Rabu, 16 Januari 2013

Ringkasan pemikiran Abdullah Ahmed An-Na'im dalam buku Islam dan Negara Sekuler


Ringkasan pemikiran Abdullah Ahmed An-Na'im dalam buku
 Islam dan Negara Sekuler

1.      Biografi Abdullah Ahmed An-Na'im
Abdullah Ahmed An-Na'im, lebih familiar disebut An-Na'im, lahir di Sudan pada tahun 1946, satu tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Na'im meyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Khartoum Sudan dan mendapat gelar LL.B dengan predikat cumlaude. Tiga tahun kemudian (1973) An-Na'im mendapat tiga gelar sekaligus LL.B., LL.M., dan M.A. (diploma dalam bidang kriminologi) dari University of Cambridge, English. Pada tahun 1976, dia mendapat gelar Ph.D., dalam bidang hukum dari University of Edinburgh, Scotland, dengan disertasi tentang perbandingan prosedur prapercobaan kriminal (hukum Inggris, Skotlandia, Amerika, dan Sudan).
Pada bulan November 1976 sampai Juni 1985, An-Na'im menjadi staf pengajar ilmu Hukum di Universitas Khartoum, Sudan. Pada tahun yang sama (1979-1985) An-Na'im menjadi ketua jurusan hukum publik di almamater yang sama. Pada bulan Agustus tahun 1985-Juni 1992 An-Na'im menjadi profesor tamu Olof Palme di Fakultas Hukum, Universitas Upshala, Swedia. Pada bulan Juli 1992-1993 menjadi sarjana, tinggal di kantor The Ford Foundation untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, di Kairo, Mesir. Pada bulan Juli 1993-April 1995 menjadi Direktur Eksekutif Pengawas HAM di Washington D.C. Dan sejak Juni 1985 sampai sekarang menjadi profesor hukum di Universitas Emory, Atalanta, GA., Amerika Serikat.
Selain sosok intlektual yang akademis, yang dibuktikan dengan jabatan-jabatan formalnya di struktur birkrasi Universitas Khartoum, Sudan, dan Universitas Emory, Atalanta, GA., Amerika Serikat. Ahmad Al-Na'im juga sosok aktifis sosial, Hukum, dan politik. Ini dapat diketahui melalui keterlibatannya lembaga HAM,bahkan menjadi Direktur Eksekutif Pengawas HAM di Washington D.C. dapat pula diketahui melalui tulisan-tulisan lepas dan buku-buku karya beliua yang notabene persoalan HAM, Islam, hukum. Abdullah Ahmad Al-Na'im adalah sosok pemikir yang langka, seperti yang disinyalir oleh Myer, bahwa Ahmad Al-Na'im, selain ahli hukum dan Islam diajuga ahli dibidang hubungan internasional. Kepiawaiannya menghubungkan dua displin ilmu yang memiliki akar yang berbeda tersebut, menjadikannya sosok ilmuan yang susah dicari duanya.
An-Na’im adalah murid dari Mahmoed Mohamed Taha  pendiri partai Persaudaraan Republik (The Republican Brotherhood) pada akhir Perang Dunia II sebagai partai alternatif di tengah-tengah perjuangan nasionalis Sudan. An-Na’im menerjemahkan karya besar gurunya Al-Risalah al-Tsaniyah minal Islam ke dalam bahasa Inggris menjadi The Second Message of Islam, kemudian dicetak tahun 1987 setelah sembilanbelas tahun ia resmi menjadi anggota Persaudaraan Republik yang pada saat itu masih studi di Universitas Khartoum fakultas hukum.
Pada tahun 1973 ia memperoleh gelar LL.B dan Diploma di Fakultas Kriminologi Universitas Cambridge dan tiga tahun kemudian (1976) memperoleh gelar Ph.D di bidang hukum dari Universitas Edinburgh, lalu kembali ke Sudan menjadi pengacara dan dosen hukum di Universitas Khatoum. Menjelang tahun 1979 ia menjadi kepala Departemen Hukum Publik di Fakultas Hukum Universitas Khartoum.
Kaum Republikan ini tetap mendukung Numeyri sepanjang tahun 70-an sampai 80-an. Dukungan diberikan selam rezim tersebut mempertahankan kebijakan nasional tentang kesatuan dan menahan diri untuk tidak memakai yang merugikan kaum perempuan dan non-muslim Sudan. Setelah syari’ah diterapkan secara paksa melalui keputusan presiden awal Agustus 1983, yang menggoyahkan  kesatuan nasional antara Muslim Utara dengan non-Muslim Selatan, maka sejak itu kaum Republikan menyatakan oposisinya terhadap rezim ini.
Akibat dari pernyataan oposisinya mereka terhadap program islamisasi Numeyri, maka selama kurang lebih satu setengah tahun, An-Na’im ditahan bersama sekitar 30 orang pimpinan Persaudaraan Republik, termasuk gurunya Taha. Pada akhir tahun 1984 mereka dibebaskan, namun Taha ditangkap kembali bersama beberapa pimpinan lainnya dengan tuduhan menghasut dan pelanggaran lainnya, tetapi hanya Taha yang kemudian dihukum mati pada tangal 18 Januari 1985 oleh rezim Sudan Ja’far Numeyry. Sejak itu kelompok ini sepakat untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik dan secara resmi membubarkan diri.


2.      Inti Pemikiran Abdullah Ahmed An-Na'im
v  Metodologi Pemikiran An-Na’im
Reformasi Islam atau dekonstruksi syari’ah yang digagas an-Na’im yang kemudian terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap pemikirannya bermaksud memberikan solusi bagi proses perubahan persepsi, sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan sekuler. Tesisnya mengatakan bahwa jika tidak dibangun dasar pembaruan modernis murni yang dapat diterima secara keagamaan, maka umat Islam sekarang dan akan datang hanya punya dua alternative, yaitu mengimplementasikan syari’ah dengan segala kelemahan dalam menjawab dinamika zaman dan masalahnya, atau meninggalkannya dan memilih hukum publik sekuler”.
Menurut an-Na’im, selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari’ah historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang mendesak sepaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang”.
Selanjutnya an-Na’im mengambil metode gurunya, yaitu metodologi pembaharuan yang revolusioner, yang digambarkan sebagai evolusi legislasi Islam (modern mistical approach), yang intinya suatu ajakan untuk membangun prinsip penafsiran baru yang memperbolehkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah. Pendekatan ini jika diterapkan akan mampu memecahkan kebuntuan antara tujuan pembaruan, keterbatasan konsep dan teknik syari’ah historis.
Prinsip naskh pembatalan teks al-Qur’an dan Sunnah tertentu untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks-teks al-Qur’an dan Sunnah untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks al-Qur’an dan Sunnah yang lain sangat menentukan bagi validitas teoritik dan kelangsungan praktek dari pendekatan evolusioner. Kemudian memadukan teori naskh tersebut dengan prinsip-prinsip umum tentang analisa kongkret terhadap implikasi-implikasi hukum publik Islam. Utamanya terhadap keseimbangan hak-hak muslim dan non-muslim serta laki-laki dan perempuan dalam menentukan nasib sendiri. Inilah harga kemanusian yang tertimbun dalam formulasi teoritik syari’ah tradisional.
An-Na’im mengadopsi teori naskh gurunya dengan alasan bahwa:
a. Pesan Mekah adalah pesan abadi dan fundamental yang menginginkan egalitarianisme seluruh umat manusia. Karena pesan Mekah ini belum siap diterapkan oleh manusia pada abad ketujuh, maka Allah menurunkan pesan Madinah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman waktu itu.
b. Pemberlakuan teori naskh lama itu tidak permanen, karena jika permanen berarti umat Islam menolak sebagian dari agamanya.
3. Implementasi Pemikiran An-Na’im
Pemikiran an-Na’im adalah formulasi yang menyeluruh, mencakup struktur politik, sosial, hukum pidana, hukum internasional, dan hak-hak asasi manusia. Dalam bukunya Dekonstruksi Syari’ah an-Na’im lebih memfokuskan pada tiga masalah pokok, yaitu perbudakan, gender dan non-muslim. Dari tiga pokok masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa hal, diantaranya berikut ini:
a. Syari’ah dan Konstitusional Modern
Istilah konstitusionalisme mengimplikasikan pembatasan hukum atas kekuasan penguasa dan pertanggungjawaban politiknya terhadap sekelompok manusia lain. Beberapa ulama telah menyatakan pendangan bahwa karena Tuhan sendiri pembuat undang-undang dalam Islam, maka tidak ada ruang abadi legislasi atau kekuasan legislatif di bawah syari’ah. Hal ini dibantah oleh an-Na’im bahwa pertimbangan manusia harus tetap digunakan dalam menentukan prinsip-prinsip dan aturan-aturan syari’ah yang bisa diterapkan. Baik al-Qur’an maupun Sunnah harus ditafsirkan untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum.
b. Syari’ah dan Hak Asasi Manusia
Ada suatu prinsip normatif umum yang dimiliki oleh semua tradisi kebudayaan besar yang mampu menopang standar universal hak-hak asasi manusia. Prinsip itu menyatakan bahwa seseorang harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan diperlakukan orang lain. Aturan yang teramat indah ini mengacu pada prinsip resiprositas yang sesungguhnya dimiliki oleh semua tradisi agama besar di dunia. Selain itu kekuatan moral dan logika dari proposisi yang sederhana ini dapat dengan mudah diapresiasi oleh semua umat manusia, baik tradisi kultural maupun persuasi filosofis. Menurut Taha bahwa prinsip murni dalam Islam adalah kebebasan. Perbudakan bukan ajaran murni Islam. Diskriminasi laki-laki dan perempuan bukan ajaran murni Islam, poligami bukan ajaran murni Islam dan perceraian juga bukan ajaran murni Islam Problem berkenaan dengan penggunaan prinsip resiprositas dalam konteks ini adalah kecendrungan tradisi kultural, khususnya agama, untuk membatasi penerapan prinsip terhadap keanggotaan tradisi kultural dan agama yang lain, bahkan pada kelompok tertentu dalam tradisi atau agama itu sendiri. Konsepsi prinsip resiprositas historis berdasarkan syari’ah tidak berlaku bagi perempuan dan non-muslim sebagaimana untuk laki-laki muslim. Intinya menurut an-Na’im bahwa hak-hak asasi manusia didasarkan pada kedua kekuatan utama yang memotivasi seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas. Melalui kehendak untuk hidup, umat manusia selalu berusaha keras untuk menjamin kebutuhan makan, perumahan dan apa saja yang berkaitan dengan pemeliharaan hidup. Penghapusan perbudakan mungkin baik sebagai contoh pertama dari penerimaan hak-hak asasi internasional sebagai suatu batasan terhadap jurisdiksi domestik. An-Na’im menegaskan disini dengan alasan bahwa pandangan syari’ah yang membatasi hak asasi manusia dibenarkan oleh konteks historis, tetapi tidak untuk mengatakan bahwa pandangan itu masih dibenarkan karena konteks historis sekarang sudah berbeda sama sekali. Hukum Islam modern tidak dapat mengesampingkan konsep hak-hak asasi manusia mutakhir jika ia harus diterapkan sekarang.
4. Teori Naskh An-Na’im
Pemahan an-Na’im terhadap konsep naskh berbeda dengan apa yang telah berlaku dalam literatur yurisprudensi Islam. Hal ini didasarkan ayat naskh (2:106) yang diterjemahkan Taha sebagai berikut: “Ayat yang kami naskh (menghapuskan hukum suatu ayat) atau yang Kami tunda pelaksanaan hukumnya, maka Kami gantikan dengan ayat yang lebih dekat dengan pemahaman manusia, atau memulihkan berlakunya ayat itu pada saat yang tepat”.
Fenomena naskh yang diakui oleh para ulama, merupakan bukti terbesar akan adanya dialektika hubungan antara wahyu dengan realitas. Namun muncul dua problem mendasar yaitu: (1) bagaimana mengkompromikan antara fenomena ini dengan konsekuensi yang ditimbulkannya, yaitu perubahan teks dengan naskh dengan keyakinan umum dan kuat tentang adanya wujud azali dai teks di Lauh Mahfuz? (2) Sebagian dari teks telah terlupakan dari ingatan ketika pengumpulan al-Qur’an masa Abu Bakar.
Naskh yang dimaksud an-Na’im adalah suatu teks masih menjadi bagian al-Qur’an tetapi dianggap tidak berlaku secara hukum. Hal ini didasarkan atas pembedaan antara surat al-Qur’an yang diwahyukan selama periode Makkah dan Madinah. Surat Makkah lebih memperhatikan masalah spiritual dan cakrawala keagamaan, sedang surat Madinah problem politik, sosial dan hukum menjadi lebih ditekankan. An-Na’im menegaskan bahwa kaum Muslim bebas menemukan ayat-ayat mana yang sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka. Dengan kata lain bahwa syari’ah historis yang dimaksud an-Na’im hanya berlaku bagi masyarakat muslim masa lampau, sedang bagi masyarakat sekarang adalah menerapkan ayat-ayat yang menekankan konstitusionalisme, hak asasi manusia dan internasionalisme.
An-Na’im dengan teori naskh yang diadopsi dari gurunya ingin mengatakan bahwa ayat yang digunakan sebagai basis hukum Islam pada saat ini dicabut dan digantikan dengan ayat yang terhapus untuk dijadikan basis hukum Islam modern.
Teori naskh yang dikedepankan oleh an-Na’im seirama dengan teori fenomenologi yang yang dibangun Edmund Husserl. Dimana teori tersebut membiarkan fakta (al-Qur’an) berbicara apa adanya tanpa ada penilaian subyektif. Namun salah satu kelemahan pendekatan an-Na’im adalah perhatiannya yang terlalu besar terhadap teori naskh, karena hanya sebagian kecil saja ayat-ayat madaniyah yang berfungi sebagai nasikh bagi ayat-ayat Makkiyah, selebihnya ayat-ayat tersebut berfungsi sebagai tafshil al-mujmal, takhshish al-‘aam, taqyid al-muthlaq dan sebagai penyempurna.
As-Suyuti menjelaskan bahwa hanya 21 ayat al-Qur’an yang menerima naskh.  Adapun mengenai alasan sedikitnya ayat yang dinaskh, menurut asy-Syatibi adalah karena hukum-hukum kulliyat dan kaidah ushuliyah dalam agama.
Disamping itu, menurut Arkoun metodologi pembaharuan hukum Islam an-Na’im merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses revolusioner dalam bentuk konstitusionalisme modern, hukum internasional modern, hak asasi manusia dan hukum pidana yang telah berlangsung untuk pertama dan hanya di Eropa. Oleh sebab itu, tidak heran jika an-Na’im banyak menggunakan kesimpulan-kesimpulan para orientalis untuk memastikan relevansi upayannya dengan tuntutan modernitas. Hal itu nampak dari pengakuan an-Na’im bahwa sains Barat, walaupun tidak dapat memberikan moralitas global dan kerangka hukum anutan bagi perlindungan hak asasi manusia, sangat berguna dalam mempertajam metodologi penelitian ilmiah yang berusaha menemukan landasan lintas budaya bagi hak asasi manusia internasional.

v  Reformasi Syariah
Istilah ini digunakan oleh An-Na’im untuk menyebut Syariat Islam. Menurut Na’im, umat Islam sedunia boleh menerapkan hukum Islam, asal tidak melanggar hak orang dan kelompok lain, baik di dalam maupun di luar komunitas Islam. Tapi menurutnya jika syariat histories ini diterapkan kan menimbulkan masalah serius menyangkut masalah-masalah konstitusionalisme, hukum pidana, hubungan internasional dan hak-hak asasi manusia.
Dan yang paling merasakan kerugian,  menurutnya lagi, adalah masyarakat non-Muslim dan wanita. Bagi masyarakat non-Muslim mereka akan menjadi masyarakat kelas kedua, dan bagi wanita pula mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Tapi kaum lelakipun katanya akan merasakan dampaknya, sebab mereka akan kehilangan kebebasan karena disekat berbagai undang-udang.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, ia menulis dalam bukunya yang berjudul Toward an Islamic Reformation yang menyerukan perubahan hukum Islam terkait dengan konstitusionalisme, hukum kriminal, hubungan internasional, dan hak-hak asasi manusia (HAM). Dia berkeyakinan bahwa hukum Islam dalam bidang ini bertentangan secara diametrikal dengan prinsip hak asasi manusia dan standard hukum international. “…some definite and generally agreed principles of Shari’a are in clear conflict with corresponding principles of international law,”
Untuk tujuan itu, Na’im menafikan kesakralan syari’at, karena syari’at bukanlah bersifat ilahiyyah Syari’at, menurutnya, adalah “the product of process of interpretation of analogical derivation from the text of the Qur’an and Sunna and other tradition” (hasil dari proses penafsiran, derivasi melalui qiyas terhadap teks al-Qur’an, Sunnah dan tradisi yang lain).
Ia juga mengatakan bahwa syari’at, sebagaimana system perundang-undangan lainnya, mengikuti tahap-tahap perkembangan umat. Katanya “The techniques throught which Shari’a was derivied from the devine sources and the ways in wich in fundamental concepts and principles were formulated are clearly the product of the intellectual, social, and political processes of Muslim history,” (teknik-teknik penjabaran syari’at dari sumber sucinya dan cara-cara penyusunan konsep dan prinsip fundamentalnya, jelas merupakan produk proses sejarah intelektual, social dan politik umat Islam).
Setelah syari’at sudah dianggap tidak sakral lagi, kemudian langkah selanjutnya, Na’im menyerukan untuk mereformasi syari’ah. Tapi ia menolak reformasi ini dilakukan dengan framework syari’at yang ada. Sebab dalam framework ini, menurutnya, ijtihad tidak berlaku pada hukum yang sudah disentuh al-Qur’an secara definitive. Sementara hukum yang perlu direformasi itu adalah hukum-hukum yang masuk kategori ini seperti hukum hudud dan qisas, status wanita dan non-muslim, hukum waris dan seterusnya. Inilah dilematis yang dihadapi para pembaharu hukum Islam, kata Na’im. Di satu sisi mereka disuruh berijtihad, tapi pada sisi lain mereka dihalang oleh ketentuan ushul fiqh klasik “la ijtihad fi mawrid al-nass.” Oleh sebab itu, apa yang diperlukan bukanlah reformasi tapi dekonstruksi. Na’im sepertinya ingin mendobrak pintu reformasi dengan menempuh jalan seperti yang pernah dilalui umat Kristen. Untuk itu ia lantas mengusulkan penggunaan metode hermeneutika untuk membaca tujuan serta kandungan normatif ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana orang Kristen telah menggunakannya untuk membaca kitab bibel mereka, tanpa menghiraukan perbedaan fundamental yang dimiliki kedua kitab suci ini.

v  Evolutionary Approach (evolusi syari’at)
Penggunaan hermeneutika Na’im telah menghasilkan sebuah pendekatan baru yang disebutnya dengan ‘Evolutionary Approach’, sebuah pendekatan yang pada awalnya dibangun dan dikembangkan oleh gurunya Mahmud Muhammad Taha dalam bukunya Al-Risalah al-Tsaniyah. Esensi pendekatan ini adalah “…reversing the process of naskh or abrogation so that those texts wich were abrogated in the past can be enacted into law now, with the consequent abrogatin of text that used to be enacted as shari’a.”
Di tempat lain dia menegaskan: “To achieve that degree of reform, we must be able to set aside clear and definite texts of the Qur’an and Sunna of Medina as having served their transitional purpose and implement those texts of the Meccan stage wich were previously inappropriate for practical application but are now the only way to proceed”. (Untuk mencapai tahap reformasi tersebut, kita harus sanggup menyingkirkan teks-teks al-Qur’an dan Sunnah Madinah yang jelas dan definitif karena mereka telah melaksanakan fungsi transisinya, dan selanjutnya mengimplementasikan teks-teks periode Mekkah yang sebelumnya tidak sesuai untuk tujuan aplikasi praktis akan tetapi sekarang menjadi satu-satunya yang harus ditempuh).
Metodologi ini kemudian disebut evolusi syari’at yaitu “tafsir modern dan evolusioner terhadap al-Qur’an.” Secara ringkas evolusi syari’at bisa dijelaskan sebagai berikut:
  1. Ia adalah suatu pengujian secara terbuka terhadap isi al-Qur’an dan as-Sunnah yang melahirkan dua tingkat atau tahap risalah Islam, yaitu periode awal Makkah dan berikutnya Madinah.
  2. Pesan Makkah bersifat abadi, fundamental dan universal; sedang pesan Madinah sebaliknya.
  3. Syari’at historis menjadikan ayat-ayat Madinah sebagai basis legislasi syari’at dengan me-naskh (menunda pelaksanaan) ayat-ayat Makkah yang belum bisa diaplikasikan.
  4. Ayat-ayat Madinah saat ini tidak bisa diaplikasikan lagi karena bertentangan dengan nilai-nilai modern.
  5. Ayat-ayat Makkah harus difungsikan kembali sebagai basis legislasi syari’at yang baru dengan me-naskh ayat-ayat Madinah.
  6. Di atas basis legislasi baru itu dibangun versi hukum publik Islam yang sesuai dengan nilai-nilai modern yang tidak lain adalah pencapaian masyarakat Barat saat ini.
Menurut Na’im pendekatan ini perlu dilakukan karena pesan-pesan fundamental Islam itu terkandung dalam ayat-ayat makkiyyah, bukan madaniyyah. Adapun praktek hukum dan politik yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah periode Madinah, menurutnya, tidak semestiya merefleksikan pesan-pesan ayat-ayat makkiyyah.
Dan untuk membangun metodologi evolusi syariatnya, an-Na’im menggunakan konsep makkiyyah-madaniyyah dan konsep naskh.
An-Na’im memahami konsep makkiyah dan madaniyah dengan pandangan yang berbeda dengan jumhur ulama, Menurutnya, ayat-ayat Makkiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah merupakan dua paket (tahapan) yang terpisah, yang satu dengan yang lain tidak saling terkait. Ia berbeda bukan saja terkait perbedaan masa turunnya, tetapi juga terkait dengan perbedaan tema dan misi yang dibawa, sasaran (khitab) nya, dan watak universalnya. Dari sini kamudian Na’im menyimpulkan bahwa ayat-ayat Makkiyyah membawa tema dan misi yang fundamental dan abadi, ia berbicara kepada semua manusia tanpa diskriminasi, melintasi batas dimensi waktu dan tempat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah membawa misi sementara, diturunkan untuk masyarakat tertentu sesuai dengan kondisi manusia abad VII sehingga tidak bisa difungsikan lagi pada saat ini. Selanjutnya dengan menggunakan konsep naskh, ia melakukan generalisasi, ayat-ayat Makkiyyah me-naskh ayat-ayat Madaniyyah.
Namun jika kita merujuk pada buku-buku yang membahas ilmu al-Quran seperti buku ‘Ulum al-Quran’ karangan Manna’ Khalil Qatthan dan Subhi Shalih kita akan menemukan penjelasan yang sangat berbeda dengan pandangan an-Na’im dan kita akan menemukan bahwa Makkiyah dan Madaniha tidak terpisah dan juga di antara keduanya tidak ada yang lebih unggul dibanding lainnya. Justru di antara keduanya ada hubungan yang sangat erat, saling terkait dan berkesinambungan. Masing-masing memang memiliki gaya bahasa dan tema-tema khasnya masing-masing, karena itu sesuai dengan sasarannya. Dan dengan itu bisa diambil pelajaran tentang metode dakwah dan tahapan-tahapan dakwah. Ayat-ayat makkiyyah turun lebih dahulu dengan tema seputar akidah, kisah-kisah umat terdahulu dan dalil-dalil ayat kauniyyah yang rasional, menjadi dasar keimanan umat yang kokoh untuk membangun nilai-nilai agama di masa Madinah. Periode Mekkah adalah periode tarbiyah (pendidikan) dan I’dad (persiapan) serta penanaman tauhid untuk pada saatnya nanti menjadi pondasi yang kokoh bagi pembangunan masyarakat Madinah. Ayat-ayat Madinah tidak bisa tegak bila tanpa ditopang ayat-ayat Makkiyyah terlebih dulu.
Selain dengan konsep Makkiyyah-Madaniyyah nya yang nyleneh, Na’im juga  membangun metodologi evolusi syari’atnya dengan konsep naskh. Pengertian naskh yang umum dikenal kaum muslimin terutama para ulamanya adalah proses penghapusan atau pembatalan hukum syar’I yang telah ada (lama/terdahulu) untuk kemudian digantikan dengan hukum syar’I yang lain (baru) berdasarkan dalil syar’I yang datang kemudian.
Pengertian di atas dapat membantah anggapan Na’im bahwa ulama generasi awal menerapkan konsep naskh dengan menghapus ayat-ayat Makkiyyah agar ayat-ayat Madaniyyah bisa diberlakukan. Konsep naskh adalah jalan terakhir ketika ayat-ayat tersebut tidak bisa dikompromikan dengan jalan lain. Jadi tidak bisa langsung dan asal me-naskh ayat-ayat Makkiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah. Apalagi model konsep naskh-nya Na’im yang membalik proses naskh, ayat yang turun lebih awal (makkiyyah) men-naskh ayat yang turun belakangan (madaniyyah). Ini tentu sulit diterima.
Pendekatan Na’im ini juga sangat problematik sekali. Karena disini Na‘im sepertinya menggambarkan tidak adanya konsistensi dan kesinambungan ayat-ayat dalam al-Qur’an. Katanya the specific political and legal norms of the Qur’an and Sunna of Medina did not always reflect the exact meaning and implications of the message as revealed in Mecca.” (norma-norma politik dan hukum al-Qur’an dan Sunnah yang turun di Madinah tidak selalu merefleksikan arti serta implikasi yang pasti dari pesan yang diturunkan di Mekkah).
 Menurut an-naem hal terbaik dari hukum syariah yang membuat sebagian orang ingin menerapkannya adalah Syariah adalah hukum Islam untuk muslim. Jadi, setiap muslim diikat oleh hukum syariah, tapi tidak bisa dipaksakan oleh negara. Ketika negara mengambil alih hak menerapkan syariah, artinya memaksakan pandangan sejumlah orang yang menjalankan negara. Karena menjadi hukum negara, maka hukum syariah itu bisa bertentangan dengan keinginan sebagian besar muslim. Karena itu, syariah harus tetap hidup dalam masyarakat yang membentuk suatu masyarakat madani untuk mempelajari dan melaksanakan syariah. Contohnya, mereka bisa membentuk bank Islam. Tapi semua ini harus di luar kerangka negara. Sangatlah berbahaya membiarkan negara mengklaim sebagai otoritas Islam. Menurut saya, syariah sangat penting dalam membangun masyarakat.
Tidak semua Kondisi membutuhkan penerapkan syariah karena Sejarah Islam membuktikan bahwa kaum muslim sudah menerapkan syariah. Itu bukan hal baru. Selama 1.500 tahun, kaum muslim sudah melaksanakan syariah. Hal barunya adalah sekarang kita memiliki negara. Hak asasi manusia tidak perlu diterapkan oleh negara jika masyarakat tidak menghargai dan menjalankan soal HAM. HAM kenyataannya adalah ajaran Islam, bukan pemikiran Barat. Artinya, HAM harus menjadi akar dari negara, menghormati perbedaan, menerima keanekaragaman, menerima hubungan, menghargai hubungan gender.
Jika itu tidak hidup dalam masyarakat, maka nilai-nilai itu tidak bisa dalam negara. Kondisi yang diperlukan adalah negara harus konsisten terhadap konstitusi, hak-hak dasar, persamaan lelaki dan perempuan, persamaan antara muslim dan non-muslim. Inilah yang disebut peradaban. Itu tidak akan muncul dalam negara sebelum terbentuk dalam masyarakat. Karena itu, saya memiliki konsep hak dalam rumah.
Artinya, jika kita tak mengajarkan anak-anak kita soal menghargai HAM, maka nilai-nilai HAM tidak akan hidup di luar rumah. HAM mengatur hubungan antarindividu di mana semua hubungan ini harus berdasarkan nilai persamaan dan menghargai orang lain. Ketika itu terjadi dalam masyarakat, maka akan tergambar dalam kehidupan bernegara. Jadi, yang bisa dilakukan oleh negara adalah seperti yang sudah dilakukan oleh masyarakat.
Pelaksanakan hukum syariah Bukan sebagai negara, melainkan sebagai masyarakat. Sebagai muslim kita harus melaksanakan syariah. Tapi ada perbedaan antara menjalankan dan menerapkan. Menjalankan bersifat sukarela, sedangkan menerapkan berarti ada pemaksaan dan ini berlawanan dengan semangat syariah. Karena syariah menghormati kebebasan memilih dan kepercayaan orang, bukan atas dasar pemaksaan. Kaum muslim tentu tidak sepakat jika negara memaksakan syariah.
An-naem tidak menerima konsep khilafah  menurutnya konsep khilafah adalah sebuah khayalan yang sangat berbahaya. Itu tidak benar menurut sejarah Islam. Apa yang disebut orang sebagai khilafah saat ini tak lebih sekadar pemerintahan monarki dan otoriter. Sistem khilafah sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam.

Islam sebagai rahmatan lil alamin menurut an-na’em adalah Nilai-nilai Islam hanya bisa dihormati oleh penganutnya dan bukan oleh negara. Rahmatan lil alamin hanya bisa tercipta oleh masyarakat yang hidup dalam nilai-nilai Islam dan bukan dipaksakan oleh negara. Dalam Al-Quran tidak ada konsep negara.
Seorang muslim membutuhkan negara sekuler untuk menjadi muslim yang lebih baik. Artinya, memerlukan negara yang membiarkan saya sendiri dan bukan memaksakan agama terhadap saya. Sehingga saya bisa menjadi seorang muslim sesuai pilihan saya. Jika negara memaksakan pandangan Islamnya terhadap saya, maka saya tidak bebas memilih bagaimana saya menjadi muslim. Bukan karena saya tidak punya pilihan.
Di Arab Saudi ketika polisi agama memaksa orang salat di masjid, maka orang itu salat karena negara dan bukan karena Allah. Di negara semacam ini, saya tidak bebas melaksanakan ajaran saya sesuai dengan keinginan saya dan saya tidak bisa berkomitmen untuk melaksanakan itu. Seperti disebutkan dalam Al-Quran tidak ada paksaan dalam agama. Saya lebih suka tinggal di Inggris ketimbang di Arab Saudi. Meski mengklaim sebagai negara Islam, mereka tidak menghargai sesama manusia. Seperti yang terjadi pada sebagian pembantu Indonesia. Mereka ada yang diperkosa, disiksa, dan tidak dibayarkan gajinya. Pandangan Ahmed an-Na’im tentang negara ideal menurutnya yaitu negara sekuler adalah untuk muslim yang baik, itu artinya kalau kita ingin baik, ingin beribadah dengan tenang dan masuk surga bahkan maka hiduplah di negara sekuler.

Analisis
Peran politik Islam tak dapat dipertahankan tanpa reformasi Islam yang signifikan.
(An-Na’im, 2007 hlm. 65).
Ada beberapa argumen, khususnya dalam konteks Indonesia, yang mungkin berguna untuk memperkuat argumen yang telah diajukan dalam buku ini. Dua hal itu adalah pertama, bahwa pemisahan agama dan negara adalah semacam situasi sine qua non untuk perkembangan dan peran Islam atau Syari’ah ke depan. Namun pemisahan agama dan negara itu tidak selalu berarti sekularisme atau bahkan sekularisasi apapun arti dari dua kata tersebut. Tetapi di sisi lain bahwa pemisahan agama dan negara tidak selalu berarti agama tidak boleh atau tidak akan bersinggungan dengan politik. Kedua adalah bahwa tuntutan penerapan Syariah sebagai hukum positif yang menjadi fenomena di banyak negara merupakan kombinasi antara problem mengolah warisan sejarah Islam dengan gejala post-kolonial sehingga ia kurang lebihnya sebagai sebuah proses alami yang nyaris tidak bisa ditolak.
Masalahnya adalah bagaimana realitas obyektif itu harus dilihat dan, jika mungkin, melakukan antisipasi dan negosiasi untuk keuntungan umat Islam sendiri dan umat manusia secara umum. Islam dan Pemisahan Agama dan Negara yang Tuntas:
Prof. Na’im cukup detail melihat dinamika Islam Indonesia berkaitan dengan Syari’ah, tetapi saya melihat tampaknya ia lebih melihat dari sudut negara, setidaknya dalam buku ini, dan belum memberi contoh kongkrit dari sudut praktik atau pergulatan yang telah dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam. Dari sudut Islam, perspektif hubungan antara agama dan negara memang belum tuntas didiskusikan. Satu pihak melihat bahwa agama dan negara dalam Islam adalah satu (din wa daulah) hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pendapat ini antara lain dianut misalnya oleh para pemimpin Ikhawanul Muslimin yang mula-mula tumbuh di Mesir dan Jamaat al-Islamy yang tumbuh di Pakistan, dan para pengikut mereka yang tersebar di seluruh dunia. Tetapi harus diketahui bahwa pandangan seperti ini cakupannya sangat luas, dari yang sangat ekstrim sampai yang sangat lunak. Namun dari mereka bisa ditarik garis merah bahwa esksisteni negara-bangsa yang sekuler adalah bersifat sementara yang harus diperjuangkan terus menerus hingga terealisasikannya kesatuan dua unsur tersebut.
Di sisi lain, mereka yang berpendapat bahwa agama dan negara dalam Islam bisa dipisahkan tanpa harus menyebut sebagai prinsip sekularisme atau sekularisasi melainkan sebagai cara menyikapi realitas sehubungan dengan eksistensi negara-bangsa. Pendapat ini lebih banyak diikuti oleh gerakan-gerakan Islam seperti NU dan Muhammadiyah di Indonesia. Namun harus diakui bahwa argumen pemisahan ini (agama dan negara) belum cukup mapan dan diakui secara luas, sehingga pendapat ini sering mendapat serangan dengan argumen teologis dari pendapat yang pertama di atas. 1 Dengan kata lain, prinsip pemisahan agama dan negara dalam Islam belum atau tidak menjadi doktrin teologis Islam itu sendiri.
Argumen yang tuntas tentang pemisahan ini secara teologis baru dirintis oleh beberapa orang dan gerakan yang tidak begitu besar, sehingga mudah ditumpas oleh arus besar penentangnya. Misalnya, Mahmoud Mohamed Toha yang karena keyakinannya digantung oleh presiden Numairy di Sudan yang kemudian dilanjutkan oleh pemulis buku ini, Profesor Abdullahi Ahmed An-Na’im yang juga terusir dari negaranya ke Amerika Serikat.
NU sebagai gerakan Islam adalah bagian dari pergulatan di atas. Di satu sisi, NU sebagai gerakan Islam di Indonesia dalam tataran praksis senantiasa menempatkan bangsa sebagai tumpuan utama eksistensinya. Namun di sisi lain agama atau Islam selalu menjadi legitimasi seluruh cara pandang dan perilaku politiknya. Belum selesainya argumen pemisahan agama dan negara dalam teologi Islam membuat pandangan NU tentang agama dan negara disamaratakan dengan kondisi itu. Padahal dapat dikatakan misalnya, NU sesungguhnya memiliki argumen yang tuntas tentang pemisahan agama dan negara. Namun karena bersifat dinamis, maka argumen-argumen itu hanya bisa dipahami jika dikaitkan dengan konteks historis dan tantangan-tantangan yang dijawab pada saat itu. Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa pemahaman keagamaan Islam dalam NU yang bersumber dari pesantren (karena sebelum berdiri organisasi NU, cara berpikir demikian telah ada dan hidup di dalam pesantren) bisa disebut ssebagai pemahaman pribumi Islam atau Islam pribumi. Gus Dur menyebutnya sebagai “Pribumisasi Islam” (Wahid, 2001). NU itu sendiri didirikan pada tahun 1926 salah satunya yang terpenting untuk mempertahankan kepribumian Islam a la ahlus sunnah wal jamaah yang hidup di pesantren atau di Indonesia. Ini bisa dilihat dari tiga argumen adanya Komite Hijaz yang menjadi pemicu dan kemudian menjadi tujuan utama berdirinya NU (Bruinessen, 1994; Suaedy, 2000). Pertama adalah untuk mempertahankan dan menuntut hak praktik Islam yang hidup di dalam masyarakat, termasuk di Indonesia atau masyarakat pesantren ketika itu. Ini berkaitan dengan gerakan pemurnian Islam di awal abad ke-20 yang menyerang praktik ibadah Islam tradisional yang dituduh sebagai TBC (Tahayul, Bidah, Churofat). Praktik seperti itu dianggap sebagai kafir dan menyimpang dari Islam. Gerakan ini didukung oleh pemerintah yang kuat berhaluan Wahabi di Arab Saudi dan pengaruhnya cukup besar di Hindia Belanda waktu itu. Di Arab Saudi sendiri gerakan pemurnian itu dilakukan dengan cara kekerasan yang juga ditiru oleh beberapa gerakan Islam di kawasan lain.
 Gerakan NU menuntut dijaminnya praktik Islam yang hidup di dalam masyarakat, baik di Hindia Belanda maupun di belahan lain dunia Islam, termasuk di Arab Saudi sendiri.
Alasan kedua adalah perbaikan pelayanan ibadah haji bagi seluruh umat Islam. Karena policy pemerintah Arab Saudi yang mendasarkan paham Wahabi, maka pelayanan ibadah haji cenderung diskriminatif bagi mereka yang tidak sepaham dengan kebijakan pemerintah Arab Saudi. Sehingga kelompok ini menginginkan pelayanan yang tidak diskriminatif kepada semua kelompok dan aliran. Sedangkan alasan ketiga adalah kemerdekaan Indonesia dan terenyahnya penjajah Belanda dari Indonesia. Dari tiga tujuan itu, jelaslah bahwa tujuan utama dari didirikannya NU adalah untuk menjamin praktik keagamaan dan keragaman yang hidup di dalam masyarakat. Secara praktik keagamaan, banyak tradisi lokal yang menjadi bagian dari praktik keagamaan NU sejauh tidak menyimpang dari substansi keyakinan Islam.
Hak untuk mempraktikkan Islam sesuai dengan keyakinan dan tradisi yang hidup di dalam masyarakat adalah ditujukan untuk melindungi kepribumian Islam. Sementara hal seperti itu bisa dilakukan jika terbebas dari penjajahan politik. Jelaslah pula argumentasi kepribumian dan bahkan kebangsaan menjadi apa yang oleh Na’im dalam buku ini disebut sebagai public reason (nalar bublik) sekaligus sebagai bagian dari argumen teologi dalam NU, baik berhadapan dengan gerakan yang anti praktik Islam yang hidup atau pihak pemurnian maupun berhadapan dengan penjajahan politik. Fakta selanjutnya adalah ketika dalam Muktamar di Menes Banten tahun 1938 (Faillard, 1999). Ketika itu muncul dua pertanyaan yang se arah tetapi jawabannya berbalikan. Pertama adalah sebuah pertanyaan, apakah negara Hindia Belanda yang ketika itu di bawah pemerintahan penjajah adalah negara Islam atau negara kafir yang harus diperangi oleh setiap orang Islam. Jika dianggap sebagai negara kafir maka keseluruhan fasilitasi negara terhadap orang Islam tidak syah, seperti pernikahan yang dilakukan oleh penghulu di bawah lembaga negara yang dikuasai oleh penjajah. Jawabnya, Hindia Belanda adalah negara Islam karena tidak melarang orang Islam dan bahkan memberi fasilitas umat Islam untuk beribadah, serta kawasan ini adalah bekas kerajaan-kerajaan Islam. Artinya, keabsahan ibadah orang Islam tidak bisa dikaitkan langsung dengan pandangannya tentang negara.
Pertanyaan kedua adalah apakah NU menerima atau menolak tawaran Belanda dan dorongan dari sebagian aktivis NU sendiri untuk bergabung dalam Volksraad (semacam perawakilan rakyat) yang baru dibentuk penjajah Belanda, yang diasumsikan mewakili umat Islam atau umat NU dalam lembaga politik negara. Hasil voting dalam Muktamar itu, 54 menolak banding 4 menerima. Penolakan itu disamping dengan alasan karena dianggap akan merugikan politik Islam juga sebagai penentangan terhadap eksistensi penjajahan oleh Belanda. Dari dua keputusan dan argumen yang saling bertentangan tersebut dalam waktu yang bersamaan, menunjukan pemisahan antara politik kenegaraan dengan masalah keagamaan. Keabsahan pernikahan yang dianggap sebagai masalah ibadah yang difasilitasi oleh penghulu dari sebuah kekuasaan penjajah tidak bisa dikaitkan langsung dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia atau penentangan penjajahan yang nota bene masalah politik kenegaraan. Secara politik, Hindia Belanda harus dibebaskan dari penjajahan Belanda, tetapi tidak dengan sendirinya bahwa itu akan membatalkan fasilitasi penghulu yang nota bene di bawah kekuasaan penjajah untuk menikahkan orang Islam yang notabene pula masalah ibadah. Karena, jika eksistensi politik dikaitkan langsung dengan masalah ibadah akan muncul masalah kemanusiaan yang tidak bisa dijembatani, sebagai public reason, yaitu semua pernikahan yang difasilitasi oleh pemerintah yang menguasai Hindia Belanda menjadi tidak syah dan akan dianggap berzinah. Ia akan memberi implikasi sangat jauh, misalnya, masalah waris dan keturunan.
Argumen seperti ini cukup rumit tetapi tidak terlalu sulit dipahami jika kemanusiaan atau kepentingan umat ditempatkan sebagai public reason atau pertimbangan utama ketimbang argumen-argumen politik yang bersifat kepentingan (vested interest) dan argumen ideologi yang bersifat abstrak. Secara teologis NU telah mendasarkan keputusannya pada public reason berupa kepentingan umat Islam orang per orang yang kongkrit dalam keputusan politik ketimbang atas dasar kepentingan politik dan ideologi Islam yang bersifat abstrak. Hal yang sama terjadi di tahun 1950an ketika DII/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat dideklarasikan dengan serta merta membatalkan keabsahan kepresidenan Soekarno, karena dianggap tidak sesuai dengan negara Islam yang diinginkan oleh mereka. Karena mereka mengklaim sebagai representasi umat Islam, maka ini juga memunculkan persoalan yang sama (Haedar, 1994). Implikasinya sangat jauh bagi eksistensi umat Islam Indonesia ketika itu.
Sebagai tanggapan terhadap mereka dan melindungi umat Islam Indonesia, maka NU mengumpulkan ulama untuk memberi legitimasi keabsahan kepresidenan Soekarno dengan mengangkatnya sebagai waliyu al-amri adh-dharuri bi asy-syaukah, artinya sebuah pemerintahan yang sah dan legitimatif meskipun untuk sementara sampai akhir hayat. Kepresidenan sebagai sebuah jabatan seseorang bisa saja dipersoalkan karena jabatan itu bisa diisi dengan orang lain, tetapi keabsahan lembaga kepresidenan tetaplah syah tidak tergantung siapa yang menduduki jabatan itu. Karena jika kerpesidenan itu dimasygulkan, maka akan timbul persoalan sebagaimana terjadi pada pemerintahan Hindia Belanda tadi. Sekali lagi, masalah politik kepentingan untuk mengganti seorang presiden, misalnya, tidak bisa dicampur-adukkan dengan keabsahan kelembagaan presiden sebagai lembaga negara yang berimplikasi bagi kepentingan umat dan warga negara secara keseluruhan.
Dengan kata lain, kepentingan orang perorang dalam umat lebih dijadikan pertimbangan utama (ultimate public reason) bagi NU dalam mengambil keputusan penting dalam politik dibandingkan dengan mendasarkan pada doktrin teologi dan idelogi Islam yang abstrak dan tekstual. Kepentingan orang per orang pada umat sebagai ultimate public reason ternyata terus mengalami perkembangan dalam NU. Hal seperti ini terjadi lagi ketika NU menghadapi tekanan Orde Baru ketika dihadapkan pada pilihan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Ketika itu NU masih mengakui dan secara konstitusional sah adanya partai Islam, tetapi dalam realitasnya tidak bisa dan tidak berlaku lagi bahwa semua orang Islam adalah memilih partai Islam. Seruan NU pun untuk memilih partai Islam dimana NU berafiliasi (yaitu Partai Persatuan Pembangunan) tidak lagi efektif karena situasi politik dan berkembangnya keterbukaan dalam masyarakat. Pilihan Pancasila sebagai satu-satunya asas adalah momentum untuk merumuskan kembali pandangan NU tentang negara dan politik. Dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984, NU mengumumkan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dan dalam waktu yang sama menyatakan tidak lagi memiliki hubungan organisatoris dengan partai PPP sebagaai partai Islam dan memberikan hak sepenuhnya kepada warga NU untuk memilih partai apapun yang disukai (Sitompul, 1996). Namun pernyataan itu tidak serta merta menghapuskan Islam sebagai komitmen paling tinggi bagi eksistensinya.
Sebagai jalan keluar, Islam diletakkan pada pasal tentang aqidah sedangkan Pancasila diletakkan sebagai pasal asas --satu-satunya asas-- dalam AD/ART NU. Sekali lagi, NU tidak mempertentangkan antara Islam sebagai aqidah yang harus terus didakwahkan kepada seluruh umat manusia, dengan asas Pancasila sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara. Dan dalam waktu yang sama dideklarasikan kembali bahwa negara Pancasila adalah bentuk final. Pandangan seperti ini bukanlah sekularisme atau bahkan sekularisasi, tetapi membedakan secara tegas antara urusan agama dan urusan negara dalam tataran konstitusi. Apakah dengan demikian tidak boleh lagi Islam mempengaruhi proses politik? Tidak selalu demikian, yang pasti hubungan keduanya tidak hitam-putih melainkan harus dipisahkan antara masalah-masalah yang bersifat prinsipil dalam aqidah Islam dengan masalah kemasyarakatan yang dinamis dan mengalami perubahan terus menerus. NU, misalnya, menyetujui adalah Departemen Agama dan Pengadilan Agama secara terbatas. Pandangan di atas ditopang oleh konsep tiga model solidaritas yang bersifat paralel yang pertama kali diperkenalkan oleh KH. Ahmad Siddiq, Rois ‘Aam Syuriyah PBNU tahun-tahun diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas yang berduet dengan Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Yaitu, Ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan Islam), Ukhuwwah Wathaniyah (persaudaraan antar warga negara) dan Ukhuwwah Insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Konsep ini dimaksudkan untuk memecah kebekuan pandangan sempit bahwa ukhuwwaah Islamiyyah adalah satu-satunya solidaritas yang diperlukan bagi umat Islam, sekaligus untuk menujukkan bahwa tiga model solidaritas itu tidak saling meniadakan melainkan saling memperkuat. Konsep ukhuwwah Islamiyah sebagai satu-satunya solidaritas yang diperlukan bagi umat Islam diperkenalkan dan bahkan dipaksakan oleh kalangan Islam yang dangkal, yang hanya mengajukan Islam sebagai konsep politik yang statis. Yaitu, mereka yang berpendapat Islam huwa din wa daulah.
Argumen NU ini jika kita tilik secara mendalam, maka telah mengalami perkembangan dari berbagai keputusan politik yang diuraikan sebelumnya di atas. Yaitu, jika dalam keputusan politik sebelumnya hanya mempertimbangkan orang perorang dalam Islam atau hanya yang berkitan secara ekslusif dan langsung dengan doktrin Islam seperti nikah, waris dan keturunan, maka dalam peristiwa yang terakhir itu –azas Pancasila-- dalam cakupan lebih luas, yaitu berkaitan dengan hak warga negara dalam memilih dalam politik. Jika argumen ini diteruskan, maka negara dan siapa pun, termasuk kelompok Islam, wajib menjamin dan memberi hak setiap orang untuk memilih dan berpolitik tanpa dibatasi oleh kepemelukan agama –dalam hal ini partai Islam, misalnya: Perlunya diskusi yang lebih detail atas beberapa doktrin Islam. Masalah yang kedua yang saya ingin memberikan masukan adalah bahwa bagi Prof. Na’im, tuntutan penerapan Syari’ah bukan semata-mata sebuah fenomena post-kolonial melainkan ia juga merupakan kelanjutan historis dari peranan Islam dan Syari’ah dalam sejarah umat manusia. Konsekuensinya, ini mengharuskan bahwa Syari’ah harus bukan diletakkan semata-mata sebagai respons terhadap pengaruh Barat dan globalisasi, misalnya, melainkan merupakan tuntutan dari kalangan umat Islam itu sendiri dengan segala pembaharuannya.
Keharusan untuk melalukan pembaharuan dalam Islam dan dalam penerapan Syari’ah bukan hanya karena tuntutan perubahan sosial tetapi watak dari Syari’ah itu sendiri yang berubah dari waktu ke waktu. Prof. Na’im telah menunjukkan dinamika perubahan penerapan Syari’ah dari waktu ke waktu dalam buku ini, bahwa ia sangat tergantung dari banyak aspek, seperti pemikiran keagamaan, sosial politik, bentuk pemerintahan dan perubahan peta dunia Islam. Prof. Na’im telah memberikan tiga patokan bagi perubahan itu yang merupakan realitas kekinian yang tidak mungkin diabaikan jika diinginkan umat Islam sebagai bagian dari dunia yan “normal.” Tiga pedoman atau tiang itu adalah prinsip konstitusionalisme, kewarganegaraan dan hak-hak asasi manusia. Situasi demikian bukan hanya ditunjukkan dalam skala luas seperti dalam buku Prof. Na’im ini. Rudollph Peters (2005), misalnya, memperkuat posisi Prof. Na’im dalam hal hukum kriminal dalam Islam. Menurut penelusuran Peters, secara historis, materi-materi hukum kriminal dalam Syari’ah –yang selama ini oleh sebagian besar kalangan dipersepsikan sebagai dimensi paling ekstrim dalam Syari’ah-- sesungguhnya memberikan bobot moral yang tinggi terhadap perjalanan hukum kriminal modern yang diadopsi dari Eropa di dalam masyarakat dan negara-negara Muslim dan ia juga memberikan sumbangan sangat besar bagi perjalanan hukum kriminal modern tersebut. Hal itu terjadi selama perkembangan hukum kriminal dalam Syari’ah diletakkan dalam bingkai prinsip-prinsip perjalanan masyarakat modern, yaitu tiga tiang yang disebut oleh Prof. Na’im di atas. Namun, sayangnya, menurut Peters, ada kekuasaan-kekuasaan politik tertentu yang tidak sabar dengan proses intelektual dan kreatif dalam masyarakat tersebut dan cenderung menghindari proses evolutif, dengan menggantikan hukum kriminal modern di negara itu dengan segera. Mereka dengan serta merta memberlakukan hukum kriminal Syari’ah Islam apa adanya dari warisan masa lalu untuk menggantikan atau menyetop hukum kriminal modern yang diadopsi dari Eropa dengan serta merta. Cara seperti ini bukan saja sebagian besar hukum kriminal dalam Syari’ah itu malah tidak bisa berjalan dan statis, melainkan ia mengacaukan proses evolusi dan sumbangan positif hukum Syari’an itu sendiri terhadap hukum modern. Perjalanan Syari’ah di Indonesia menunjukkan hal yang sama. Dinamika Syari’ah atau elemen hukum Islam di Indonesia masuk ke dalam sistem hukum Indonesia justeru ketika diletakkan di dalam kerangka negara Indonesia dan sistem hukum nasional Indonesia itu sendiri (Salim and Azra, 2003). Penelusuran Retno Lukito (2003) menunjukkan persaingan antara hukum adat atau hukum asli Indonesia jauh tertinggal dari elemen Syari’ah Islam dalam proses adopsi hukum nasional. Sementara hukum ekonomi Syari’ah seperti Bank tanpa bunga atau bank muamalat, misalnya, bisa berjalan bukan saja ketika ia masuk dalam kerangka hukum Indonesia melainkan malah mengadopsi prinsip-prinsip kapitalisme (Hefner, 2003).
Tetapi dari cerita adopsi positif atas beberapa elemen Syari’ah dalam kerangka hukum nasional dengan tiga tiang tersebut, sesungguhnya menyimpan sejumlah pertanyaan lebih lanjut bagi perlunya diskusi yang lebih mendasar dan detail tentang elemen-elemen Syari’ah itu sendiri. Ini bukan hanya dalam masalah yang berkaitan dengan isu diskriminatif seperti posisi perempuan dan non Muslim melainkan lebih-lebih masalah keadilan secara umum.
Misalnya tentang riba yang kemudian diimplemetnasikan melalui Bank Syari’ah atau tanpa bank bunga dan Zakat yang kemudian melahirkan lembaga BAZIS (Badan Amil Zakat dan Sodaqoh). Pertanyaannya adalah bukan perlu atau tidak perlu doktrin itu di dalam Islam, tetapi apakah doktrin warisan yang ada cukup bermanfaat dan bisa menyelesaikan masalah dalam kehidupan sekarang. Kalau tidak, lalu bagaimana transformasi seharusnya dilakukan?
Implementasi Bank Syari’ah, meskipun berbeda pola dan sistemnya dengan Bank Konvensional dan secara teoritik tidak menerapkan pola bunga (interest), tetapi dalam kenyatannya sama-sama melakukan eksploitasi dan tidak memberi jalan keluar bagi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Dalam praktik Bank Syari’ah tetap saja para pemilik modal dan pemilik uang yang bisa memanfaatkan secara maksimal lembaga itu dan tidak memberikan jalan keluar bagi akses orang miskin terhadap modal dan iklim usaha. Sistem Syirkah dan Mudhorobah, misalnya, dalam praktiknya seringkali lebih memberikan keutungan lebih besar kepada pemilik modal ketimbang dalam sistem konvensional.
Akan halnya BAZIS. Tentu kedua lembaga yang disebut di atas ada manfaatnya, minimal bagi orang-orang tertentu, tetapi apakah penerapan doktrin tanpa resrve dan sikap kritis akan sesuai dengan tujuan etis semula dari misi kenabian Muhammad? Beberapa penerapan Perda Zakat di Indonesia, misalnya, mendapatkan kritik dari para pemgamat dan para pembayar zakat bahwa sebagian dana itu digunakan oleh para pemimpin politik daerah itu untuk memobilisasi dukungan dan oleh pemilik modal sebagai akumulasi perluasan usaha. Saya kuatir dalam berbagai kasus, penerapan seperti itu tanpa sikap kritis dan transformasi terlebih dahulu untuk mencari titik temu antara tujuan etis dan penerapannya justeru terjadi kesenjangan yang terlalu jauh.
Maka diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang fungsi dan kerangka implementasi terhadap doktrin-doktrin seperti itu. Gugatan-gugatan seperti itu harus dilakukan secara detail bukan hanya dalam tataran konseptual melainkan sampai pelaksanaan dan impactnya bagi masyarakat.














Sumber Bacaan:                                                                   
Islam Dan Negara Sekuler
(Abdullahi Ahmed An-Na’im)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar