RESENSI
Judul Buku : Pergulatan Negara, Agama,
dan Kebudayaan
Judul Resensi Buku : Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan
Pengarang : Abdurrahman Wahid
Penerbit : DESANTARA
Tahun terbit : Agustus 2001
Kota terbit : Depok
Jumlah Halaman : 212 halaman
Resensi Buku Pergulatan Negara, Agama, dan
Kebudayaan karya Abdurrahman Wahid ini menceritakan tentang sebuah Negara yang tidak
pernah ada dan tidak seharusnya berurusan dengan kebudayaan. Karena kebudayaan
merupakan seni hidup (the art of living) atau kehidupan sosial manusiawi (human
social life) yang terbangun dari interaksi antar manusia; individu maupun
kelompok. Kebudayaan dengan demikian adalah representasi emansipasi manusia ke
arah yang lebih survive. Intervensi negara atas—meminjam istilah Gus Dur,
birokratisasi-kebudayaan hanya akan memutarnya ke arah kebalikan, yakni
pembekuan daya cipta masyarakat yang sedang berada dalam perubahan
besar-besaran.
Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat
terjadi dengan, pertama agama memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya,
nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah
bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol
agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren
dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat
menggantikan sitemnilai dan simbol agama.
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan,
yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali
terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial
adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi
realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata
sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi
merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu)
yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan
kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan
wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak
Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, bila
agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah)
anak tersebut, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan bacaan
barjanji memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang
sama, yaitu mendo”akan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan
harapan ketuhanan dan kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik
agama maupun budaya lokal dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan
dan cara pandang dalam menyikapi orang yang meninggal.
Oleh karena itu, biasanya terjadi dialektika antara
agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan,
sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang
dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi
ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat istiadat sering
dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat yang bersifat
absolut.
BIOGRAFI TOKOH
Gus Dur
adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang
Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara ocial Gus Dur adalah keturunan
“darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari,
pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di
Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah
adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek
dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU
setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu
dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada
tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya
diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah
ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang
terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah
dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri
agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama
Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan
dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di
rumahnya.
Sejak
masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan
mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung
jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya
mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu
tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami
kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian
ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam
kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan
pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di
Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah,
surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh
Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi
wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca ocial tidak luput dari
perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur
dan ocia. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk
menjadi komentator sepak bola di ociale. Kegemaran lainnya, yang ikut juga
melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan
apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada
tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa
remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua
tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya,
Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian
melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah
melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur.
Perkimpoiannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Pengalaman
Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah ocial membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan ocia klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai ocia klasik.
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah ocial membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan ocia klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai ocia klasik.
Setelah
lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di
Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama)
Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola
oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler.
Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa
terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan
tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang
yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada
K.H. Ma’shum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut
berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Setamat
dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa
Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh
dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan
ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah
bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan
keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa
seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran.
Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor
dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik
yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar
yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai
menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan
semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping,
jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas
sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi
di Pesantren Tegalrejo.
Setelah
menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke
Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20
tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi
seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur
berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan
ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai
di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas
al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di
sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah
ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering
mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan oci-toko
buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Meski
demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus
Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan
gelar ocial. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua
promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar
tersebut.
Perjalanan
Karir
Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri.
Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri.
Pada
tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di
Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai
sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi
keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus
Dur terlibat dalam kegiatan LSM.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia
merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya
sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan
perdebatan yang serius mengenai masalah agama, ocial dan politik dengan
berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius
menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik,
maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam
kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang
cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn
1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun
1986, 1987.
Pada
tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi
yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU
pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada
muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung
Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur
menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus
Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang
merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut
memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN ABDURRAHMAN
WAHID
A.
Agama dan Tantangan Kebudayaan
Hubungan
antara agama dengan kebudayaan merupakam sesuatu yang ambivalen. Di dalam
mengagungkan tuhan dan mengungkapkan rasa indah akan hubungan manusia dengan
Sang Khalik, agama-agama kerap menggunakan kebudayaan secara massif. Kita dapat
melihat hal ini, umpamanya, ikon-ikon, patung-patung, lukisan-lukisan atau
prosesi-prosesi saat penyaliban Isa Al-masih. Bahkan , drama politik
biasa-seperti terbunuhnya sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad di tangan anak
buah Yazid, yaitu Muslim bin Aqil, di kota Karbala (sekitar 150 km sebelah
barat daya Baghdad)-kadang-kadang diangkat menjadi peristiwa agama. Pada
tanggal 10 Muharram setiap tahun,peristiwa itu dirayakan secara besar-besaran,
dan jutaan orang datng untuk menyaksikan diperagakannya drama (prosesi)
berbagai tahap kehidupan Sayyidina Hussein (termasuk ketika dia dibunuh) di
berbagai bagian kota itu.
Kita dapat pula melihat jeni prosesi lain
seperti barongsai, yang sesungguhnya juga merupakan peristiwa agama. Ketika
sang Naga (dalam kepercayaan Kongfusian) berusaha menguber pusaka Cuk yang
bulat kecil dan kaya mutiara, maka disitu diperlambangkan sebuah pergulatan
antara keangkaramurkaan dan kearifan penguasa. Sementara iyu, di Bali atau
Malaysia, orang-orang Hindu selalu menggunakan salahsatu unsur budaya, yakni
seni, di dalam upacara keagamaannya.
Contoh diatas, menggambarkan bahwa aspek keindahan sengaja diperlihatkan sebagai upaya manusia untuk mengabadikan hal-hal yang dianggapnya paling menentukan di dalam kehidupannya. Dapat dikatakan bahwa unsur kebudayaan yang paling utama dalam kehidupan manusia ialah seni.
Contoh diatas, menggambarkan bahwa aspek keindahan sengaja diperlihatkan sebagai upaya manusia untuk mengabadikan hal-hal yang dianggapnya paling menentukan di dalam kehidupannya. Dapat dikatakan bahwa unsur kebudayaan yang paling utama dalam kehidupan manusia ialah seni.
Di
sisi lain,teologi, dalam usaha menerangkan adanya Tuhan, dan bagaimana
memfungsikan hubungan manusia dengan Tuhan, juga memakai unsur lain dari
kebudayaan, yaitu pemikiran-pemikiran filosofis. Refleksi filosofis (mengenai
agama) adalah sesuatu yang bersifat keagamaan. Di situ tampak bahwa kebudayaan
dimanfaatkan oleh agama, dan agama secara utuh.
Di
tengah-tengah suasana berlangsungnya wacana mengenai hubungan antara agama
dengan kebudayaan, di kalangan kaum muslimin kini muncul sebuah konsep ad-din.
Din adalah agama (a religion) dalam pengertian yang masih umum. Tetapi, jika
sudah menyebut langsung the religion (ad-din), maka yang ditunjuk oleh
pernyataan itu adalah Islam sebagai agama yang benar. Pernyataan ini mempunyai
pretense eksklusivitas. Dan dalam pendangan penganutnya, ekskluvitas Islam
sebagai ad-din merupakan satu hal yang baku dan utuh, tidak boleh
dipotong-potong.
Adalah
Abul A’la al-Maududi, seorang ulama asal India lalu tinggal di Pakistan, salah
seorang ulama dan pemikir muslim di abad ini, yang menyatakan bahwa Islam
adalah satu konsep hidu ad-din. Agama sebagai jalan hidup (way of life) tidak
boleh tunduk kepada yang lain, termasuk pada hokum Barat, di dalam proses-prose
bernegara.
Persoalan
pelik kini adalah: Bagaimana melerai ketegangan yang selalu dan sering terjadi
antara agama (sebagai jaringan aturan) dengan kebudayaan (sebagai proses
perubahan). Menurut saya, yang terpenting bagi Islam kini adalah bagaimana kita
membuat ukuran-ukuran mengenai apa yang harus dilakukan. (Tetapi, ironisnya,
ini saya katakana bukan di depan orang-orang Islam, karena orang Islam sendiri
belu tentu mau mendengarkannya).
Rumusan ukurannya sangat sederhana, yakni:
hal-hal yang mengagungkan (meninggikan martabat atau posisi) kemanusiaan
haruslah diutamakan. Manifestasinya adalah memelihara hak-hak azazi manusia,
dan mengembangkan struktur masyarakat yang adil di mana kaum muslimin hidup.
Gugus ukuran di atas berperan sebagai kuasi-norma (bukan norma, tetapi perannya
sama dengan norma). Kalau perkembangan zaman atau kebudayaan tidak sesuai
dengan ukuran itu, maka harus dihentikan. Juga sebaliknya, jika kebetulan
ajaran agama yang justru melakukannya, maka ukuran tadi pun mestinya
mngeremnya.
Kebebasan seksual
seperti di Amerika, misalnya, di mana mayoritas anak yang lahir di kalangan
orang hitam yang melarat berlangsung di luar perkawinan, harus di hentikan agar
“keterlanjuran” itu tidak menjadi berlarut-larut dan diteruskan dari generasi
ke generasi. Kondisi seperti itu sama sekali merendahkan martabat manusia.
Dalam “gaya” kehidupan tersebut, tidak ada potensi mereka untuk memelihara
kesucian, keluhuran pernikahan dan lambaga keluarga, dansebagainya. Pada sisi
lain,agama kadang kala juga harus mengalah. Kerap kali wawasan kemanusiaan yang
dikembangkan kebudayaan justru lebih menghargai martabat manusia.
Akhir
kata, sekali lagi yang terpenting bagi kita adalah mencari jalan tengah kala
menghadapi ketegangan antara agama dan kebudayaan. Ketegangan yang selalu
terjadi itu bukan sesuatu yang harus ditangisi dan disesali, karena justru
dapat memberikan peluang-peluang bagi kita untuk selalu berusaha
menjembataninya.
B.
Gerakan Islam dan Wawasan Kebangsaan
Wawasan
kebangsaan ternyata masih menjadi masalah yang memerlukan pemecahan bagi
gerakan Islam (Islamic movenments) di selruh dunia hingga penhujung abad ke-20
ini. Hubungan antara faham kebangsaan dan faham-faham lain. Apalagi yang
berbentuk ideology, memang senantiasa bersifat problematic. Hanya kapitalisme
sajalah yang mampu menundukkan wawasan kebangsaan kepada sebuah dimensii
tarnsisisonal, yaitu melalui komersalisasi kehidupan secara total kepada dalam
skala global.
Seperti
faham-faham di luar kapitalisme, islam sebagai sebuah konsep tentang cara hidup
juga tengah mengalami pergumulan dengan faham kebangsaan. Bahkan pergumulan itu
sendiri menimbulkan gambaran situasi hitam-putih yang sangat tajam,seperti
dalam bentuk perang delapan tahun antara Islamisme Iran dan nasionalisme Arab
yang dianut Irak di tahun delapan puluhan. Bahkan lebih jauh lagi
internasionalime Islam telah menampakkandiri dalam bentuk yang sangat nyata.
Ketidakmampuan
konsep Negara-bangsa (nation-state) untuk memerangi penyebaran narkotika
dikebanyakan Negara sebenarnya disebabkan oleh ketidaksediaan penyelanggara
Negara-negara untuk menyerahkan kedaulatan dalam penanganan masalah-masalah
criminal kepada badan-badan internasional. Demikian pula pengaturan secara
internasional atas pelecehan nilai-nilai moral melalui siaran-siaran langsung
televisi ataupun film dan bacaan pornografis, menunjukkan arogansi berlebihan
dari penerapan konsep Negara bangsa
secara tidak terkendali.
Rumitnya
hubungan antara Islam dan faham kebangsaan dapat dilihat dengan gamblang pada
kehidupan kaum muslimin di negeri-negeri yang memiliki minoritas penduduk
beragama Islam. Walaupun merupakan jumlah kedua terbesar dari penduduk secara
keseluruhan setelah Indonesia, kaum muslimin di India yang berjumlah sekitar
seratus juta jiwa justru sedang mengalami deraan luar biasa. Di satu pihak
mereka justru harus mengintegrasikan diri secara politis kepada
kelompok-kelompok sekuler, seperti Partai Kongres dan para pengikut V.P Singh
untuk menghindarkan penguasaan Negara oleh BJP (Bharata Janata Party) yang
menuntut Hindunisasi kehidupan bangsa India secara total. Walaupun pilihannya
sudah demikian jelas, batang tubuh gerakan Islam di India pada saat ini tetap
menemui kesulitan sangat besar untuk mengembangkan wawasan kebangsaan mereka
dalam pengaturan hidup mereka secara kolektif. Apalagi karena mereka dihadapkan
pada tindakan-tindakan lain yang sangat menyakitkan bagi kaum muslimin India.
Indonesia
pun telah mengalami pergulatan yang sama, terjadi pergumulan intern dalam
gerakan Islam di negeri ini, antara mereka yang ingin lebih memberlakukan
manifestasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang jelas warna Islamnya dan
mereka yang ingin memberlakukan Islam secara social-budaya dalam kehidupan
bangsa. Pandangan yang pertama itu lebih mementingkan pendekatan legal
formalistic terhadap Islam dalam arti pemberlakuan nilai-nilai Islam dalam
peraturan dan perundangan Negara secara bertahap. Argumentasi dari pandangan
ini adalah kenyataan bahwa Islam adalah agama yang dipeluk mayoritas bangsa,
dan oleh karenanya, ajaran-ajaran agama tersebut dapat saja dilegislasikan oleh
lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang mewakili kepantingan mayoritas bangsa
itu.
Tidak
hanya berhenti sampai di situ, para pendukung pandangan ini menuntut akses
lebih besar kapada jabatan-jabatan dan posisi-posisi pemerintahan bagi apa yang
mereka rumuskan sebagai wakil umat Islam, seolah-olah semua orang beragama
Islam yang berada dalam jabatan dan posisi pemerintahan selama ini tidak
mewakili kepentingan umat Islam, hanya karena mereka tidak berkiprah di
lingkungan gerakan Islam. Pandangan seperti ini mempunyai banyak kelemahan.
Yang paling mendasar adalah perbenturan antara kalim mereka untuk tetap setia
kepada UUD’45, sedangkan pada saat yang sama menginginkan legislasi ajaran
agama sebanyak mungkin. Jelas ini merupakan sikap kontradiktif, karena pada
dasarnya jaminan UUD’45 bagi kebebasan beragama, berfikir dan berpendapat,
persamaan di muka hukum hanya akan tercapai manakala Negara tidak mencampuri
urusan agama dan keyakinan warga Negara. Kecendrungan melegislasikan ajaran
agama betapa minimnya sekalipun, selalu akan membuat mereka yang berada di luar
lingkup perundangan itu sendiri menjadi warga Negara kelas dua, suatu hal yang
bertentangan dengan bunyi pasal-pasal UUD’45 sendiri. Kelemahan lain yang harus
dikemukakan di sini adalah sempitnya lingkup yang dijangkau oleh konsep umat
dan perwakilannya. Apakah mayoritas muslim di negeri ini yang sebenarnya adalah
muslim abangan harus diwakili oleh para pemimpin Islam dari kalangan santri ?
Kalau memang demikian, darimanakah mereka memperoleh legimitasi seperti ini?
Dan kapankah proses pemberian legitimasi diberikan? Kalau tidak ada jawaban
yang memuaskan dalam hal ini, bukanlah lalu terjadi pengambilan wewenang secara
tidak jelas, yang tidak lain akan berarti munculnya feodalisme baru yang
berkedok Islam.
Wawasan
kebangsaan yang timbul dari sikap ini adalah wawasan yang tidak terkeping
antara kubu santri dan kubu abangan atau kubu muslim dan non muslim, melinkan
dalam pencarian pola hidup yang lain. Nilai-nilai kehidupan bangsa tidaklah
harus diislamkan secara formal, melinkan dicarikan titik-titik persamaannya
dengan nilai-nilai universal yang diikuti dan diakui seluruh warga Negara.
Islam tidak lagi menjadi partikularisme yang menghardik wawasan-wawasan lain
yang telah ada, melainkan menjadi salah satu tiang penopang bersama sekian
banyak wawasan kebangsaan yang telah , sedang dan akan dikembangkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
C.
Dialog Iman dan Kebudayaan dalam Pandangan
Islam
Untuk
melihat problema yang dihadapi Islam dalam hubungan antara Iman dan kebudayaan,
haruslah dimengerti terlebih dahulu watak dasar dari Islam itu sendiri. Watak
dasar tersebut dapat dikemukakan dalam kenyataan, bahwa Islam adalah sebuah
agama hukun (religion of law), seperti juga halnya Judaisme. Hukum agama
diturunkan oleh Tuhan, melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad , untuk
dilaksanakan oleh kaum muslimin tanpa kecuali, dan tanpa dipotong-potong
sedikitpun. Dengan demikian, watka dasar Islam adalah pandangan yang serba
normatif dan orientasinya yang serba legal formalistic. Islam haruslah
dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat pada semua tingkatan.
Justru
pada watak dasar inilah terletak masalah dilematik yang dihadapi Islam dewasa
ini. Bahkan sebenarnya sejak dahulu, karena masalahnya juga sudah timbul sejak
awal kelahiran Islam sendiri: bagaimanakah kenyataan hidup yang berkembang di
masyarakat harus dipertemukan atau dipertautkan dengan norma-norma agama yang
demikian formalistik itu? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, berkembanglah dua
pandangan yang paling berbeda sejak masa dini Islam. Pandangan yang pertama menyatakan
bahwa dominasi harus dipegang oleh sumber-sumber tekstual, dalam hal ini kitab
suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi (dikenal juga dengan nama hadist). Sunnah Nabi
adalah segenap ucapan, perilaku dan ketetapan Nabi Muhammad di luar Al-Qur’an.
Kedua sumber tekstual tersebut adalah penentu, dan harus dipatuhi untuk segenap
tempat dan zaman, sehingga dengan keduanya bersifat normative. Pandangan kedua
mencoba mencarikan jalan keluar, dengan menempatkan kedua sumber tekstual itu
pada kedudukan yang seimbang dengan dua sumber hukum lain, yaitu consensus
ummat (ijma’) dan analogi (qiyas). Semua dianggap cukup memadai untuk
mendudukkan masalah dengan penempatan kedua sumber tekstual tersebut pada
kedudukan primus inter pares dengan kedua sumber non-tekstual yang lebih
belakangan ini. Cara demikian inilah yang kemudian dikenal dengan nama kalangan
ahlus sunnah wal-jama’ah, yang untuk mudahnya kemudian disebut kelompok atau
pandangan sunni.
Namun,
lambat laun pandangan sunni yang mencoba menyelaraskan antara sumber-sumber
tekstual dengan kenyataan di luarnya, akhirnya juga mengalami proses
formalisasi, dengan penetapan bahwa consensus juga bersifat normative, yaitu
sekali ia diputuskan maka tidak dapat diubah lagi. Dengan cara tersebut, maka
kedudukan consensus justru memperkuat sumber-sumber tekstual, dan hanya dalam
kasus terbataslah kemerdekaan untuk melakukan analogi dapat diperoleh. Hukum
agama kemudian menjadi sangat normative dan tidak mudah untuk disesuaikan
dengan kebutuhan masa dan kenyataan hidup yang ada. Untuk memungkinkan
pengembangan hukum agama, maka akhirnya dikembangkanlah oleh para pemikir Sunni
Klasik dua buah disiplin ilmu yang berusaha mencari cara melakukan rekonsiliasi
antara kenyataan yang ada dan sumber-sumber tekstual Islam. Kedua disiplin ilmu
tersebut adalah Ushul Fiqh (teori hukum agama) dan Qawa’idul Fiqh
(kaidah-kaidah hukum agama). Teori hukum berkenaan dengan cara-cara dan
sistematika mempergunakan sumber tekstual dan consensus. Sedangkan kaidah fiqh
adalah prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam kenyataan praktis untuk
memberikan keputusan hukum agama.
Bagaimanakah
jika dua buah diktrum tekstual saling bertentangan, manakah yang harus
didahulukan? Bagaimanakah dilakukan kategorisasi status suatu perbuatan dalam
pandangan hukum Islam (wajib,haram,diperkenankan dan sebagainya)? Kesemuanya
termasuk wewenang teori hukum agama yang dirintis pertama kali oleh imam
Syafi’I dua belas abad yang lalu, yaitu melalui karya agungnya, Al-Risalah.
Sebaliknya, kaidah hukum agama hanyalah berminat pada bagaimana sejumlah
prinsip diterapkan dalam pengambilan keputusan hukum, seprti kaidah keadaan
darurat memungkinkan pelaksanaan hal yang terlarang, yang disusul dengan kaidah
kebutuhan yang disamakan dengan keadaan darurat. Lambat laun, terjadilah proses
penyalahgunaan kedua perangkat ilmu tersebut, dan kaidah-kaidah hukum agama
diterapkan secara oportunistik dan manipulative, sehingga akhirnya muncul raksi
dalambentuk penegasan kembali legal-formalismeyang berbentuk ajakan untuk
kembali kepada kitab suci Al-Quran dan Hadist sebagai dua sumber yang memiliki
keabsahan. Dengan kata lain, kecendrungan skriptualistik untuk menggunakan
sumber-sumber tekstual secara harfiyah menetapkan keputusan hukum agama. Titik
perkembangan berikutnya adalah fundamentalisme Islam, dalam arti penolakan
terhadap semua upaya mencarikan rekonsiliasi antara wahyu dan kebutuhan hidup.
Situasi
dilematik inilah yang kini dihadapi oleh Islam dalam menghadapi kehidupan
kontemporer di kawasan manapun di dunia ini. Di satu pihak ada kecendrungan
cukup kuat untuk memberlakukan sumber-sumber tekstual secara harfiah, dan yang
termasuk dalam kelompok ini,mereka yang moderat maupun yang fundamentalistik.
Di sisi lain, juga berkembang keinginan untuk tidak langsung menerapkan
sumber-sumber tektual secara harfiah belaka, melainkan dengan mencari cara-cara
menyesuaikan sumber-sumber tekstual itu pada kenyataan yang ada.
Salah
satu cara untuk menerobos situasi dilematik tersebut dengan cara merumuskan
kembali kedudukan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut
perumusan ini,hukum Islam tidak dijadikan hukum nasional in toto. Hanya
partikel-patikel yang dapat diterima semuapihak sajalah yang diundangkan oleh
Negara, sedangkan selebihnya menjadi etika masyarakat bagi kaum muslimin. Cara
penerapan hukum Islam tersebut sebagai salah satu unsur pembentukan hukum dalam
konsep Negara-bangsa (nation state), merupakan kunci pemecahan masalah menurut
pandangan ini.
Tentu saja masalahnya tidak pecah
demikian saja, karena masih harus dihadapi pilihan-pilihan sulit bagi kaum
muslimin. Umpamanya saja, manakah batas antara yang hakikatnya falsafati,
seperti etika, dan agama sebagai wahyu? Manakah daerah sangga antara wahyu dan
filsafat, dan bagaimanakah dirumuskan proses saling memberi dan saling menerima
antara agama dan filsafat? Sebuah persoalan ini, adalah bagaimana etika
masyarakat memperlakukan ajaran agama sebagai sesuatu yang falsafati,dalam arti
tidak hanya memiliki sisi normative belaka, melainkan dengan norma-norma yang
menetap.
D.
Pribumisasi islam
Islam, Budaya dan Pribumisasi
Agama (Islam) dan budaya mempunyai
independensi masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih.
Bisa dibandingkan dengan independensi antara filsafat dan ilmu pengetahuan.
Orang tidak dapat berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan, tetapi tidak bisa
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat. Di antara keduanya terjadi
tumpang-tindih dan sekaligus perbedaan-perbedaan.
Agama (Islam) bersumberkan wahyu dan
memilki norma-norma sendiri. Karena bersifat normative, maka ia cenderung
menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah buatan manusia. Oleh sebab itu, ia
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk selalu berubah.
Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama
dalam bentuk budaya. Maka muncullah tari “seudati”, cara hidup santri, budaya
menghormati kiai dan sebagainya, dengan wawasan budaya dari agama secara
langsung diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat tanpa mempersoalkan
dalilnya. Umat Islam abangan yang menjauhi “ma lima” (mabuk, berjudi,
mencuri,berbuat amoral, menghisap ganja) belum tentu dengan alasan keagamaan
tetapi sangat boleh jadi karena alasan-alasan budaya, misalnya ketaatan kepada
kiai atau orang tua.
Tumpang tindih antara agama dan budaya
akan terjadi terus menerus sebagai suatau proses yang akan memperkaya kehidupan
dan membuatnya tidak gersang. Kekayaan variasi budaya akan memungkinkan adanya
persambungan antara berbagai kelompok atas dasar persamaan-persamaan, baik
persamaan agama maupun budaya. Upaya rekonsiliasi antara budaya dan agama bukan
karena kekhawatiran terjadinya ketegangan antara keduanya, sebab kalau manusia
dibiarkan pada fitrah rasionalnya, ketegangan seperti itu akan reda dengan
sendirinya. Sebagai contoh adalah redanya semangat ulama dalam mempersoalkan
rambut gondrong.
Pribumisasi Islam bukanlah
‘jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan local di dalam meremuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah
hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi
agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan
mempergunakan peluang-yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap
memberikan peranan kepada Ushl Fiqh dan Qaidah Fiqh. Sedangkan sinkreitisme
adalah usaha memadukan teologia atau system kepercayaan lama tentang sekian
banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan ghaib berikut dimensi eskatologisnya
dengan Islam, yang lalu membuat bentuk panteisme.
Pribumisasi Islam adalah bagian dari
sejarah Islam, baik di Negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk
Indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sebuah sungai besar yang terus mengalir
dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cabangan sehingga sungai itu semakin
membesar. Bergabungnya kali baru, berarti masuknya air baru yang mengubah warna
air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya , aliran sungai ini mungkin
terkena ‘limbah industri’ yang sangat kotor. Tapi tokh, tetap merupakan sungai
yang sama dan air yang lama maksud dari perumpamaan itu adalah bahwa proses
pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya
mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Sebagai contoh, pada mulanya
ditetapkan haramnya berjabatan tangan antara laki-laki dan perempuan yang
ajnabi. Ketentuan ini merupakan bagian dari keseluruhan perilaku atau akhlaq
orang Islam. Ketika ketentuan ini masuk ke Indonesia, masyarakatnya telah
memilki berbagai kebudayaan. Misalnya, adat Sunda mempunyai jabatan tangan
“ujung jari”. Setelah berjalan sekian abad, masuk pula budaya Barat dengan
jabatan tangannya yang tegas dan tak pilih-pilih. Hasilnya di masyarakat Islam
saat ini adalah sebagian mereka, termasuk para birokrat dalam bidang agama dan
para pemimpin organisasi, melakukan jabatan tangan dengan lawan jenis, sedang
para Kiai yang hidup dengan fiqh secara tuntas tetap bertahan untuk tidak
melakukannya. Lalu apakahh dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Islam telah
mengalami erosi di Indonesia? Jawabnya adalah “tidak”, sebab Islam sebagai
sebuah totalitas tetap berjalan seperti sediakala. Karena para pemeluknya tetap
melakukan sahalat, pergi ke masjid, membayar zakat, pergi ke madrasah, dan
sebagainya. Dengan kata lain, secara kultural kita melihat adanya perubahan
pada partikel-partikel dan tidak pada aliran besarnya.Umat Islam tetap melihat
berapacaran bebas model Barat sebagai tidak Islami dan berusaha agar anak-anak
mereka tidak melakukannya.
Fiqh
dan Adat
Di dalam ilmu fiqh dikenal kaidah
al-‘adah muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum). Di Indonesia telah lama
terjadi bahwa pembagian warisan antara suami-istri mendapatkan maukan berupa
dua model yang berasal dari adat, yaitu adat perpantangan di Banjarmasin dan
gono-gini di Yoya –solo yang pada perkembangannya juga menyebar di Jawa Timur.
Keduanya adalah respon masyarakat adat yang berada li luar lingkup pengaruh
kiai terhadap ketentuan nash dengan pemahaman lama yang merupakan pegangan para
kiai itu. Harta rumah tangga dianggap sebagai perolehan suami-istri secara bersama-sama,
yang karenanya mesti dipisahkan dulu sebelum diwariskan, ketika salah satu
suami/istri meninggal. Separoh dari harta itulah yang dibagi kepada para ahli
waris menurut hukum waris Islam, sedang separoh lainnya adalah milik
suami/istri yang masih hidup. Teknik demikian adalah perubahan mendasar
terhadap hukum waris, dan bentuk-bentuk penyesuaian seperti ini berjalan
semetara para ulama menyetujuinya, walaupun (sraya) tidak menganggapnya sebagai
cara pemecahan utama. Sebab pemecahan utama justru adalah seperti yang
ditentukan oleh syara’ secara apa adanya. Letak kemajuannya adalah bahwa
penyesuaian-penyesuaian seperti ini bukan hanya tidak diharamkan tetapi bahkan
dianggap sebagai aqnal qaulaini (pendapat dengan mutu nomor dua) dan tidak
dipersoalkan sebagai sesuatu yang mengganggu prinsip.
Dalam kaitannya dengan pernikahan
misalnya, sebenarnya rukun bagi sahnya hubungan suami-istri sangat sedikit,
yaitu ijab, qabul, saksi, dan wali. Sedang selebihnya diserahkan kepada adat,
misalnya tentang pelaksanaan upacara peresmiannya. Di sini adat berperan
sebagai penghubung pola-pola perilaku baru dengan tetap berpijak kepada
aturannormatif dari agama. Pola hubungan agama dan adat seperti ini sehat
sekali. Bahwa pakaian pengantin Jawa menampakkan bagian bahu mempelai wanita,
orang Islam tidak memandang hal itu sama ‘rusaknya’ dengan zina, durhaka kepada
orang tua, dan kejahatan-kejahatan berat lainnya. Kekurangan seperti itu
umumnya bisa dimaklumi sebagai bagian dari adat, selama syarat-syarat keagamaan
dari nikah dan pengaturan hubungan selanjutnya, seperti soal nafkah dan
kewajiban-kewajiban rumah tangga, masih diatur secara Islam. Sedangkan
manifestasi kulturalnya diserahkan kepada adat. Hal ini sudah bejalan beberapa
abad dan memang selalu ada perubahan-perubahan tanpa banyak menimbulkan reaksi
karena berjalan sendiri-sendiri . pola hubungan ini ditampung dalam al’adah
muhakkamah, sehingga adat istiadt bisa disantuni tanpa mengurangi sahnya perkawinan.
Akan tetapi harus disadari bahwa
penyesuaian ajaran Islam dengan kenyataan hidup hanya diperkenankan sepanjang
menyangkut sisi budaya. Dalam soal wali nikah, ayah angkat tetap bukan wali
nikah untuk anak angkatnya. Ketentuan ini adalah norma agama, bukan kebiasaan.
Ini jelas berbeda dengan cara penempatan siswa di sekolah-sekolah Tmur Tengah.
Di sana, siswa laki-laki dan perempuan tingakt SD, SMP, dan SMA ditempatkan di
ruangan terpisah dan baru boleh disatukan di tingkat perguruan tinggi.
Keputusan ini didasarkan atas anggapan bahwa para remaja umumnya kurang memiliki
pertimbangan dan sangat dipengaruhi nafsu. Kelemahan-kelemahan ini telah bisa
diatasi oleh mereka yang telah mengalami kedewasaan dan kematangan, yaitu pada
usia memasuki pergutuan tinggi. Cara ini bukanlah ketentuan agama, tapi logika
agama, yaitu campuran hukum agama dan logika. Dari sini bisa muncul adat
istiadat, dan adat pengaturan penempatan siswa seperti itu memang lalu mengeras
di Timur Tengah. Sebaliknya di Indonesia, ulama melihat dari sudut lain, yaitu
bahwa tidak ada tempat yang lebih aman daripada sekolah, meskipun belum sama
sekali memadai. Sehingga para ulama memperblehkan dimasukinya sekolah, meskipun
siswa dan siswi duduk dalam satu kelas (ko- edukasi).
E.
Bercocok
tanam di Surga
Al-Qur’an sendiri, sebagai sumber
utama pemikiran kaum muslimin dan sendi ajaran Islam, sebenarnya berwatak
lokal, penggambaran surga sebagai”susu dan madu yang mengalir bak sungai”,
buah-buahan yang didambakan oelh manusia penghuni padang pasir, dan
pengertian-pengertian bangsa Arab akan kehidupan, merupakan wahana utama untuk
menyampaikan pesan-pesan universal yang dibawakan Islam. Demikian pula hadist
Nabi, yang penuh dengan ungkapan-ungkapan bahasa Arab yang khas dari jazirah
Arabia, bukannya bahasa Arab yang difahami kawasan lain, seperti penggunaan
kata Arabiyyun untuk orang kampong dan contoh-contoh lain.
Tradisi itu diteruskan oleh para
ulama dan budayawan serta patron-patron mereka. Warna lokal dari kesenian Islam
sangat menonjol, demikian pula wawasan lokal dari pemikiran kaum muslimin
selama ini. Universalitas dicari pada keabadian pesan-pesan Islam bukan
manifestasi lahiriah dari kehidupan budaya masing-masing lokal. Karena itulah
yang muncul di jawa adalah kiai dan pesantren, bukannya syekh dan ma’had.
Jika kecenderungan formalisasi
ajaran Islam dalam budaya terlalu kuat, akibatnya adalah ketakutan luar biasa
kepada Islam, di kalangan mereka yang masih mementingkan warna lokal dari
kebudayaan nasional kita. Keanekaragaman budaya bangsa menjadi terancam oleh
munculnya “regimentasi oleh Islam”, sebagaimana sekarang kita rasakan ketakutan
kepada “regimentasi budaya feodalistik”. Karenanya, pengembangan kebudayaan
Islam di Indonesia haruslah memiliki arah yang jelas. Pengembangan itu harus
ditujukan kepada sikap keterbukaan antarbudaya, di mana antara Islam dan paham
yang pemikiran lain dan system budaya lain berlangsung proses saling mengambil
dan saling belajar. Konsekuensi logis dari keterbukaan seperti itu adalah
keharusan untuk mendudukkan Islam hanya sebagai factor penghubung antara
berbagai budaya lokal, dan melayani kesemua budaya lokal itu menumbuhkan
universalitas pandangan baru tanpa tercabut dan akar kesejarahan masing-masing.
Dan itu semua hanya dapat ditumbuhkan, kalau kebudayaan Islam justru
menumbuhkan dalam dirinya sendiri sebuah wawasan Nasional yang berpijak pada
bumi Nusantara, dan tidak terlalu banyak bepaling kepada kawasan lain. Tugas
yang berat, namun mulia.
Al-Qur’an menyatakan, “Barangsiapa
menginginkan panenan (baik) di akherat, akan Ku tambah panenannya itu (berlipat
ganda) (man kana yuridu hartal akhirah nazid lahu fi harthih)”. Timbul
pertanyaan, apakah gerangan yang dimaksudkan Allah di sini? Apakah kita masih
harus bekerja keras lagi, bercocok tanam di sawah pada hari akherat nanti?
Ternyata bukan begitu maksudnya.
Ayat itu berisi kiasan mereka yang beramal saleh dalam kehidupan dunia ini,
akan memperoleh imbalan sepadan di akherat kelak. Hanya saja, kiasannya di sini
bukan sembarang kiasan. Amal saleh dan imbalan atasnya adalah sesuatu yang
sentral dalam konsep Islam tentang kehidupan. Amal saleh termasuk dalam
kebajikan, bahasa sananya disebut ihsan. Sedangkan ihsan itu sendiri adalah
salah satu tingkatan, bahkan tingkatan tertinggi, dari kehidupan seorang
beragama Islam.
Mu’min artinya beriman, menunjukkan
taraf permulaan dari kesadaran beragama. Manusia meyakini adanya Allah sebagai
Tuhannya. Atas dasar itu, ia menempatkan dirinya dalam kedudukan menghamba
kepada Allah, yang demikian besar kekuasaan dan keagungan-Nya. Iman mendasari
segenap perilakunya, dan imanlah yang mengarahkan kehidupannya. Jika ia memang
benar beriman kepada Allah, tentulah ia akan tunduk kepada
perintah-perintah-Nya. Ketundukan seperti itu berarti Islam, penyarahan diri
kepada Allah melalui pengalaman semua perintah-perintah-Nya, dan upaya menjauhi
penyerahan diri dalam bentuk terkait dengan pelaksanaan perintah dan pencegahan
larangan Allah.
Kalau seseorang beriman secara penuh
kepada Allah, dan melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya,
dengan sendirinya ia menjadi mukmin (beriman) dan muslim (berserah diri) secara
bersamaan. Kedua hal itu akan membawanya kepada sikap bijak kepada semua
makhluk. Kalau sudah demikian, berarti ia memasuki tingkatan ihsan, tingkatan
kebajikan. Ia menjadi muhsin, orang yang berbuat kebajikan. Kesempuranaan
dirinya dalam beragama Islam. Ia menjadi muslim(karena beragama tertentu),
sekaligus muslim (karena agamanya memiliki daya tarik universal). Berarti ihsan
adalah tingkatan tertinggi dalam kehidupan beragama. Jiak demikian,amal saleh
yang didudukkan dalam tingakatan tertinggi kehidupan beragama itu, adalah tolok
ukur ketinggian derajat kerja bertani, di mata ayat yang disitir pada permulaan
renungan ini. Bertani sama dengan ihsan. Alangkah tingginya apresiasi AL-Quran
terhadap profesi bertani.
KOMENTAR
A.
Agama
dan Tantangan Kebudayaan
Saya setuju dengan pemikiran (alm)
Abdurrahman wahid yang mengatakan bahwa hubungan agama dengan kebudayaan
merupakan sesuatu yang ambivalen. Karena di dalam mengagungkan Tuhan dan mengungkapkan rasa indah akan hubungan manusia dengan Sang Khalik,
agama-agama kerap menggunakan kebudayaan secara massif.
Secara
sederhana, kebudayaan merupakan hasil cipta (serta akal budi) manusia untuk
memperbaiki, mempermudah, serta meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya.
Atau, kebudayaan adalah keseluruhan kemampuan (pikiran, kata, dan tindakan)
manusia yang digunakan untuk memahami serta berinteraksi dengan lingkungan dan
sesuai sikonnya. Kebudayaan berkembang sesuai atau karena adanya adaptasi
dengan lingkungan hidup dan kehidupan serta sikon manusia berada.
Di
samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam
interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut
tradisi. Tradisi biasanya dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami
sedikit modifikasi akibat pengaruh luar ke dalam komunitas yang menjalankan
tradisi tersebut. Misalnya pengaruh agama-agama ke dalam komunitas budaya (dan
tradisi) tertentu; banyak unsur-unsur kebudayaan (misalnya puisi-puisi, bahasa,
nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) di isi formula keagamaan sehingga
menghasilkan paduan atau sinkretis antara agama dan kebudayaan. Salah satu
contohnya peringatan 10 Muharram dalam kebudayaan Islam.
Ada
beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan, yaitu:
1. Sikap Radikal: Agama menentang
Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan
antara Agama dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon masyarakat
berlawanan dengan keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus
memilih Agama atau/dan Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat
mengabdi kepada dua tuan. Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur
kebudayaan harus ditolak ketika menjadi umat beragama.
2. Sikap Akomodasi: Agama Milik
Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara Agama dan kebudayaan.
3. Sikap Perpaduan: Agama di atas
Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan antara Agama dan
kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan
insani; manusia harus mempunyai dua tujuan sekaligus.
4. Sikap Pambaharuan: Agama
Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama harus memperbaharui
masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan
bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan
memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama mau
mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar
tidak bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan
masyarakat, maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh
sebab itu, upaya pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika
masyarakat lokal mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitas
sosio-kulturalnya, maka mereka wajib melakukan pembaharuan agar dapat diterima,
cocok, dan tepat ketika mengfungsikan atau menggunakannya.
Karena adanya aneka ragam bentuk hubungan Agama dan
Kebudayaan tersebut, maka solusi terbaik adalah perlu pertimbangan –
pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai ajaran agama). Dan untuk mencapai
hal tersebut tidak mudah.
B.
Gerakan Islam dan Wawasan Kebangsaan
Saya setuju
dengan pendapat beliau bahwasanya ,rumitnya hubungan antara Islam dan faham kebangsaan dapat dilihat
dengan gamblang pada kehidupan kaum muslimin di negeri-negeri yang memiliki
minoritas penduduk beragama Islam. Wawasan kebangsaan tersendiri menjadi
landasan dan orientasi dari kehidupan bermasyarakat, solusi permasalahan bangsa
dan kesetiaan terhadap empat konsensus tentang Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka
Tunggal Ika.
Dalam hubungannya Dien syamsuddin mengatakan “hubungan antara Islam dan negara adalah
hubungan yang simbiotik mutualisme. negara membutuhkan agama sebagai pijakan
moralitasnya, dan agama membutuhkan negara untuk mengembangkan agama dimaksud.”Indonesia
merupakan contoh model hubungan negara yang simbiotik mutualisme.
Dan menurut KH Sahal Mahfudz. “…NU berkeyakinan bahwa
syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui
institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syariah
terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasikan institusi.
Kehadiran institusi formal bukan jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syariah
di dalam masyarakat. Apalagi NU sudah berkesimpulan bahwa NKRI dengan dasar Pancasila
sudah merupakan bentuk final bagi bangsa Indonesia”.
C.
Dialog Iman dan Kebudayaan dalam Pandangan
Islam
Dalam pemikiran ini saya sependapat
dengan pemikiran beliau,bahwa
Islam adalah sebuah agama hukun (religion of law). Hukum agama diturunkan oleh Tuhan,
melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad , untuk dilaksanakan oleh
kaum muslimin tanpa kecuali, dan tanpa dipotong-potong sedikitpun. Dengan
demikian, watak dasar Islam adalah pandangan yang serba normatif dan
orientasinya yang serba legal formalistic. Islam haruslah dilaksanakan dalam
kehidupan bermasyarakat pada semua tingkatan.
Pandangan yang pertama menyatakan bahwa
dominasi harus dipegang oleh sumber-sumber tekstual, dalam hal ini kitab suci
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi (dikenal juga dengan nama hadist). Sunnah Nabi adalah
segenap ucapan, perilaku dan ketetapan Nabi Muhammad di luar Al-Qur’an. Kedua
sumber tekstual tersebut adalah penentu, dan harus dipatuhi untuk segenap
tempat dan zaman, sehingga dengan keduanya bersifat normative.
Dalam
al-Qur’an, yang merupakan kitab suci orang Islam, disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Islam sebagai agama ialah semua risalah keyakinan yang
diwahyukan oleh Allah s.w.t. kepada rasul-rasul-Nya seperti Nabi Adam a.s., Nuh
a.s., Ibrahim a.s., Musa a.s., Daud a.s., Isa Almasih dan Nabi Muhammad s.a.w.
Tiang utama ajaran Islam ialah iman dan amal saleh. Iman menunjuk kepada
kepersayaan dan kesaksian bahwa Tuhan itu Esa, yaitu Allah dan Dia itu Maha
Besar, Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang (al-rahman dan al-rahim),
tempat berlindung terakhir seluruh umat manusia, yang meliputi segala sesuatu
dengan ilmu dan kasih sayang-Nya.
Dalam kaitannya dengan pemikiran
Abdurrahman wahid bahwasanya agama islam itu merupakan sebuah system aqidah dan
syariah, yang pada hakikatnya sama dengan iman dan amal saleh. Iman atau
aqidah ibarat jiwa dan amal saleh atau syariah ibarat badan jasmani. Sedangkan
Tauhid, kesaksian bahwa Tuhan itu Esa, ibarat ruhnya yang bersemayam dalam
pusat jiwa. Iman atau aqidah tidak berubah, sedangkan amal saleh dan syariatnya
berubah dari rasul yang satu kepada rasul yang lain. Namun dengan datangnya
rasul terakhir, Nabi Muhammad s.a.w. asas-asas dan bangunan syariah Islam
tidak berubah lagi oleh karena, dalam keyakinan orang Islam, tidak ada lagi
rasul yang menerima wahyu dari Allah. Yang ada adalah para wali dan ulama yang
merupakan juru tafsir ajaran Rasulullah. Dalam kebudayaannya orang Islam
mengembangkan pandangan hidup, sistem nilai, gambaran dunia (weltanschauung),
sistem ilmu, pemikiran falsafah, cita rasa seni, pola pikir, gaya hidup dan
lain sebagainya melalui sarana-sarana tertentu yang dapat dijadikan saluran
untuk mengekspresikan dirinya dan mewujudkan pandangan dan cita-cita hidupnya.
Kebudayaan Islam juga dapat dinyatakan sebagai manifestasi keimanan dan
kebaktian penganut Islam kepada Tuhannya.
Kebudayaan
Islam memiliki penjelmaan yang aneka ragam, tetapi dipertalikan oleh iman atau
aqidah yang sama. Ismail Faruqi `berpendapat bahwa kebudayaan Islam ialah
segala sesuatu yang merupakan hasil budi nurani orang Islam yang mendasarkan
amal ibadah dan segala perbuatannya pada ajaran tauhid. Dengan kata lain,
kebudayaan Islam merupakan ungkapan tauhid dan tauhid adalah asas utama ajaran
Islam.
D.
Pribumisasi islam
Saya setuju dengan pendapat Bapak Abdurrahman
Wahid, beliau mengatakan bahwa Pribumisasi Islam bukanlah
‘jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan local di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah
hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi
agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan
mempergunakan peluang-yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap
memberikan peranan kepada Ushl Fiqh dan Qaidah Fiqh. Sedangkan sinkreitisme
adalah usaha memadukan teologia atau system kepercayaan lama tentang sekian
banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan ghaib berikut dimensi eskatologisnya
dengan Islam, yang lalu membuat bentuk panteisme. Pribumisasi Islam adalah
bagian dari sejarah Islam, baik di Negeri asalnya maupun di negeri lain,
termasuk Indonesia.
Pendapat
saya bahwasanya ujuan gagasan pribumisasi Islam adalah agar
terjadinya dialog Islam dan kebudayaan sehingga keduanya dapat saling menerima
dan memberi, saling mengisi. Meski
terdapat ketegangan di antara keduanya.Namun,hendaknya tidak ada upaya
penaklukan atau hubungan menang kalah dalam hal ini.Sebagaimana hal ini dapat
dibaca di tulisan tulisan Gus Dur sebelumnya terutama makalah Al-
qur`an dalam pemahaman konteks sosial baru dalam bukunya Muslim di Tengha
Pergumulan.
Terjadinya dialog antara
pendiri NU dengan tokoh nasionalis untuk mencari titik temu agama dan
faham kebangsaan merupakan realitas yang menarik.Apakah Islam dapat menerima
paham ini?.Dlm bahasa Ir.Soekarno presiden pertama RI,beliau
menerjamahkan makna nasiolisme dengan mengatakan nasionalismeku adalah
kemanusian.
Pada titik
inilah Gus Dur sering berbicara tentang prjuangn atas nama
kemanusiaan.Bahkan untuk membedakan tindakan agama dengan tindakan “bukan
agama” dilihat dari praktik dan sikap yang manusiawi.Jika suatu tindakan tidak
manusiawi terjadi dengan menggunakan atas nama agama,maka
jelaslah,bahwa itu sebenarnya bukan praktik keagamaan yang benar.Karena
itu Gus Dur terkenal dengan sifatnya yang humanis.
E.
Bercocok tanam di surga
Saya
setuju dengan pemikiran beliau tentang bercocok tanam di surga karena pemikiran
ini merupakan salah satu ajakan Tuhan terhadap manusia untuk memperbanyak amal
shaleh. Dan di dalam pemikiran beliau ini menceritakan tentang iman islam dan
ihsan tetapi di sini beliau lebih mengutamakan penjelasan ihsan tersendiri
karena ihsan itu merupakan tingkatan yang paling tertinggi bagi seseorang yang
beragama islam.
Bercocok tanam di surga itu merupakan penggambaran
akhlak seorang muslim yang memiliki sikap qona’ah yang artinya merasa cukup dan
akhlak tercela seperti rakus dan tamak,dan apa saja yang diinginkan di surga, dari
perkara-perkara dunia, maka hal itu sangat mungkin bisa terwujud. Dan pemikiran
ini ditegaskan pada sebuah hadist yang artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu bahwa sesungguhnya suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bercerita sedang di samping beliau ada seorang lelaki suku Badui, bahwasanya
seorang lelaki dari penghuni surga meminta izin kepada Tuhannya untuk bercocok
tanam. Allah swt. berfirman: “Bukankah kamu telah memperoleh apa yang kamu
kehendaki?” Laki-laki itu menjawab: “Tentu saja, akan tetapi saya senang
bercocok tanam.” Kemudian penghuni surga itu menaburkan benih, yang dalam
sekejap mata di hadapannya benih itu telah menjadi tanaman yang matang dan siap
dipanen. Tanaman tersebut terkumpul seperti gunung. Lalu Alloh swt. berkata:
“Ambillah wahai anak Adam! Sesungguhnya tidak ada yang bisa membuatmu kenyang.”
Orang Badui itu lalu berkata: “Demi Allah, aku tidak mendapati petani tersebut
kecuali orang Quraisy atau Anshar, karena mereka adalah orang-orang yang suka
bercocok tanam.” Mendengarkan perkataan tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tertawa. (HR Imam Bukhari).
Sebuah hadits yang harus dipahami oleh para
petani yang tangannya biasa belepotan lumpur tanah pertanian, yang sekujur
tubuhnya dipenuhi peluh bercucuran di bawah terik matahari, yang harus menunggu
dalam cemas penuh harap apa yang ditanamnya kelak bisa dipanen dengan hasil
yang melimpah. Sebuah hadits yang harus dipahami siapa saja, karena pada
hakikatnya tidak seorangpun manusia terlahirkan di muka bumi ini kecuali
padanya akan dijumpakan kesulitan demi kesulitan hidup.
Inilah sebuah hadits yang
sesungguhnya meyakinkan kita bahwa kelak segala kesulitan yang kita hadapi,
jalan-jalan terjal yang harus kita daki, musibah demi musibah yang harus kita
alami, semuanya akan berakhir dan bermuara pada suatu hari dimana segala
kesulitan itu akan kita dapatkan buahnya. Suatu hari dimana bahkan tidak ada
lagi kesulitan yang akan menimpa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar