional, apalagi reaksioner.
    4). Dia menghendaki perubahan terus menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencarai kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan ditemukan didalam alam dari sejarah umt manusia.
    Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri.
     5). Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikan kepada kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa.
    6). Dengan iman dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi.
    7).Ilmu pengetahuan ialah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna dapat mengarahkanya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar dapat menguasai dan menggunakanya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi ummat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau rasio.
    8). Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap.
    9). Hukum sejarah yang tetap (sunatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya dengan menuruti hawa nafsu.
    10). Tetapi cara-cara perbaikan hidup sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang.
    11). Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya kearah kemajuan dan perbaikan.

    H. KESIMPULAN DAN PENUTUP
    Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sbb
    Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu mamancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya.
    Iman dan takwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan, ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang tuguh kepada kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara beribadah menjadi wewenang penuh dari pada agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat-ibadat yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan kedudukannya di tengahh alam dan masyarakat dan sesamanya. Ia telah melebihkan sehingga kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai mahluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain.
    Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yanag sungguh - sungguh secara essensial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang maupun waktu yang menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha - usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai - nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usaha itu ialah "amar ma'ruf , disamping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai - nilai kemanusiaan dan nahi mungkar. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha - usaha kearah penungkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.
    Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu sikap berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi dan oleh sikap yang tegas kepada musuh - musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.
    Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuang kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu, manusia harus mengetahui arah yang benar dari pada perkembangan peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan mengahancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahun harus didasari oleh sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan diantaranya yang terbaik.


3.      Tanggapan Penulis Terhadap Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP HMI)  Nurcholis Madjid
Pemikiran keislaman Caknur didalam NDP HMI dapat dilihat salah satunya dari sejauh mana HMI memahami dan mengembangkan NDP secara lebih luas dan kontekstual melalui dimensi ruang dan waktu yang ada. Sejak gerakan pembaruan pemikiran yang didengungkan oleh Nurcholis Madjid bersama yang lainnya, HMI telah mulai diidentikan dengan gerakan intelektual muslim pembaharu.
Bagi kalangan HMI, terutama saat ini, pemikiran keislaman Caknur didalam NDP HMI hampir selalu berangkat dari pemahamannya terhadap NDP. Sejauh mana pemahaman HMI terhadap NDP, maka sejauh itu juga pemikiran keislamannya. Bukan berarti NDP adalah sebuah konsep yang sudah selesai dan stagnan, sehingga dikataka sebagai barometer kualitas pemikiran keialsman HMI, bahkan pemikiran keindonesiaannya.
NDP HMI caknur version dilahirkan dari semangat yang tinggi dalam menyempurnakan kualitas HMI seryta sumbangsinya dalam pemikiran keislaman. NDP diharapkan mampu selain sebagai cara pandang HMI terhadap Islam, juga sebagai ideologi serta filsafat perubahan sosial. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi posisi, fungsi dan peran NDP, ia harus senantiasa dihadapkan dengan realitas kekinian. Melalui itu maka akan terlahir pemikiran-pemikiran baru, yang lebih segar dan kontekstual, namun tetap berada pada garis keislaman.
Kebutuhan HMI terhadap NDP sebagai cara pandang terhadap Islam, yang sekaligus sebagai penjelasan tentang Islam sebagai dasar HMI, adalah untuk membangun konsepsi yang sama terhadap Islam. Hal ini dikarenakan HMI adalah organisasi yang terbuka serta independen, sehingga membuka kemungkinan adanya kader yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Maka untuk itu dibutuhkan NDP Caknur  dalam posisinya sebagai cara pandang. Hal tersebut bukan berarti bahwa NDP Caknur  kemudian menegasikan adanya perbedaan. Karena NDP Caknur  hanya mengandung hal-hal atau pembahasan-pembahasan yang bersifat substantif dan universal, maka kemungkinan adanya pengebirian terhadap kemerdekaan dalam memberi interpretasi terhadap Islam sangat kecil, bahkan tidak ada. NDP Caknur  berbicara tentang nilai, tentang bagaimana memahami sebuah nilai, dan menghindari berbicara hal-hal yang bersifat teknis, yang seringkali perbedaan pendapat, bahkan pertentangan secara nyata terlahir dari hal-hal teknis tersebut.
Kemudian kebutuhan HMI terhadap NDP khusunya Caknur  vesrion dalam fungsinya sebagai ideologi dikarenakan sebagai organisasi perjuangan, maka dibutuhkan ideologi yang tepat dalam rangka mendukung perjuangannya. keberadaan ideologi menjadi sangat penting bagi HMI dikarenakan ideologi itulah nantinya, yag selain memberikan dorongan kepada tindakan sosial, juga berakibat kepada terjadinya perubahan sosial.
Ideologi, menurut Karl Mannheim, biasanya terkait dengan beberapa hal. Pertama, ideologi merupakan sistem-sistem gagasan yang umum atau luas. Kedua, ideologi seketika mengakar pada etika sosial. Ketiga, ideologi mengarahkan kepada tindakan sosial, ia bukan hanya sebatas menjernihkan atau menata pengetahuan. Keempat, ideologi merupakan sebab sekaligus akibat dari perubahan sosial yang mendasar.[13]
NDP Caknur  juga menjadi kebutuhan bagi HMI sebagai filsafat perubahan sosial. Melalui NDP, persoalan-persoalan sosial yang menyangkut teologi, sosial, politik, kebudayaan, ekonomi, dan pendidikan, dapat dibaca. Jika dari hasil pembacaan tersebut terdapat gejala-gejala yang mengindikasikan adanya persoalan, melalui NDP dengan dibantu oleh ilmu-ilmu sosial yang ada, dapat dirumuskan gagasan-gagasan baru sebagai jalan keluar.
Setiap bab yang terkandung di dalam NDP Caknur  , menyangkut tiga persoalan pokok, yang itu adalah esensi dari ajaran Islam. Jika dalam kenyataannya ketiga hal pokok tersebut diabaikan, maka masa depan umat manusia akan mengarah kepada kehancuran. Ketiga hal pokok tersebut adalah tauhid, kemanusiaan, dan keadilan.
Jika kita pelajarai NDP Caknur  secara keseluruhan serta nila-nilai yang terkandung di dalam NDP Caknur  . Maka setidaknya menurut penulis kedudukan serta pungsi NDP Caknur   dalam lingkup organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah sebagai berikut : 
1)      Nilai-nilai Dasar Perjuangan sebagai Cara Pandang HMI terhadap Islam
Islam adalah dasar perjuangan bagi HMI. Karena Islam adalah dasar perjuangan yang memuat ajaran pokok tentang keadilan dan usaha perbaikan masyarakat, Islam mebutuhkan penguraian yang lebih lanjut. Penguraian lebih lanjut tersebut membutuhkan cara pandang atau rumusan-rumusan sebagai hasil penafsiran terhadap ajaran-ajaran pokok agama Islam.
Dalam pemahamannya secar lebih luas, Islam adalah agama universal. Dikarenakan keuniversalannya, maka Islam mengandung pemaknaan yang luas dan dalam. Untuk dapat menerjemahkan prinsip-prinsip keuniversalan Islam di tengah-tengah masyarakat, maka dibutuhkan cara pandang yang benar dalam menafsirkan Islam.
Bagi organisasi mahasiswa yang merupakan alat dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam, HMI mencoba menghindari munculnya berbagai akibat yang tidak diharapkan dalam pelaksanaan ajaran agama Islam. Perbedaan pemahaman yang terdapat di dalam tubuh umat islam, yang seringkali berakibat kepada terjadinya pertikaian antar sesama, hanya akan merugikan umat Islam itu sendiri. Belum lagi jika pertikaian tersebut berujung kepada perpecahan dalam waktu panjang, yang disertai dengan sikap yang saling mengkafirkan. Tentu saja hal itu selain hanya akan menghambat perkembangan dan masa depan umat Islam, juga merugikan umat-umat dari agama yang lain.
Sikap merasa paling benar, mengancam umat lain yang dianggap sesat oleh kelompok lainnya yang berujung pada terciptanya perasaan takut dan terancam dalam menjalankan praktek-praktek ibadah, justru merupakan penodaan atau penistaan terhadap ajaran agama yang dianggap paling benar.
Di tengah kondisi sosial-keagamaan yang demikian, HMI memiliki peran dalam menjembatani adanya ketegangan yang ada. Tentu saja untuk dapat menjadi penengah, HMI harus memiliki pemahaman yang selain lebih luas juga yang dapat diterima oleh semua kalangan. Meskipun akan terdapat pendapat yang berbeda, ketika HMI dapat menyampaikan pemahamannya tentang Islam secar lebih bijaksana, akan dapat mencegah pertikaian umat.
Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa cara pandang keislaman HMI tidak jauh dari pemahaman HMI terhadap NDP Caknur  , seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Islam, yang dalam pandangan HMI, menurut cara pandangnya dengan menggunakan NDP, bukan sebatas agama yang terdiri dari simbol-simbol maupun ritual-ritual yang bersifat teknis.
Menurut cara pandang dengan menggunakan NDP, Islam lebih dikembalikan kepada substansi nilai-nilianya yang universal. Keuniversalan Islam tersebut yang lebih dipahami sebagai ajaran kebenaran, yang harus diaktualisasikan ke dalam segala bentuk tindakan di segala aspek. Pada hal teknis inilah, Islam kemudian mewujud ke dalam bentuk ritual-ritual yang selama ini ada. Ritual yang selama ini dilakukan oleh sebagian umat Islam, namun disertai dengan unsur-unsur yang di dalamnya mengacu kepada klaim kebenaran, bagi HMI bukalah Islam yang sesungguhnya. Sebab ketika terdapat klaim kebenaran, maka praktek-praktek keagamaan akan menjadi praktek-praktek yang berujung kepada kekerasan, teror, serta tindakan-tindakan negatif lainnya, yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Tindakan saling mengkafirkan, saling menghujat, bahkan saling membunuh di antara sesama kalangan umat Islam yang disebabkan hanya karena perbedaan pemahaman, bagi HMI, mereka bukanlah Islam. Justru ketika terdapat seseorang atau kelompok, yang secara formal bukan beragama Islam, pada dasarnya mereka dapat dikatakan sebagai seorang yang Islam. Islam dalam maknannya yang umum, yaitu sikap tunduh dan patuh kepada Tuhan, kepada nilai-nilai kebenaran. Sebagai contoh adalah, seorang non muslim yang berbuat baik serta berkomitmen terhadap nilai nilai seperti keadilan, kasih sayang, kemanusiaan, dan kejujuran, dia lebih islami jika dibandingkan dengan seorang muslim yang selalu menebar fitnah, teror, kebencian, dan membunuh sesamanya.
Secara genealogis, padangan HMI yang demikian sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Nurcholis Madjid tentang Islam, mengingat NDP sendiri sangat identik dengan Nurcholis Madjid. Pandangan Nurcholis Madjid tersebut juga sangat dipengaruhi oleh Ibnu Taymiyah yang membagi Islam menjadi dua, yaitu Islam umum dan Islam khusus.
Lebih lanjut Nurcholis Madjid memberikan penjelasan mengenai Islam sebagai sikap berserah diri kepada Tuhan berikut segala konsekwensinya. Sikap berserah diri kepada Tuhan tersebut, pada dasarnya merupakan inti dan hakekat semua agama serta keagamaan yang benar.[14]
Pandangan-pandangan Nurcholis Madjid yang sangat universal dan substantif mengenai Islam itulah, juga pandangan-pandangan para tokoh HMI mengenai hal yang sama, selanjutnya berpengaruh terhadap pola pikir HMI secara umum. Hampir semua pembahasan di dalam NDP Caknur  merupakan pandangan-pandangan yang lebih menitikberatkan aspek universalitas Islam.
Secara keseluruhan NDP Caknur  terdiri dari tujuh bab ditambah dengan bab penutup. Bab-bab di dalam NDP, jika disederhanakan hanya akan menyisakan empat prinsip pokok yang selanjutnya merupakan esensi ajaran Islam dalam pandangan HMI. Keempat prinsip pokok tersebut adalah tauhid, kemanusiaan, keadilan, dan kesatuan antara iman, ilmu, dan amal. Sebagaimana tertulis di dalam NDP pada paragraf terakhir pada bab penutup, di sana dituliska bahwa tugas hidup manusia pada dasarnya sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu, dan beramal. Prinsip terakhir itulah yang hingga hari ini menjadi semboyan keislaman HMI.[15]
Untuk dapat beriman, berilmu, dan beramal sebagai suatu bagian yang integral dalam diri seorang manusia, maka seorang manusia harus memahami secara benar hakekat ketuhanan, hakekat kemanusiaan, hakekat, keadilan, hakekat ilmu pengetahuan, serta hakekat pengamalan atas nilai-nilai tersebut. Jika pemahaman seseorang tentang Islam tidak mencakup pemahaman beberapa hal tersebut, apalagi hanya sepenggal-sepenggal, maka keislamannya tidak lebih dari sebatas formalitas.
Implikasi dari cara pandang keislaman yang demikian, akan menjadikan seseorang tidak terjebak kepada pemahaman yang sempit terhadap agama. Ketika berbicara tentang relasi antara Islam dan negara, maka seseorang dengan cara pandang demikian tidak terjebak kepada pendikotomian atau bahkan mempertentangkan kedua entitas tersebut. Beberapa persoalan tentang hubungan antara Islam dan negara, yang kemudian berujung kepada keinginan keras dalam hal bentuk negara apa yang akan diterapkan, tidak lain dikarenakan cara pandang tentang pemerintahan Islam yang masih sangat sempit.
Meskipun Islam tidak secara rinci menjelaskan persoalan mengenai negara, struktur-struktur, serta tata kelola di dalamnya, namun Islam memiliki dan telah memberikan landasan nilai bagi bentuk sebuah negara yang diharapkan. Seperti ungkapan Ibnu Taymiyah yang cukup terkenal, bahwa negara yang dipimpin oleh orang kafir namun berlaku adil lebih baik dari pada sebuah negara yang dipimpin oleh seorang muslim namun tidak adil. Dari ungkapan Ibnu Taymiyah tersebut sangat jelas bahwa Islam lebih menitiktekankan pada hal-hal yang berupa nilai. Adapun implementasi dari nilai tersebut bersifat dinamis dan disesuaikan dengan konteks serta kebutuhan yang ada. Sekalipun dinamis dalam penerapannya, namun tetap tidak boleh melenceng dari nilai-nilai yag ada.
Tidak hanya dalam kaitannya dengan aspek politik, dalam aspek-aspek yang lain pun, misalnya seperti aspek pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya, HMI menggunakan prnsip yang sama. Melalui prinsip atau cara pandang seperti itu, dalam setiap konteks yang ada, HMI lebih mengutamakan bagaimana terwujudnya keadilan, terjaganya kemanusiaan, terlestarikannya kejujuran, dan tercapainya kesejahteraan secara merata dari pada oleh siapa orientasi-orientasi tersebut dilakukan.
Demikianlah HMI, dengan NDP-nya yang disusun oleh Caknur  melihat Islam sebagai sikap tunduk kepada kebenaran, yang kemudian melahirka komitmen terhadap kebenaran tersebut tanpa menjadikan setiap perbedaan yang ada sebagai hal yang bertentangan. Bagi HMI, hal yang bertentangan adalah segala sesuatu yang bertolak belakang dengan prinsip ketundukan kepada kebenaran dan ketidakkomitmenan terhadap prinsip tersebut, sekalipun secara yuridis-formal segala sesuatu itu berlabelkan Islam.
Komitmen HMI terhadap Islam, meskipun dalam wilayah implementasinya tidak dapat dilepaskan dari beberapa kekurangan, telah menyiratkan pemikiran keislamannya. Sepanjang sejarah perjuangannya, sebagai acuan bagi HMI dalam pemahamannya terhadap Islam, NDP terlahir atas pengaruh dan juga sekaligus mempengaruhi sejarah perjuangan tersebut. Hal itu terutama ketika HMI berada pada era tahun 1970-an.
Posisi NDP Caknur   sebagai cara pandang keislaman HMI pada era 1970-an terlihat jelas ketika HMI menyikapi wacana pembaruan pemikiran dan ketika HMI dihadapkan kepada kebijakan pemerintah tentang azas tunggal Pancasila. Saat dimana HMI menerima segala resiko dalam usaha pembaruan pemikiran, juga saat dimana HMI menerima Pancasila sebagai azasnya, adalah bukti bahwa HMI telah berfikir secara substantif dan universal. Bagi HMI saat itu, pembaruan pemikiran adalah keniscayaan yang harus dilakukan. Maka meskipun resikonya adalah dianggapnya HMI sebagai agen pemikiran Barat, hal tersebut tidak menjadikan perjuangannya dalam memajukan Islam menyurut.
Demikian juga saat HMI harus mengalami konflik internal ketika mengganti azasnya menjadi Pancasila, pemikiran dan perjuangannya tetap tidak terpasung oleh strategi Orde Baru. Di satu sis HMI menerima Pancasila sebagai azasnya, namun di sisi lain HMI tetap ada sebagai sebuah organisasi yang sama sekali tidak berbeda dengan ketika dia berazaskan Islam. Pancasila yang secara formal menjadi azas, tidak masalah bagi HMI, selama secara hakekat Islam tetap menjadi ruh perjuangannya. Dalam hal itu HMI berusaha meletakkan Islam di hati, dan bukan di luar.
Penerimaan itu juga, dilandasi oleh pemikiran keislaman HMI yang telah sampai pada tahap matang. Dalam arti bahwa Islam harus mengindonesia dan Indonesia harus terislamkan meskipun tidak secara formal. Sebab bagi HMI Pancasila pada dasarnya adalah Islam, hanya bungkusnya saja yang berbeda. Kelima sila dalam Pancasila menurut HMI merupakan pengejawantahan nilai-nilai Islam, atau dapat dikatakan juga bahwa Pancasila itu adalah bentuk dari Islam yang mengindonesia.

2)      Nilai-nilai Dasar Perjuangan sebagai Ideologi
Setiap tujuan membutuhkan perjuangan, dan setiap perjuanga membutuhkan pengorbanan. Tidak semua organisasi perjuangan bersedia untuk secara ikhlas berkorban. Berkorban hanya akan dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang telah meyakini benar kebenaran dari makna dan orientasi perjuangannya. dengan keyakinan tersebut, akan timbul dorongan-dorongan, juga pembenaran-pembenaran atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam perjuangan tersebut.
Menurut Dahlan Ranuwiharjo, salah seorang tokoh HMI, ideologi adalah landasan gerak atau seperangkat nilai-nilai berdasarkan pandangan dunia (pandangan hidup) untuk mengatur kehidupan Negara dalam segi-seginya dan yang disusun dalam sebuah konstitusi berikut peraturan-peraturan dan implementasinya.[16] Dalam konteks organisasi seprti HMI, definisi ideologi yang diberikan oleh Dahlan Ranuwiharjo tersebut dapat diartikan sebagai landasan gerak atau nilai-nilai yang bersumber dari pandangan dunia untuk mengarahkan organisasi kepada tujuan perjuangannya. Ideologi tersebut, paling tidak harus dirumuskan kemudian disepakati bersama berikut tata penerapannya.
Pada wilayah ideologi, tauhid harus menjadi dasar utamanya (sumber). Bagaimana pemahaman kader maupun manusia secara umum tentang tauhid menjadi dasar dari epistemologinya. Sehingga dengan pengetahuan yang bersumber dari tauhid tersebut akan dapat menghasilkan pandangan dunia yang objektif. Ideologi sangat penting bagi perjuangan organisasi, sebab ideologi sebagai landasan setiap gerak yang akan diaktualisasikan.
Terdapat banyak sekali ideologi raksasa yang dengan segala unsur-unsurnya, juga memiliki orientasi dalam pencapaian tujuan. Misalnya saja liberalisme, kapitalisme, sosialisme, nasionalisme, dan lain-lain. Maka sebagai landasan gerak yang universal dan baku, tauhid adalah rujukan atau sumber utama bagi ideologi yang jelas, permanen dan selalu relevan.
HMI adalah organisasi perjuangan. Perjuangan HMI selain mengarah kepada apa yang menjadi tujuannya, tentu akan dihadapkan dengan banyak tantangan. Untuk dapat melewati setiap tantangan yang dihadapi, juga demi menjaga keberlangsungan perjuangannya, maka dibutuhkan ideologi. Seperti apa yang dijelaskan di atas sebagai definisi ideologi, maka NDP cukup relevan untuk dijadikan sebagai ideologi bagi HMI.
NDP Caknur  adalah rumusan-rumusan yang diolah berdasarkan pemahaman terhadap Islam sebagai sumber nilai. Islam yang mengandung  unsur-unsur tauhid, kemanusiaan, dan keadilan, kemudian dikontekstualisasikan dengan realitas yang ada dan difahami kembali untuk melahirkan landasan nilai dan seperangkat nilai bagi kebutuhan perjuangan organisasi. Maka dalam hal itulah, NDP adalah ideologi bagi HMI. Ketika terdapat pertanyaan mengapa bukan Islam saja sebagai ideologi bagi HMI, maka dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya HMI tetap berlandaskan Islam. Dan NDP Caknur  adalah penjelasan tentang Islam sebagai landasan HMI, yang mengandung rumusan-rumusan tertentu bagi kebutuhan perjuangan HMI.

3)      Nilai-nilai dasar Perjuangan NDP Caknur  sebagai Filsafat Perubahan Sosial
Bagai sebuah masyarakat, perubahan adalah suatu keniscayaan. Gerak dinamis sebuah masyarakat tertentu ke arah perubahan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. Perubahan yang dipengaruhi oleh faktor internal adalah perubahan yang disebabkan oleh segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri, yang biasanya atas kehendak masyarakat. sedangkan perubahan yang dipengaruhi oleh faktor eksternal adalah perubahan yang disebabkan adanya pengaruh dari luar, biasanya kondisi alam, lingkungan sekitar masyarakat, maupun segala sesuatu yang lain yang tidak dapat dikontrol oleh manusia.
Perubahan sosial tidak bisa berdiri sendiri, biasanya ia akan diikuti oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat yang berhubungan dengan perubahan itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, perubahan sosial yang terjadi biasanya diawali dari tingkat nasional yang kemudian akan mempengaruhi perubahan-perubahan yang lain pada tingkatan di bawahnya. Melalui salah satu karyanya, Selo Sumarjan membagi perubahan sosial menjadi dua sifat, yaitu perubahan sosial yang disengaja (intended) dan perubahan sosial yang tidak disengaja (unintended).[17] Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan bernegara, biasanya lebih bersifat intended, bahkan tidak jarang perubahan tersebut telah direncanakan sebelumnya. Berbeda lagi dengan perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Perubahan sosial yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat biasanya unintended. Oleh karena itu, seringkali perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, membuat masyarakat yang bersangkutan merasa bingung bahkan menentangnya. Hal ini disebabkan karena perubahan tersebut memang tidak pernah disengaja.[18]
Teori tentang perubahan sosial memang telah banyak dikemukakan oleh para tokoh sosial, juga para pelaku gerakan sosial. Teori perubahan sosial tersebut, juga perubahan sosial itu sendiri, tentu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Keniscayaan mengenai adanya perbedaan baik secara teoritik maupun praktek di dalam perubahan sosial sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa teori perubahan sosial, misalnya bisa didapati teori globalisasi, teori evolusi, modernisasi, lingkaran sejarah, materialisme historis, pembangunan, dan masih banyak lagi teori tentang perubahan sosial yang dapat digunakan dalam membaca, menyimpulkan, dan merencanakan serta bertindak untuk perubahan sosial.[19] Untuk dapat menghasilkan dan melakukan upaya gerakan sosial yang relevan dan efektif, harus memahami ilmu mengenai perubahan sosial. Bagaimana kondisi yang sebenarnya sedang berlangsung, kondisi yang ideal seperti apa, bagaimana cara untuk melakukan perubahan sosial, bagaimana mempertahankan atau menjadikan lebih baik perubahan sosial yang telah terwujud, kesemuanya terdapat di dalam ilmu atau teori tentang perubahan sosial.
Dalam konteks Indonesia hari ini, salah satu teori yang dapat diadaptasi untuk digunakan dalam membaca situasi yang ada, kemudian menyimpulkan atas apa yang terjadi, merencanakan tindakan yang akan dilakukan, dan bertindak, mungkin orang-orang seperti Karl Marx,[20] Talcot Parsons,[21] dan Selo Sumarjan,[22] cukup bisa dipinjam pemikirannya. Bahwa kondisi dan perubahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hari ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan yang menghendaki tercapainya kepentingan serta dapat dipertahankan, itu adalah benar. Di samping itu, setiap kondisi dan perubahan yang terjadi, pun terkadang juga dilatarbelakangi oleh faktor masyarakat yang ada di bawah. Perubahan sosial, selain bisa terjadi dengan disengaja, ia juga bisa tidak disengaja. Perubahan sosial, selain ia berangkat dan dimulai dari struktur atas, juga bisa berangkat dan dimulai oleh struktur yang ada di bawah. Dalam hal ini, kebudayaan, ekonomi, politik, dan pendidikan, tidak bisa dilupakan sebagai perangkat dan faktor terjadinya perubahan sosial.[23]
Sebagai salah satu contoh perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi setelah reformasi 1998. Meskipun tidak dapat dikatakan sepenuhnya berhasil, namun dalam beberapa hal, reformasi 1998 telah merubah beberapa hal di Indonesia. Misalnya saja kebebasan dalam mengemukakan pendapat yang sebelumnya sangat dibatasi bahkan diancam, setelah adanya gelombang reformasi kebebasan tersebut kini mulai dirasakan angin sejuknya. Selain itu, mulai semakin berimbangnya kekuatan antara Negara dan masyarakat dalam beberapa aspek, meskipun dalam beberapa hal yang lain Negara masih sangat dominan dan masyarakat tersubordinasi, juga sebagai salah satu bentuk dari perubahan sosial yang terjadi. Keseimbangan tersebut diakibatkan oleh salah satu faktor, misalnya karena adanya salah satu “partai politik penguasa”[24] yang dengan kebijakan pemerintah pada waktu itu mewajibkan beberapa kalangan maupun institusi untuk mendukung partai tersebut sehingga menjadi semakin kuatlah penguasa. Hal itu, setelah reformasi 1998 telah mulai hilang, digantikan dengan kebijakan untuk bebas dalam memilih partai politik di satu sisi, dan kebijakan untuk bersikap netral di sisi lain. Perubahan tersebut tentu selain berangkat dari atas, sebagai sebuah kebijakan pemerintah, juga karena dorongan dari bawah yang merasa selalu tertekan dengan kekuasaan yang dengan kekuatannya yang besar seringkali berlaku represif.
Dengan meminjam pikiran Selo Sumarjan tentang perubahan sosial, besar kemungkinan setiap perubahan sosial yang terjadi, atau bahkan kemungkinan akan terjadi, beserta gejalanya, akan dapat dibaca dan diprediksi. Sehingga perubahan sosial yang akan terjadi nantinya, benar-benar dapat dipersiapkan tindaklanjutnya. Akan menjadi lebih baik, ketika perubahan sosial yang nantinya akan terjadi, merupakan perubahan sosial yang disengaja, yang direncanakan, sehingga segala persiapan yang dibutuhkan telah benar-benar siap.
Gerakan sosial merupakan tindakan kolektif yang diorganisir secara longgar, tanpa cara terlembaga untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat mereka. Untuk mendefinisikan apa itu gerakan sosial, paling tidak haru mengandung beberapa komponen pokok diantaranya; kolektifitas orang yang bertindak bersama, tujuan bersama tindakannya adalah perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara yang sama, kolektifitasnya bersifat relative tersebar namun derajatnya lebih rendah daripada organisasi formal, serta tindakannya mempunyai derajat spontanitas yang relative tinggi namun tak terlembaga dan berbentuk tidak konvensional.[25] Gerakan sosial juga dapat diartikan sebagai; upaya kolektif untuk membangun tatanan kehidupan yang baru, upaya kolektif untuk mengubah tatanan sosial, upaya kolektif untuk mengubah norma dan nilai, tindakan kolektif berkelanjutan yang dilakukan untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau dalam kelompok yang menjadi bagian masyarakat itu, upaya kolektif untuk mengendalikan perubahan atau untuk mengubah arah perubahan.
Gerakan sosial menghasilkan perubahan (atau menghasilkan ‘pro status quo’ dalam arti tiadanya perubahan) yang arahnya satu dengan yang lainnya bisa berbeda, baik pada tataran ‘infra-struktur material’, ‘struktur sosial’ dan ‘struktur politik’ maupun pada tataran ‘supra-struktur ideologis.’ Hasil dari gerakan sosial dapat dilihat pada tiga tingkat yang saling berkaitan, yaitu: kebijakan publik, kebudayaan, dan partisipan. Ada dua komponen keberhasilan sehubungan dengan kebudayaan publik (baik yang bersifat substantif maupun simbolik), yakni: gerakan-penantang memperoleh pengakuan sebagai aktor politik yang absah, memperoleh manfaat-manfaat baru bagi dirinya sendiri dan bagi konstituensinya. Pada tingkat kebudayaan, gerakan sosial kontemporer terutama adalah agen dari perubahan kebudayaan, dan seringkali secara eksplisit ingin merubah kebudayaan dominan, sehingga kampanyenya memusatkan pada perubahan wacana mengenai topik khusus, penggugatan makna simbolik dari obyek, serta penjungkir-balikan norma-norma tingkah laku, dengan menjalankan strategi ‘menggembosi’ kebudayaan dominan, dan juga mengenalkan simbol-simbol baru, merekonsturksi wacana, dan menggelar norma-norma alternatif. Gerakan sosial mempengaruhi partisipannya lewat partisipasi mereka dalam gerakan, individu membangun perspektif-politis baru atas dunia dan jati diri mereka sendiri. Gerakan berupaya mengubah ‘kerangka’ itu lewat pandangannya tentang dunia, dan di dalam proses tindakan kollektif membangun dan melakukan pembatinan (internalisasi) jati-diri kollektif yang bersifat opposisional.[26]
Melalui beberapa definisi di atas, secara pokok, pada dasarnya gerakan sosial membutuhkan adanya tindakan kolektif serta mengarah kepada terwujudnya suatu perubahan. Telah banyak memang beberapa contoh gerakan sosial yang telah terjadi di beberapabelahan dunia dan dilakukan oleh beragam stake holder. Dari keseluruhan gerakan sosial yang ada tersebut, meskipun tidak secara keseluruhan dapat dikatakan berhasil, dalam arti lebih dari lima puluh persen mencapai target, namun tetap di beberapa aspek telah mampu mempengaruhi adanya suatu perubahan sosial. Dalam konteks Indonesia misalnya, perubahan sosial yang pernah ada selalu diawali oleh adanya kolektifitas gerakan yang mendorongnya. Kecil maupun besar kapasitas dari setiap gerakan sosial yang ada, biasanya sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya tekanan yang ada, dampak yang ditimbulkan, serta tingkat kesadaran masyarakatnya.
Perubahan sosial, mulai dari masa kemerdekaan, Orde Lama, Revolusi, Orde Baru dan Pembangunan, Reformasi, hingga masa demokrasi seperti hari ini, sekali lagi, tidak bisa dilepaskan dari peranan gerakan sosial. Gerakan sosial biasanya juga dilatarbelakangi oleh adanya ide serta tokoh yang menggerakkan. Melalui ide yang bersarang dalam fikiran sang tokoh, konsep mengenai gerakan sosial mulai berkembang kemudian keluar dan terdiasporasikan kepada individu-individu, kelompok-kelompok, institusi-institusi dan pada akhirnya akan mempengaruhi mereka. Pada akhirnya, konsep tersebut menjelma secara nyata dalam beragam bentuknya sehingga mendorong lahirnya sebuah perubahan.
Gerakan sosial, untuk dapat melahirkan hasil yang maksimal, selain kolektifitas pada nantinya, ia membutuhkan nilai dasar sebagai pondasi gerakannya. Di samping itu, ia juga akan membutuhkan cara, strategi, dan beranekaragam aksi nyata. Nilai dasar yang dibutuhkan oleh gerakan sosial, sehingga ia akan tetap mampu bertahan dalam jalur idealismenya, pada hakekatnya lahir dari sebuah keyakinan akan kebenaran. Keyakinan tersebut akan melahirkan cara pandang dan selanjutnya ideologi. Cara dan strategi dalam gerakan sosial biasanya dirumuskan bersaman -meskipun sifatnya lebih cenderung dinamis- dalam sebuah metodologi. Terakhir, setelah pondasi dasar gerakan sosial telah dibangun, metodologinya dianggap sudah sangat tepat, selanjutnya adalah tindakan nyata. Setiap gerakan sosial juga membutuhkan adanya refleksi, evaluasi dan proyeksi. Hal tersebut diperlukan demi terjaganya kualitas gerakan.
Hubungan antara HMI, gerakan sosial, dan perubahan sosial sudah sangat jelas tergambarkan melalui sejarah penjang keterlibatan HMI dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Meskipun demikian, agar perubahan sosial ke arah yang diharapkan dapat terwujud secara maksimal, maka dibutuhkan pandangan-pandangan yang tepat, jelas, dan terarah. Di samping itu, karena watak dari perubahan sosial itu sendiri yang terkadang tidak dapat diprediksi, terkadang juga beresiko terhadap upaya destruktif, maka dibutuhkan selain suatu pemahaman yang benar, juga kebijaksanaan dalam menghadapinya. Pada konteks inilah, pemikiran-pemikiran filosofis mengenai perubahan sosial dibutuhkan.
NDP Caknur  menjelaskan bagaimana kepercayaan adalah sesuatu yang menjadi kebutuhan bagi setiap manusia. Kepercayaan tersebut akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budaya manusia. Oleh karena itu, kepercayaa selain sebagai kebutuhan, dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Nilai-nilai yang bertolak dari kepercayaan yang benar tersebut, jika diterima oleh masyarakat kemudian menjadi ikatan dalam hubungan sosial, maka akan melahirkan suatu tatanan yang baik.
Pandangan yang demikian tentu tidak berhenti hanya sampai di situ. Dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, pandangan tersebut harus mampu melahirkan pemikiran-pemikiran baru guna sehingga mampu pesan perubahan. NDP Caknur  adalah nilai-nilai, maka untuk dapat menjadi relevan dengan kondisi sosial yang ada, ia harus dihadapkan dengan teori-teori sosial yang ada. Pertemuan antara NDP Caknur  dengan teori-teori sosial yang beraneka ragam, yang dihadapkan dengan kondisi serta gejala sosial tertentu, maka akan melahirkan suatu pemikiran atau perspektif baru. Pada konteks itulah, NDP dikatakan sebagai filsafat perubahan sosial.
Signifikansi NDP Caknur  bagi HMI dalam wilayah empirik selama ini telah mampu menjawab kebutuhan HMI dalam rangka menghadapi realitas sosial. Secara tekstual NDP adalah salah satu naskah doktrin perjuangan bagi HMI. Secara kontekstual, NDP berada pada posisi penting dengan fungsi dan perannya yang juga sangat penting. Untuk menjawab kebutuhan masyarakat khususnya umat Islam dalam mengembalikan segala persoalan kepada sumber-sumber Islam, NDP adalah cara pandang yang tepat bagi HMI dalam membantu melihat kembali Islam secara substantif dan proporsional. Sebagai perangkat nilai sekaligus pembenar bagi perjuangan HMI, NDP merupakan ideologi yang tauhidik dan inklusif. Dan dalam rangka mengantisipasi serta menjawab gejala perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, setiap kader HMI dapat menjadikan NDP sebagai filsafat perubahan sosial.



[1] Lihat Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai-nilai Dasar Perjuangan, (Jakarta: Penerbit Kultura, 2007), hlm. xxxi.
[2] Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI.., hlm. xxxi.
[3] Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI.., hlm. xxxi.
[4] Sholichin, HMI Candradimuka Mahasiswa.., hlm. 317.
[5] Diterbitkan tahun 1971 dengan ditandatangani oleh Nurcholis Madjid selaku Ketua Umum dan Ridwan Saidi selaku Sekretaris Jendral, dan hanya untuk kalangan HMI
[6] Lebih lengkapnya, di dalam kata pengantar tersebut dituliskan, “Dua syarat bagi suksesnya perjuangan ialah: (1) Keteguhan iman atau keyakinan kepada dasar, yaitu idealisme kuat, yang berarti harus memahami dasar perjuangan itu. (2) ketepatan penelaahan kepada medan perjuangan guna dapat menetapkan langkah-langkah yang harus ditempuh, berupa program perjuangan atau kerja, yaitu ilmu yang luas. Maka perumusan NDP ini adalah suatu usaha guna memenuhi syarat pertama tersebut”. Lihat PB HMI, Nilai-nilai Dasar Perjuangan (Jakarta: PB HMI, 1971), hlm. 4.
[7] Mengenai perjalanan Nurcholis Madjid, yang kemudian dikatakannya bahwa NDP adalah kesimpulan dari perjalanannya tersebut, lihat Nurcholis Madjid, “Gagasan dan Latar Belakang Perumusan NDP”, dalam Muchriji Fauzi dan Ade Komaruddin Mochamad (ed.), HMI Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Penerbit PT Gunung Kulabu, 1990), hlm. 9.
[8] Muchriji Fauzi dan Ade Komaruddin Mochamad (ed.), HMI Menjawab Tantangan.., hlm. 9.
[9] Muchriji Fauzi dan Ade Komaruddin Mochamad (ed.), HMI Menjawab Tantangan Zaman.., hlm. 9.
[10] Di HMI terdapat tiga jenjang training formal: Latihan Kader I (Basic Training), Latihan Kader II (Intermediate Training), dan Latihan Kader III (Advance Training). Selain training formal, di HMI juga terdapat training informal dan non formal, salah satunya adalah Senior Course, yang menjadi salah satu syarat bagi kader HMI untuk dapat menjadi instruktur training.
[11] Meskipun sebenarnya, jika dipahami secara bijaksana, sebenarnya tidak ada versi-versi di dalam NDP. Pada dasarnya, perdebatan itu hanyalah seputar metodologi. Karena menyangkut persoalan ideologi, maka dualisme tersebut terkesan panas.
[12] Sholichin, HMI Candradimuka Mahasiswa.., hlm. 314.
[13] Louis Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hal. 35.

[14] Lihat Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 4.
[15] Lihat PB HMI, Nilai-nilai Dasar Perjuangan, (Jakarta: PB HMI, 1971).
[16] A. Dahlan Ranuwiharjo, SH, Menuju Pejuang Paripurna, (Ternate: KAHMI Ternate, 2000), hlm. 105.
[17] Selo Sumarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981).
[18] Selo Sumarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981).
[19] Secara sederhana, baik gerakan sosial maupun perubahan sosial, khususnya pada diri pelakunya, akan melalui beberapa tahapan pokok, yaitu menganalisa, menyimpulkan, merencanakan, dan bertindak. Melalui salah satu karyanya, dengan menggunakan teori perubahan sosialnya Talcot Parsons, Selo Sumarjan dengan sangat jelas, gamblang dan tepat melaklukan eksplanasi terhadap perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta. Selain itu, Dawam raharjo juga pernah membuat karya yang cukup detil dan jelas dalam menjelaskan tahapan-tahapan perubahan sosial yang terjadi di Indonesia. Lihat, M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999). lihat juga, Islam dan Transformasi Budaya, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 2002).
[20] Karl Marx, Capital. Vols. 1, (New York: International Publisher Co,1978).
[21] Talcot Parsons, The Social System, (Glencoe: The Free Press, 1951).
[22] Selo Sumarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981).
[23] Piotr  Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2004), hal. 65-114.
[24] Yang dimaksud adalah partai Golongan Karya (Golkar). Pada masa Era Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto, Golkar merupakan mesin politik yang sangat kuat, karena didukung oleh Pegawai Negeri dan Militer. Pada waktu itu, pegawai negeri dan militer diwajibkan berpihak atau menjadi anggota maupun simpatisan golkar. Setelah Era Reformasi, keadan menjadi berubah, hari ini, Golkar bukan lagi menjadi milik pemerintah, meskipun masih ada beberapa sisa-sisa tradisi Orde Baru yang melekat tidak hanya pada partai Golkar, tetapi juga pada beberapa partai lain. Hal tersebut merupakan hasil dari strategi dan metode yang digunakan oleh Soeharto dalam memperbesar dan menjaga kekuasan serta kekuatannya, yaitu melalui hegemoni konsep “pembangunanisme” dan “Bapak-isme”. Mengenai mekanisme perubahan yang terjadi tersebut, dapat disimak misalnya dalam Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: INSIST Press, 2002),  Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci terhadap Teori Pembangunan Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
[25] Piotr  Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2004), hal. 325.
[26] Makalah MM Billah, Asas Gerakan, makalah pada Debt Campaign Training II yang diselenggarakan oleh kerja sama antara INFID Jakarta, YBKS Surakarta, dan Gerah Jabar pada tanggal 4-9 Maret 2002 di Hotel  & Restaurant Mega, Jl. Proklamasi 40 Jakarta. Pokok pikiran ini diberikan sebagai bahan bacaan peserta Pelatihan Key Figures PusHAM UII yang diselenggarakan di Tawangmangu, Solo pada tanggal 3-6 Agustus 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar