Rabu, 16 Januari 2013

Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan "Abdurrahman Wahid"


RESENSI
Judul Buku                  : Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan
Judul Resensi Buku    : Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan
Pengarang                   : Abdurrahman Wahid
Penerbit                       : DESANTARA
Tahun terbit                 : Agustus 2001
Kota terbit                   : Depok
Jumlah Halaman          : 212 halaman
 Resensi Buku Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan karya Abdurrahman Wahid ini menceritakan tentang sebuah Negara yang tidak pernah ada dan tidak seharusnya berurusan dengan kebudayaan. Karena kebudayaan merupakan seni hidup (the art of living) atau kehidupan sosial manusiawi (human social life) yang terbangun dari interaksi antar manusia; individu maupun kelompok. Kebudayaan dengan demikian adalah representasi emansipasi manusia ke arah yang lebih survive. Intervensi negara atas—meminjam istilah Gus Dur, birokratisasi-kebudayaan hanya akan memutarnya ke arah kebalikan, yakni pembekuan daya cipta masyarakat yang sedang berada dalam perubahan besar-besaran.
Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbol agama.
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendo”akan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya lokal dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi orang yang meninggal.
Oleh karena itu, biasanya terjadi dialektika antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat yang bersifat absolut.





BIOGRAFI TOKOH
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara ocial Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.
Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca ocial tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan ocia. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di ociale. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkimpoiannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Pengalaman Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah ocial membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan ocia klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai ocia klasik.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’shum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan oci-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar ocial. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut.
Perjalanan Karir
Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, ocial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID
A.    Agama dan Tantangan Kebudayaan
            Hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakam sesuatu yang ambivalen. Di dalam mengagungkan tuhan dan mengungkapkan rasa indah akan hubungan manusia dengan Sang Khalik, agama-agama kerap menggunakan kebudayaan secara massif. Kita dapat melihat hal ini, umpamanya, ikon-ikon, patung-patung, lukisan-lukisan atau prosesi-prosesi saat penyaliban Isa Al-masih. Bahkan , drama politik biasa-seperti terbunuhnya sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad di tangan anak buah Yazid, yaitu Muslim bin Aqil, di kota Karbala (sekitar 150 km sebelah barat daya Baghdad)-kadang-kadang diangkat menjadi peristiwa agama. Pada tanggal 10 Muharram setiap tahun,peristiwa itu dirayakan secara besar-besaran, dan jutaan orang datng untuk menyaksikan diperagakannya drama (prosesi) berbagai tahap kehidupan Sayyidina Hussein (termasuk ketika dia dibunuh) di berbagai bagian kota itu.
Kita dapat pula melihat jeni prosesi lain seperti barongsai, yang sesungguhnya juga merupakan peristiwa agama. Ketika sang Naga (dalam kepercayaan Kongfusian) berusaha menguber pusaka Cuk yang bulat kecil dan kaya mutiara, maka disitu diperlambangkan sebuah pergulatan antara keangkaramurkaan dan kearifan penguasa. Sementara iyu, di Bali atau Malaysia, orang-orang Hindu selalu menggunakan salahsatu unsur budaya, yakni seni, di dalam upacara keagamaannya.
      Contoh diatas, menggambarkan bahwa aspek keindahan sengaja diperlihatkan sebagai upaya manusia untuk mengabadikan hal-hal yang dianggapnya paling menentukan di dalam kehidupannya. Dapat dikatakan bahwa unsur kebudayaan yang paling utama dalam kehidupan manusia ialah seni.
            Di sisi lain,teologi, dalam usaha menerangkan adanya Tuhan, dan bagaimana memfungsikan hubungan manusia dengan Tuhan, juga memakai unsur lain dari kebudayaan, yaitu pemikiran-pemikiran filosofis. Refleksi filosofis (mengenai agama) adalah sesuatu yang bersifat keagamaan. Di situ tampak bahwa kebudayaan dimanfaatkan oleh agama, dan agama secara utuh.
            Di tengah-tengah suasana berlangsungnya wacana mengenai hubungan antara agama dengan kebudayaan, di kalangan kaum muslimin kini muncul sebuah konsep ad-din. Din adalah agama (a religion) dalam pengertian yang masih umum. Tetapi, jika sudah menyebut langsung the religion (ad-din), maka yang ditunjuk oleh pernyataan itu adalah Islam sebagai agama yang benar. Pernyataan ini mempunyai pretense eksklusivitas. Dan dalam pendangan penganutnya, ekskluvitas Islam sebagai ad-din merupakan satu hal yang baku dan utuh, tidak boleh dipotong-potong.
            Adalah Abul A’la al-Maududi, seorang ulama asal India lalu tinggal di Pakistan, salah seorang ulama dan pemikir muslim di abad ini, yang menyatakan bahwa Islam adalah satu konsep hidu ad-din. Agama sebagai jalan hidup (way of life) tidak boleh tunduk kepada yang lain, termasuk pada hokum Barat, di dalam proses-prose bernegara.
            Persoalan pelik kini adalah: Bagaimana melerai ketegangan yang selalu dan sering terjadi antara agama (sebagai jaringan aturan) dengan kebudayaan (sebagai proses perubahan). Menurut saya, yang terpenting bagi Islam kini adalah bagaimana kita membuat ukuran-ukuran mengenai apa yang harus dilakukan. (Tetapi, ironisnya, ini saya katakana bukan di depan orang-orang Islam, karena orang Islam sendiri belu  tentu mau mendengarkannya).
             Rumusan ukurannya sangat sederhana, yakni: hal-hal yang mengagungkan (meninggikan martabat atau posisi) kemanusiaan haruslah diutamakan. Manifestasinya adalah memelihara hak-hak azazi manusia, dan mengembangkan struktur masyarakat yang adil di mana kaum muslimin hidup. Gugus ukuran di atas berperan sebagai kuasi-norma (bukan norma, tetapi perannya sama dengan norma). Kalau perkembangan zaman atau kebudayaan tidak sesuai dengan ukuran itu, maka harus dihentikan. Juga sebaliknya, jika kebetulan ajaran agama yang justru melakukannya, maka ukuran tadi pun mestinya mngeremnya.
            Kebebasan seksual seperti di Amerika, misalnya, di mana mayoritas anak yang lahir di kalangan orang hitam yang melarat berlangsung di luar perkawinan, harus di hentikan agar “keterlanjuran” itu tidak menjadi berlarut-larut dan diteruskan dari generasi ke generasi. Kondisi seperti itu sama sekali merendahkan martabat manusia. Dalam “gaya” kehidupan tersebut, tidak ada potensi mereka untuk memelihara kesucian, keluhuran pernikahan dan lambaga keluarga, dansebagainya. Pada sisi lain,agama kadang kala juga harus mengalah. Kerap kali wawasan kemanusiaan yang dikembangkan kebudayaan justru lebih menghargai martabat manusia.
            Akhir kata, sekali lagi yang terpenting bagi kita adalah mencari jalan tengah kala menghadapi ketegangan antara agama dan kebudayaan. Ketegangan yang selalu terjadi itu bukan sesuatu yang harus ditangisi dan disesali, karena justru dapat memberikan peluang-peluang bagi kita untuk selalu berusaha menjembataninya.
B.     Gerakan Islam dan Wawasan Kebangsaan
            Wawasan kebangsaan ternyata masih menjadi masalah yang memerlukan pemecahan bagi gerakan Islam (Islamic movenments) di selruh dunia hingga penhujung abad ke-20 ini. Hubungan antara faham kebangsaan dan faham-faham lain. Apalagi yang berbentuk ideology, memang senantiasa bersifat problematic. Hanya kapitalisme sajalah yang mampu menundukkan wawasan kebangsaan kepada sebuah dimensii tarnsisisonal, yaitu melalui komersalisasi kehidupan secara total kepada dalam skala global.
            Seperti faham-faham di luar kapitalisme, islam sebagai sebuah konsep tentang cara hidup juga tengah mengalami pergumulan dengan faham kebangsaan. Bahkan pergumulan itu sendiri menimbulkan gambaran situasi hitam-putih yang sangat tajam,seperti dalam bentuk perang delapan tahun antara Islamisme Iran dan nasionalisme Arab yang dianut Irak di tahun delapan puluhan. Bahkan lebih jauh lagi internasionalime Islam telah menampakkandiri dalam bentuk yang sangat nyata.
            Ketidakmampuan konsep Negara-bangsa (nation-state) untuk memerangi penyebaran narkotika dikebanyakan Negara sebenarnya disebabkan oleh ketidaksediaan penyelanggara Negara-negara untuk menyerahkan kedaulatan dalam penanganan masalah-masalah criminal kepada badan-badan internasional. Demikian pula pengaturan secara internasional atas pelecehan nilai-nilai moral melalui siaran-siaran langsung televisi ataupun film dan bacaan pornografis, menunjukkan arogansi berlebihan dari penerapan konsep  Negara bangsa secara tidak terkendali.
            Rumitnya hubungan antara Islam dan faham kebangsaan dapat dilihat dengan gamblang pada kehidupan kaum muslimin di negeri-negeri yang memiliki minoritas penduduk beragama Islam. Walaupun merupakan jumlah kedua terbesar dari penduduk secara keseluruhan setelah Indonesia, kaum muslimin di India yang berjumlah sekitar seratus juta jiwa justru sedang mengalami deraan luar biasa. Di satu pihak mereka justru harus mengintegrasikan diri secara politis kepada kelompok-kelompok sekuler, seperti Partai Kongres dan para pengikut V.P Singh untuk menghindarkan penguasaan Negara oleh BJP (Bharata Janata Party) yang menuntut Hindunisasi kehidupan bangsa India secara total. Walaupun pilihannya sudah demikian jelas, batang tubuh gerakan Islam di India pada saat ini tetap menemui kesulitan sangat besar untuk mengembangkan wawasan kebangsaan mereka dalam pengaturan hidup mereka secara kolektif. Apalagi karena mereka dihadapkan pada tindakan-tindakan lain yang sangat menyakitkan bagi kaum muslimin India.
            Indonesia pun telah mengalami pergulatan yang sama, terjadi pergumulan intern dalam gerakan Islam di negeri ini, antara mereka yang ingin lebih memberlakukan manifestasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang jelas warna Islamnya dan mereka yang ingin memberlakukan Islam secara social-budaya dalam kehidupan bangsa. Pandangan yang pertama itu lebih mementingkan pendekatan legal formalistic terhadap Islam dalam arti pemberlakuan nilai-nilai Islam dalam peraturan dan perundangan Negara secara bertahap. Argumentasi dari pandangan ini adalah kenyataan bahwa Islam adalah agama yang dipeluk mayoritas bangsa, dan oleh karenanya, ajaran-ajaran agama tersebut dapat saja dilegislasikan oleh lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang mewakili kepantingan mayoritas bangsa itu.
            Tidak hanya berhenti sampai di situ, para pendukung pandangan ini menuntut akses lebih besar kapada jabatan-jabatan dan posisi-posisi pemerintahan bagi apa yang mereka rumuskan sebagai wakil umat Islam, seolah-olah semua orang beragama Islam yang berada dalam jabatan dan posisi pemerintahan selama ini tidak mewakili kepentingan umat Islam, hanya karena mereka tidak berkiprah di lingkungan gerakan Islam. Pandangan seperti ini mempunyai banyak kelemahan. Yang paling mendasar adalah perbenturan antara kalim mereka untuk tetap setia kepada UUD’45, sedangkan pada saat yang sama menginginkan legislasi ajaran agama sebanyak mungkin. Jelas ini merupakan sikap kontradiktif, karena pada dasarnya jaminan UUD’45 bagi kebebasan beragama, berfikir dan berpendapat, persamaan di muka hukum hanya akan tercapai manakala Negara tidak mencampuri urusan agama dan keyakinan warga Negara. Kecendrungan melegislasikan ajaran agama betapa minimnya sekalipun, selalu akan membuat mereka yang berada di luar lingkup perundangan itu sendiri menjadi warga Negara kelas dua, suatu hal yang bertentangan dengan bunyi pasal-pasal UUD’45 sendiri. Kelemahan lain yang harus dikemukakan di sini adalah sempitnya lingkup yang dijangkau oleh konsep umat dan perwakilannya. Apakah mayoritas muslim di negeri ini yang sebenarnya adalah muslim abangan harus diwakili oleh para pemimpin Islam dari kalangan santri ? Kalau memang demikian, darimanakah mereka memperoleh legimitasi seperti ini? Dan kapankah proses pemberian legitimasi diberikan? Kalau tidak ada jawaban yang memuaskan dalam hal ini, bukanlah lalu terjadi pengambilan wewenang secara tidak jelas, yang tidak lain akan berarti munculnya feodalisme baru yang berkedok Islam.
            Wawasan kebangsaan yang timbul dari sikap ini adalah wawasan yang tidak terkeping antara kubu santri dan kubu abangan atau kubu muslim dan non muslim, melinkan dalam pencarian pola hidup yang lain. Nilai-nilai kehidupan bangsa tidaklah harus diislamkan secara formal, melinkan dicarikan titik-titik persamaannya dengan nilai-nilai universal yang diikuti dan diakui seluruh warga Negara. Islam tidak lagi menjadi partikularisme yang menghardik wawasan-wawasan lain yang telah ada, melainkan menjadi salah satu tiang penopang bersama sekian banyak wawasan kebangsaan yang telah , sedang dan akan dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
C.    Dialog Iman dan Kebudayaan dalam Pandangan Islam
            Untuk melihat problema yang dihadapi Islam dalam hubungan antara Iman dan kebudayaan, haruslah dimengerti terlebih dahulu watak dasar dari Islam itu sendiri. Watak dasar tersebut dapat dikemukakan dalam kenyataan, bahwa Islam adalah sebuah agama hukun (religion of law), seperti juga halnya Judaisme. Hukum agama diturunkan oleh Tuhan, melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad , untuk dilaksanakan oleh kaum muslimin tanpa kecuali, dan tanpa dipotong-potong sedikitpun. Dengan demikian, watka dasar Islam adalah pandangan yang serba normatif dan orientasinya yang serba legal formalistic. Islam haruslah dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat pada semua tingkatan.
            Justru pada watak dasar inilah terletak masalah dilematik yang dihadapi Islam dewasa ini. Bahkan sebenarnya sejak dahulu, karena masalahnya juga sudah timbul sejak awal kelahiran Islam sendiri: bagaimanakah kenyataan hidup yang berkembang di masyarakat harus dipertemukan atau dipertautkan dengan norma-norma agama yang demikian formalistik itu? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, berkembanglah dua pandangan yang paling berbeda sejak masa dini Islam. Pandangan yang pertama menyatakan bahwa dominasi harus dipegang oleh sumber-sumber tekstual, dalam hal ini kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi (dikenal juga dengan nama hadist). Sunnah Nabi adalah segenap ucapan, perilaku dan ketetapan Nabi Muhammad di luar Al-Qur’an. Kedua sumber tekstual tersebut adalah penentu, dan harus dipatuhi untuk segenap tempat dan zaman, sehingga dengan keduanya bersifat normative. Pandangan kedua mencoba mencarikan jalan keluar, dengan menempatkan kedua sumber tekstual itu pada kedudukan yang seimbang dengan dua sumber hukum lain, yaitu consensus ummat (ijma’) dan analogi (qiyas). Semua dianggap cukup memadai untuk mendudukkan masalah dengan penempatan kedua sumber tekstual tersebut pada kedudukan primus inter pares dengan kedua sumber non-tekstual yang lebih belakangan ini. Cara demikian inilah yang kemudian dikenal dengan nama kalangan ahlus sunnah wal-jama’ah, yang untuk mudahnya kemudian disebut kelompok atau pandangan sunni.
            Namun, lambat laun pandangan sunni yang mencoba menyelaraskan antara sumber-sumber tekstual dengan kenyataan di luarnya, akhirnya juga mengalami proses formalisasi, dengan penetapan bahwa consensus juga bersifat normative, yaitu sekali ia diputuskan maka tidak dapat diubah lagi. Dengan cara tersebut, maka kedudukan consensus justru memperkuat sumber-sumber tekstual, dan hanya dalam kasus terbataslah kemerdekaan untuk melakukan analogi dapat diperoleh. Hukum agama kemudian menjadi sangat normative dan tidak mudah untuk disesuaikan dengan kebutuhan masa dan kenyataan hidup yang ada. Untuk memungkinkan pengembangan hukum agama, maka akhirnya dikembangkanlah oleh para pemikir Sunni Klasik dua buah disiplin ilmu yang berusaha mencari cara melakukan rekonsiliasi antara kenyataan yang ada dan sumber-sumber tekstual Islam. Kedua disiplin ilmu tersebut adalah Ushul Fiqh (teori hukum agama) dan Qawa’idul Fiqh (kaidah-kaidah hukum agama). Teori hukum berkenaan dengan cara-cara dan sistematika mempergunakan sumber tekstual dan consensus. Sedangkan kaidah fiqh adalah prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam kenyataan praktis untuk memberikan keputusan hukum agama.
            Bagaimanakah jika dua buah diktrum tekstual saling bertentangan, manakah yang harus didahulukan? Bagaimanakah dilakukan kategorisasi status suatu perbuatan dalam pandangan hukum Islam (wajib,haram,diperkenankan dan sebagainya)? Kesemuanya termasuk wewenang teori hukum agama yang dirintis pertama kali oleh imam Syafi’I dua belas abad yang lalu, yaitu melalui karya agungnya, Al-Risalah. Sebaliknya, kaidah hukum agama hanyalah berminat pada bagaimana sejumlah prinsip diterapkan dalam pengambilan keputusan hukum, seprti kaidah keadaan darurat memungkinkan pelaksanaan hal yang terlarang, yang disusul dengan kaidah kebutuhan yang disamakan dengan keadaan darurat. Lambat laun, terjadilah proses penyalahgunaan kedua perangkat ilmu tersebut, dan kaidah-kaidah hukum agama diterapkan secara oportunistik dan manipulative, sehingga akhirnya muncul raksi dalambentuk penegasan kembali legal-formalismeyang berbentuk ajakan untuk kembali kepada kitab suci Al-Quran dan Hadist sebagai dua sumber yang memiliki keabsahan. Dengan kata lain, kecendrungan skriptualistik untuk menggunakan sumber-sumber tekstual secara harfiyah menetapkan keputusan hukum agama. Titik perkembangan berikutnya adalah fundamentalisme Islam, dalam arti penolakan terhadap semua upaya mencarikan rekonsiliasi antara wahyu dan kebutuhan hidup.
            Situasi dilematik inilah yang kini dihadapi oleh Islam dalam menghadapi kehidupan kontemporer di kawasan manapun di dunia ini. Di satu pihak ada kecendrungan cukup kuat untuk memberlakukan sumber-sumber tekstual secara harfiah, dan yang termasuk dalam kelompok ini,mereka yang moderat maupun yang fundamentalistik. Di sisi lain, juga berkembang keinginan untuk tidak langsung menerapkan sumber-sumber tektual secara harfiah belaka, melainkan dengan mencari cara-cara menyesuaikan sumber-sumber tekstual itu pada kenyataan yang ada.
            Salah satu cara untuk menerobos situasi dilematik tersebut dengan cara merumuskan kembali kedudukan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut perumusan ini,hukum Islam tidak dijadikan hukum nasional in toto. Hanya partikel-patikel yang dapat diterima semuapihak sajalah yang diundangkan oleh Negara, sedangkan selebihnya menjadi etika masyarakat bagi kaum muslimin. Cara penerapan hukum Islam tersebut sebagai salah satu unsur pembentukan hukum dalam konsep Negara-bangsa (nation state), merupakan kunci pemecahan masalah menurut pandangan ini.
            Tentu saja masalahnya tidak pecah demikian saja, karena masih harus dihadapi pilihan-pilihan sulit bagi kaum muslimin. Umpamanya saja, manakah batas antara yang hakikatnya falsafati, seperti etika, dan agama sebagai wahyu? Manakah daerah sangga antara wahyu dan filsafat, dan bagaimanakah dirumuskan proses saling memberi dan saling menerima antara agama dan filsafat? Sebuah persoalan ini, adalah bagaimana etika masyarakat memperlakukan ajaran agama sebagai sesuatu yang falsafati,dalam arti tidak hanya memiliki sisi normative belaka, melainkan dengan norma-norma yang menetap.
D.    Pribumisasi islam
Islam, Budaya dan Pribumisasi
            Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih. Bisa dibandingkan dengan independensi antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Orang tidak dapat berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat. Di antara keduanya terjadi tumpang-tindih dan sekaligus perbedaan-perbedaan.
            Agama (Islam) bersumberkan wahyu dan memilki norma-norma sendiri. Karena bersifat normative, maka ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah buatan manusia. Oleh sebab itu, ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Maka muncullah tari “seudati”, cara hidup santri, budaya menghormati kiai dan sebagainya, dengan wawasan budaya dari agama secara langsung diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat tanpa mempersoalkan dalilnya. Umat Islam abangan yang menjauhi “ma lima” (mabuk, berjudi, mencuri,berbuat amoral, menghisap ganja) belum tentu dengan alasan keagamaan tetapi sangat boleh jadi karena alasan-alasan budaya, misalnya ketaatan kepada kiai atau orang tua.
            Tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatau proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Kekayaan variasi budaya akan memungkinkan adanya persambungan antara berbagai kelompok atas dasar persamaan-persamaan, baik persamaan agama maupun budaya. Upaya rekonsiliasi antara budaya dan agama bukan karena kekhawatiran terjadinya ketegangan antara keduanya, sebab kalau manusia dibiarkan pada fitrah rasionalnya, ketegangan seperti itu akan reda dengan sendirinya. Sebagai contoh adalah redanya semangat ulama dalam mempersoalkan rambut gondrong.
            Pribumisasi Islam bukanlah ‘jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan local di dalam meremuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang-yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada Ushl Fiqh dan Qaidah Fiqh. Sedangkan sinkreitisme adalah usaha memadukan teologia atau system kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan ghaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang lalu membuat bentuk panteisme.
            Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di Negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sebuah sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cabangan sehingga sungai itu semakin membesar. Bergabungnya kali baru, berarti masuknya air baru yang mengubah warna air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya , aliran sungai ini mungkin terkena ‘limbah industri’ yang sangat kotor. Tapi tokh, tetap merupakan sungai yang sama dan air yang lama maksud dari perumpamaan itu adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Sebagai contoh, pada mulanya ditetapkan haramnya berjabatan tangan antara laki-laki dan perempuan yang ajnabi. Ketentuan ini merupakan bagian dari keseluruhan perilaku atau akhlaq orang Islam. Ketika ketentuan ini masuk ke Indonesia, masyarakatnya telah memilki berbagai kebudayaan. Misalnya, adat Sunda mempunyai jabatan tangan “ujung jari”. Setelah berjalan sekian abad, masuk pula budaya Barat dengan jabatan tangannya yang tegas dan tak pilih-pilih. Hasilnya di masyarakat Islam saat ini adalah sebagian mereka, termasuk para birokrat dalam bidang agama dan para pemimpin organisasi, melakukan jabatan tangan dengan lawan jenis, sedang para Kiai yang hidup dengan fiqh secara tuntas tetap bertahan untuk tidak melakukannya. Lalu apakahh dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Islam telah mengalami erosi di Indonesia? Jawabnya adalah “tidak”, sebab Islam sebagai sebuah totalitas tetap berjalan seperti sediakala. Karena para pemeluknya tetap melakukan sahalat, pergi ke masjid, membayar zakat, pergi ke madrasah, dan sebagainya. Dengan kata lain, secara kultural kita melihat adanya perubahan pada partikel-partikel dan tidak pada aliran besarnya.Umat Islam tetap melihat berapacaran bebas model Barat sebagai tidak Islami dan berusaha agar anak-anak mereka tidak melakukannya.
Fiqh dan Adat
            Di dalam ilmu fiqh dikenal kaidah al-‘adah muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum). Di Indonesia telah lama terjadi bahwa pembagian warisan antara suami-istri mendapatkan maukan berupa dua model yang berasal dari adat, yaitu adat perpantangan di Banjarmasin dan gono-gini di Yoya –solo yang pada perkembangannya juga menyebar di Jawa Timur. Keduanya adalah respon masyarakat adat yang berada li luar lingkup pengaruh kiai terhadap ketentuan nash dengan pemahaman lama yang merupakan pegangan para kiai itu. Harta rumah tangga dianggap sebagai perolehan suami-istri secara bersama-sama, yang karenanya mesti dipisahkan dulu sebelum diwariskan, ketika salah satu suami/istri meninggal. Separoh dari harta itulah yang dibagi kepada para ahli waris menurut hukum waris Islam, sedang separoh lainnya adalah milik suami/istri yang masih hidup. Teknik demikian adalah perubahan mendasar terhadap hukum waris, dan bentuk-bentuk penyesuaian seperti ini berjalan semetara para ulama menyetujuinya, walaupun (sraya) tidak menganggapnya sebagai cara pemecahan utama. Sebab pemecahan utama justru adalah seperti yang ditentukan oleh syara’ secara apa adanya. Letak kemajuannya adalah bahwa penyesuaian-penyesuaian seperti ini bukan hanya tidak diharamkan tetapi bahkan dianggap sebagai aqnal qaulaini (pendapat dengan mutu nomor dua) dan tidak dipersoalkan sebagai sesuatu yang mengganggu prinsip.
            Dalam kaitannya dengan pernikahan misalnya, sebenarnya rukun bagi sahnya hubungan suami-istri sangat sedikit, yaitu ijab, qabul, saksi, dan wali. Sedang selebihnya diserahkan kepada adat, misalnya tentang pelaksanaan upacara peresmiannya. Di sini adat berperan sebagai penghubung pola-pola perilaku baru dengan tetap berpijak kepada aturannormatif dari agama. Pola hubungan agama dan adat seperti ini sehat sekali. Bahwa pakaian pengantin Jawa menampakkan bagian bahu mempelai wanita, orang Islam tidak memandang hal itu sama ‘rusaknya’ dengan zina, durhaka kepada orang tua, dan kejahatan-kejahatan berat lainnya. Kekurangan seperti itu umumnya bisa dimaklumi sebagai bagian dari adat, selama syarat-syarat keagamaan dari nikah dan pengaturan hubungan selanjutnya, seperti soal nafkah dan kewajiban-kewajiban rumah tangga, masih diatur secara Islam. Sedangkan manifestasi kulturalnya diserahkan kepada adat. Hal ini sudah bejalan beberapa abad dan memang selalu ada perubahan-perubahan tanpa banyak menimbulkan reaksi karena berjalan sendiri-sendiri . pola hubungan ini ditampung dalam al’adah muhakkamah, sehingga adat istiadt bisa disantuni tanpa mengurangi sahnya perkawinan.
            Akan tetapi harus disadari bahwa penyesuaian ajaran Islam dengan kenyataan hidup hanya diperkenankan sepanjang menyangkut sisi budaya. Dalam soal wali nikah, ayah angkat tetap bukan wali nikah untuk anak angkatnya. Ketentuan ini adalah norma agama, bukan kebiasaan. Ini jelas berbeda dengan cara penempatan siswa di sekolah-sekolah Tmur Tengah. Di sana, siswa laki-laki dan perempuan tingakt SD, SMP, dan SMA ditempatkan di ruangan terpisah dan baru boleh disatukan di tingkat perguruan tinggi. Keputusan ini didasarkan atas anggapan bahwa para remaja umumnya kurang memiliki pertimbangan dan sangat dipengaruhi nafsu. Kelemahan-kelemahan ini telah bisa diatasi oleh mereka yang telah mengalami kedewasaan dan kematangan, yaitu pada usia memasuki pergutuan tinggi. Cara ini bukanlah ketentuan agama, tapi logika agama, yaitu campuran hukum agama dan logika. Dari sini bisa muncul adat istiadat, dan adat pengaturan penempatan siswa seperti itu memang lalu mengeras di Timur Tengah. Sebaliknya di Indonesia, ulama melihat dari sudut lain, yaitu bahwa tidak ada tempat yang lebih aman daripada sekolah, meskipun belum sama sekali memadai. Sehingga para ulama memperblehkan dimasukinya sekolah, meskipun siswa dan siswi duduk dalam satu kelas (ko- edukasi).
E.     Bercocok tanam di Surga
            Al-Qur’an sendiri, sebagai sumber utama pemikiran kaum muslimin dan sendi ajaran Islam, sebenarnya berwatak lokal, penggambaran surga sebagai”susu dan madu yang mengalir bak sungai”, buah-buahan yang didambakan oelh manusia penghuni padang pasir, dan pengertian-pengertian bangsa Arab akan kehidupan, merupakan wahana utama untuk menyampaikan pesan-pesan universal yang dibawakan Islam. Demikian pula hadist Nabi, yang penuh dengan ungkapan-ungkapan bahasa Arab yang khas dari jazirah Arabia, bukannya bahasa Arab yang difahami kawasan lain, seperti penggunaan kata Arabiyyun untuk orang kampong dan contoh-contoh lain.
            Tradisi itu diteruskan oleh para ulama dan budayawan serta patron-patron mereka. Warna lokal dari kesenian Islam sangat menonjol, demikian pula wawasan lokal dari pemikiran kaum muslimin selama ini. Universalitas dicari pada keabadian pesan-pesan Islam bukan manifestasi lahiriah dari kehidupan budaya masing-masing lokal. Karena itulah yang muncul di jawa adalah kiai dan pesantren, bukannya syekh dan ma’had.
            Jika kecenderungan formalisasi ajaran Islam dalam budaya terlalu kuat, akibatnya adalah ketakutan luar biasa kepada Islam, di kalangan mereka yang masih mementingkan warna lokal dari kebudayaan nasional kita. Keanekaragaman budaya bangsa menjadi terancam oleh munculnya “regimentasi oleh Islam”, sebagaimana sekarang kita rasakan ketakutan kepada “regimentasi budaya feodalistik”. Karenanya, pengembangan kebudayaan Islam di Indonesia haruslah memiliki arah yang jelas. Pengembangan itu harus ditujukan kepada sikap keterbukaan antarbudaya, di mana antara Islam dan paham yang pemikiran lain dan system budaya lain berlangsung proses saling mengambil dan saling belajar. Konsekuensi logis dari keterbukaan seperti itu adalah keharusan untuk mendudukkan Islam hanya sebagai factor penghubung antara berbagai budaya lokal, dan melayani kesemua budaya lokal itu menumbuhkan universalitas pandangan baru tanpa tercabut dan akar kesejarahan masing-masing. Dan itu semua hanya dapat ditumbuhkan, kalau kebudayaan Islam justru menumbuhkan dalam dirinya sendiri sebuah wawasan Nasional yang berpijak pada bumi Nusantara, dan tidak terlalu banyak bepaling kepada kawasan lain. Tugas yang berat, namun mulia.
            Al-Qur’an menyatakan, “Barangsiapa menginginkan panenan (baik) di akherat, akan Ku tambah panenannya itu (berlipat ganda) (man kana yuridu hartal akhirah nazid lahu fi harthih)”. Timbul pertanyaan, apakah gerangan yang dimaksudkan Allah di sini? Apakah kita masih harus bekerja keras lagi, bercocok tanam di sawah pada hari akherat nanti?
            Ternyata bukan begitu maksudnya. Ayat itu berisi kiasan mereka yang beramal saleh dalam kehidupan dunia ini, akan memperoleh imbalan sepadan di akherat kelak. Hanya saja, kiasannya di sini bukan sembarang kiasan. Amal saleh dan imbalan atasnya adalah sesuatu yang sentral dalam konsep Islam tentang kehidupan. Amal saleh termasuk dalam kebajikan, bahasa sananya disebut ihsan. Sedangkan ihsan itu sendiri adalah salah satu tingkatan, bahkan tingkatan tertinggi, dari kehidupan seorang beragama Islam.
            Mu’min artinya beriman, menunjukkan taraf permulaan dari kesadaran beragama. Manusia meyakini adanya Allah sebagai Tuhannya. Atas dasar itu, ia menempatkan dirinya dalam kedudukan menghamba kepada Allah, yang demikian besar kekuasaan dan keagungan-Nya. Iman mendasari segenap perilakunya, dan imanlah yang mengarahkan kehidupannya. Jika ia memang benar beriman kepada Allah, tentulah ia akan tunduk kepada perintah-perintah-Nya. Ketundukan seperti itu berarti Islam, penyarahan diri kepada Allah melalui pengalaman semua perintah-perintah-Nya, dan upaya menjauhi penyerahan diri dalam bentuk terkait dengan pelaksanaan perintah dan pencegahan larangan Allah.
            Kalau seseorang beriman secara penuh kepada Allah, dan melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, dengan sendirinya ia menjadi mukmin (beriman) dan muslim (berserah diri) secara bersamaan. Kedua hal itu akan membawanya kepada sikap bijak kepada semua makhluk. Kalau sudah demikian, berarti ia memasuki tingkatan ihsan, tingkatan kebajikan. Ia menjadi muhsin, orang yang berbuat kebajikan. Kesempuranaan dirinya dalam beragama Islam. Ia menjadi muslim(karena beragama tertentu), sekaligus muslim (karena agamanya memiliki daya tarik universal). Berarti ihsan adalah tingkatan tertinggi dalam kehidupan beragama. Jiak demikian,amal saleh yang didudukkan dalam tingakatan tertinggi kehidupan beragama itu, adalah tolok ukur ketinggian derajat kerja bertani, di mata ayat yang disitir pada permulaan renungan ini. Bertani sama dengan ihsan. Alangkah tingginya apresiasi AL-Quran terhadap profesi bertani.





KOMENTAR

A.    Agama dan Tantangan Kebudayaan
            Saya setuju dengan pemikiran (alm) Abdurrahman wahid yang mengatakan bahwa hubungan agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Karena di dalam mengagungkan Tuhan  dan mengungkapkan rasa indah akan hubungan manusia dengan Sang Khalik, agama-agama kerap menggunakan kebudayaan secara massif.
Secara sederhana, kebudayaan merupakan hasil cipta (serta akal budi) manusia untuk memperbaiki, mempermudah, serta meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Atau, kebudayaan adalah keseluruhan kemampuan (pikiran, kata, dan tindakan) manusia yang digunakan untuk memahami serta berinteraksi dengan lingkungan dan sesuai sikonnya. Kebudayaan berkembang sesuai atau karena adanya adaptasi dengan lingkungan hidup dan kehidupan serta sikon manusia berada.
Di samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi. Tradisi biasanya dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat pengaruh luar ke dalam komunitas yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya pengaruh agama-agama ke dalam komunitas budaya (dan tradisi) tertentu; banyak unsur-unsur kebudayaan (misalnya puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) di isi formula keagamaan sehingga menghasilkan paduan atau sinkretis antara agama dan kebudayaan. Salah satu contohnya peringatan 10 Muharram dalam kebudayaan Islam.
Ada beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan, yaitu:
1.      Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan antara Agama dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon masyarakat berlawanan dengan keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus memilih Agama  atau/dan Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika menjadi umat beragama.
2.      Sikap Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara Agama dan kebudayaan.
3.      Sikap Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan insani; manusia harus mempunyai dua tujuan sekaligus.
4.      Sikap Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama harus memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama mau mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitas sosio-kulturalnya, maka mereka wajib melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika mengfungsikan atau menggunakannya.
Karena adanya aneka ragam bentuk hubungan Agama dan Kebudayaan tersebut, maka solusi terbaik adalah perlu pertimbangan – pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai ajaran agama). Dan untuk mencapai hal tersebut tidak mudah.
B.     Gerakan Islam dan Wawasan Kebangsaan
            Saya setuju dengan pendapat beliau bahwasanya ,rumitnya hubungan antara Islam dan faham kebangsaan dapat dilihat dengan gamblang pada kehidupan kaum muslimin di negeri-negeri yang memiliki minoritas penduduk beragama Islam. Wawasan kebangsaan tersendiri menjadi landasan dan orientasi dari kehidupan bermasyarakat, solusi permasalahan bangsa dan kesetiaan terhadap empat konsensus tentang Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam hubungannya Dien syamsuddin mengatakan  “hubungan antara Islam dan negara adalah hubungan yang simbiotik mutualisme. negara membutuhkan agama sebagai pijakan moralitasnya, dan agama membutuhkan negara untuk mengembangkan agama dimaksud.”Indonesia merupakan contoh model hubungan negara yang simbiotik mutualisme.
Dan menurut  KH Sahal Mahfudz. “…NU berkeyakinan bahwa syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih mengidealkan substansi nilai-nilai syariah terimplementasi di dalam masyarakat ketimbang mengidealisasikan institusi. Kehadiran institusi formal bukan jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syariah di dalam masyarakat. Apalagi NU sudah berkesimpulan bahwa NKRI dengan dasar Pancasila sudah merupakan bentuk final bagi bangsa Indonesia”.
C.    Dialog Iman dan Kebudayaan dalam Pandangan Islam
            Dalam pemikiran ini saya sependapat dengan pemikiran beliau,bahwa Islam adalah sebuah agama hukun (religion of law). Hukum agama diturunkan oleh Tuhan, melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad , untuk dilaksanakan oleh kaum muslimin tanpa kecuali, dan tanpa dipotong-potong sedikitpun. Dengan demikian, watak dasar Islam adalah pandangan yang serba normatif dan orientasinya yang serba legal formalistic. Islam haruslah dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat pada semua tingkatan.
Pandangan yang pertama menyatakan bahwa dominasi harus dipegang oleh sumber-sumber tekstual, dalam hal ini kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi (dikenal juga dengan nama hadist). Sunnah Nabi adalah segenap ucapan, perilaku dan ketetapan Nabi Muhammad di luar Al-Qur’an. Kedua sumber tekstual tersebut adalah penentu, dan harus dipatuhi untuk segenap tempat dan zaman, sehingga dengan keduanya bersifat normative.
Dalam al-Qur’an, yang merupakan kitab suci orang Islam, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Islam sebagai agama ialah semua risalah keyakinan yang diwahyukan oleh Allah s.w.t. kepada rasul-rasul-Nya seperti Nabi Adam a.s., Nuh a.s., Ibrahim a.s., Musa a.s., Daud a.s., Isa Almasih dan Nabi Muhammad s.a.w. Tiang utama ajaran Islam ialah iman dan amal saleh. Iman menunjuk kepada kepersayaan dan kesaksian bahwa Tuhan itu Esa, yaitu Allah dan Dia itu Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang (al-rahman dan al-rahim), tempat berlindung terakhir seluruh umat manusia, yang meliputi segala sesuatu dengan ilmu dan kasih sayang-Nya.
            Dalam kaitannya dengan pemikiran Abdurrahman wahid bahwasanya agama islam itu merupakan sebuah system aqidah dan syariah, yang pada hakikatnya sama dengan iman dan amal saleh.  Iman atau aqidah ibarat jiwa dan amal saleh atau syariah ibarat badan jasmani. Sedangkan Tauhid, kesaksian bahwa Tuhan itu Esa, ibarat ruhnya yang bersemayam dalam pusat jiwa. Iman atau aqidah tidak berubah, sedangkan amal saleh dan syariatnya berubah dari rasul yang satu kepada rasul yang lain. Namun dengan datangnya rasul terakhir, Nabi Muhammad s.a.w.  asas-asas dan bangunan syariah Islam tidak berubah lagi oleh karena, dalam keyakinan orang Islam, tidak ada lagi rasul yang menerima wahyu dari Allah. Yang ada adalah para wali dan ulama yang merupakan juru tafsir ajaran Rasulullah. Dalam kebudayaannya orang Islam mengembangkan pandangan hidup, sistem nilai, gambaran dunia (weltanschauung), sistem ilmu, pemikiran falsafah, cita rasa seni, pola pikir, gaya hidup dan lain sebagainya melalui sarana-sarana tertentu yang dapat dijadikan saluran untuk mengekspresikan dirinya dan mewujudkan pandangan dan cita-cita hidupnya. Kebudayaan Islam juga dapat dinyatakan sebagai manifestasi keimanan dan kebaktian penganut Islam kepada Tuhannya.
Kebudayaan Islam memiliki penjelmaan yang aneka ragam, tetapi dipertalikan oleh iman atau aqidah yang sama. Ismail Faruqi `berpendapat bahwa kebudayaan Islam ialah segala sesuatu yang merupakan hasil budi nurani orang Islam yang mendasarkan amal ibadah dan segala perbuatannya pada ajaran tauhid. Dengan kata lain, kebudayaan Islam merupakan ungkapan tauhid dan tauhid adalah asas utama ajaran Islam.
D.    Pribumisasi islam
Saya setuju dengan pendapat Bapak Abdurrahman Wahid, beliau mengatakan bahwa Pribumisasi Islam bukanlah ‘jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan local di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang-yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada Ushl Fiqh dan Qaidah Fiqh. Sedangkan sinkreitisme adalah usaha memadukan teologia atau system kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan ghaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang lalu membuat bentuk panteisme. Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di Negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia.
            Pendapat saya bahwasanya ujuan gagasan pribumisasi  Islam adalah agar terjadinya dialog Islam dan kebudayaan sehingga keduanya dapat saling menerima dan memberi, saling  mengisi. Meski terdapat ketegangan di antara keduanya.Namun,hendaknya tidak ada upaya penaklukan atau hubungan menang kalah dalam hal ini.Sebagaimana hal ini dapat dibaca di tulisan tulisan Gus Dur sebelumnya  terutama makalah Al- qur`an dalam pemahaman konteks sosial baru dalam bukunya Muslim di Tengha Pergumulan.
  Terjadinya dialog antara pendiri NU dengan tokoh nasionalis untuk mencari titik temu agama dan faham kebangsaan merupakan realitas yang menarik.Apakah Islam dapat menerima paham ini?.Dlm bahasa  Ir.Soekarno presiden pertama RI,beliau menerjamahkan makna nasiolisme dengan mengatakan nasionalismeku adalah kemanusian.
  Pada titik inilah Gus Dur sering berbicara tentang prjuangn atas nama kemanusiaan.Bahkan untuk membedakan tindakan agama dengan tindakan “bukan agama” dilihat dari praktik dan sikap yang manusiawi.Jika suatu tindakan tidak manusiawi terjadi dengan  menggunakan atas nama agama,maka jelaslah,bahwa itu sebenarnya bukan praktik keagamaan yang benar.Karena itu Gus Dur terkenal dengan sifatnya yang humanis.
E.     Bercocok tanam di surga
            Saya setuju dengan pemikiran beliau tentang bercocok tanam di surga karena pemikiran ini merupakan salah satu ajakan Tuhan terhadap manusia untuk memperbanyak amal shaleh. Dan di dalam pemikiran beliau ini menceritakan tentang iman islam dan ihsan tetapi di sini beliau lebih mengutamakan penjelasan ihsan tersendiri karena ihsan itu merupakan tingkatan yang paling tertinggi bagi seseorang yang beragama islam.
            Bercocok  tanam di surga itu merupakan penggambaran akhlak seorang muslim yang memiliki sikap qona’ah yang artinya merasa cukup dan akhlak tercela seperti rakus dan tamak,dan  apa saja yang diinginkan di surga, dari perkara-perkara dunia, maka hal itu sangat mungkin bisa terwujud. Dan pemikiran ini ditegaskan pada sebuah hadist yang artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita sedang di samping beliau ada seorang lelaki suku Badui, bahwasanya seorang lelaki dari penghuni surga meminta izin kepada Tuhannya untuk bercocok tanam. Allah swt. berfirman: “Bukankah kamu telah memperoleh apa yang kamu kehendaki?” Laki-laki itu menjawab: “Tentu saja, akan tetapi saya senang bercocok tanam.” Kemudian penghuni surga itu menaburkan benih, yang dalam sekejap mata di hadapannya benih itu telah menjadi tanaman yang matang dan siap dipanen. Tanaman tersebut terkumpul seperti gunung. Lalu Alloh swt. berkata: “Ambillah wahai anak Adam! Sesungguhnya tidak ada yang bisa membuatmu kenyang.” Orang Badui itu lalu berkata: “Demi Allah, aku tidak mendapati petani tersebut kecuali orang Quraisy atau Anshar, karena mereka adalah orang-orang yang suka bercocok tanam.” Mendengarkan perkataan tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa. (HR Imam Bukhari).
             Sebuah hadits yang harus dipahami oleh para petani yang tangannya biasa belepotan lumpur tanah pertanian, yang sekujur tubuhnya dipenuhi peluh bercucuran di bawah terik matahari, yang harus menunggu dalam cemas penuh harap apa yang ditanamnya kelak bisa dipanen dengan hasil yang melimpah. Sebuah hadits yang harus dipahami siapa saja, karena pada hakikatnya tidak seorangpun manusia terlahirkan di muka bumi ini kecuali padanya akan dijumpakan kesulitan demi kesulitan hidup.
Inilah sebuah hadits yang sesungguhnya meyakinkan kita bahwa kelak segala kesulitan yang kita hadapi, jalan-jalan terjal yang harus kita daki, musibah demi musibah yang harus kita alami, semuanya akan berakhir dan bermuara pada suatu hari dimana segala kesulitan itu akan kita dapatkan buahnya. Suatu hari dimana bahkan tidak ada lagi kesulitan yang akan menimpa kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar