A.
BIOGRAFI ALI SYARI’ATI
1. Latar
Belakang Kehidupan
Ali Syari’ati adalah anak pertama Muhammad Taqi
dan Zahra, lahir pada 24 November 1933. Bertepatan dengan periode ketika
ayahnya menyelesaikan studi keagamaan dasarnya dan mulai mengajar di sebuah sekolah
dasar, Syerafat. ‘Ali lahir dalam keluarga terhormat. Dalam keluarga ini ritual
dan ritus keagamaan ditunaikan dengan seksama.
Pada masa kanak-kanak ketika teman-temannya
asyik bermain, Syari’ati asyik membaca buku-buku sastra seperti Les Miserable
karya Victor Hugo. Kegemaran ini terus berlanjut hingga masa remajanya. Sejak
tahun pertamannya di sekolah menengah atas, ia asyik membaca buku-buku
filsafat, sastra, syair, ilmu sosial dan studi keagamaan di perpustakaan
ayahnya yang berjumlah 2000 buku. Kegemarannya inilah yang membuat ia jarang
bermain dengan teman-teman sebayanya.
Pada 1955, Syari’ati masuk Fakultas Sastra
Universitas Masyhad yang baru saja diresmikan. Selama di universitas, sekalipun
menghadapi persoalan administratif akibat pekerjaan resminya sebagai guru
full-time, Syari’ati paling tinggi rangkingnya di kelas. Bakat, pengetahuan dan
kesukaannya kepada sastra menjadikannya popular di kalangan mahasiswa. Di
universitas, Syari’ati bertemu Puran-e Syari’at Razavi, yang kemudian menjadi istrinya.
Karena prestasi akademisnya di Universitas ini, dia mendapat beasiswa untuk
melanjutkan studi keluar negeri. Pada April 1959, Syari’ati pergi ke Paris
sendirian. Istri dan putranya yang baru lahir, bernama Ehsan bergabung
dengannya setahun kemudian.
Selama di Paris, Syari’ati berkenalan dengan
karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan, yang mempengaruhi
pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia. Dia mengikuti kuliah-kuliah para
akademisi, filosof, penyair, militan, dan membaca karya-karya mereka, terkadang
bertukar pikiran dengan mereka, serta mengamati karya-karya seniman dan
pemahat. Dari masing-masing mereka Syari’ati mendapat sesuatu, dan kemudian
mengaku berutang budi kepada mereka. Di sinilah Syari’ati berkenalan dengan
banyak tokoh intelektual barat antara lain Louis Massignon yang begitu
dihormatinya, Frantz Fanon, Jacques Berque dan lain-lain.
Namun pribadi Syari’ati yang penuh dengan
semangat perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan, walaupun tidak berada di
Iran, ia tetap berjuang menentang rezim Iran. Antara 1962 dan 1963, waktu
Syari’ati tampaknya habis tersita untuk aktivitas politik dan jurnalistiknya.
Keberanian ini dia ungkapkan sebagai berikut:
Dengan bimbingan dan pertolongan Allah-lah saya
berani menerjunkan diri menghadapi berbagai fenomena, dan dengan cinta dan
dukungan mukjizatlah saya bisa mengatasi hal-hal yang menyakitkan hati saya.
Rahmat Allah telah menyebabkan saya memperoleh tenaga baru sesudah saya
mengalami kejenuhan. Tanpa bekal keahlian apapun saya menempuh jalan yang situ
saya tak akan menyia-nyiakan hidup saya barang sekejappun untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang terlarang. Semoga Allah menolong saya, sehingga saya
bisa mengatasi berbagai kekurangan yang dapat saya tangkap, dan semoga pula semuanya
itu tidak larut oleh kesenangan-kesenangan hidup kala umur yang pendek ini
dipergunakan dalam bentuk seperti ini.
Setelah meraih gelar doktornya pada 1963,
setahun kemudian Syari’ati dan keluarganya kembali ke Masyhad, Iran. Di sini ia
mengajar di sekolah menengah atas. Pada 1965, dia bekerja di Pusat Penelitian
Kementerian Pendidikan di Teheran. Kemudian pada 1967 Ali Syari’ati mulai
mengajar di universitas Masyhad. Inilah awal kontaknya Ali Syari’ati dengan
mahasiswa-mahasiswa Iran. Universitas Masyhad yang relatif tenang dan teduh,
segera saja semarak. Kelas Syari’ati tak lama kemudian menjadi kelas favorit.
Gaya orator Syari’ati yang memukau memikat audiens, memperkuat isi kuliahnya
yang membangkitkan orang untuk berpikir.
Sejak Juni 1971, Syari’ati meninggalkan jabatan
mengajarnya di Universitas Masyhad, lalu dikirim ke Teheran. Ia bekerja keras
untuk menjadikan Hosseiniyeh Ershad menjadi sebuah ‘Universitas Islam’ radikal
yang modernis. Berbagai peristiwa politik di Iran pada 1971 memainkan peranan
penting dalam membentuk dan mengarahkan orientasi serta aktivitas Hosseiniyeh
Ersyad yang semakin militan dan akibatnya semakin terkenal di kalangan kaum
muda. Namun pada tanggal 19 November 1972 Hosseiniyeh Ersyad ditutup dan
Syari’ati di penjara karena berbagai aktivitas politiknya, yang mengecam rezim
Syah.
Pada 16 Mei 1977, Syari’ati meninggalkan Iran.
Ia mengganti namanya menjadi ‘Ali Syari’ati. Tentara Syah, Savak akhirnya
mengetahui kepergian Ali Syari’ati mereka mengontak agen mereka di luar negeri.
Di London Inggeris, pada 19 Juni 1977 jenasah Ali Syari’ati terbujur di lantai
tempat ia menginap.
Kematian yang tragis seorang pejuang Islam yang
teguh memperjuangkan keyakinannya. Ia syahid dalam memperjuangkan apa yang
dianggapnya benar. Ali Syari’ati telah mengkuti jejak sahabat Nabi dan Imam Ali
yang begitu dikagumi dan dijadikan simbol perjuangannya, Abu Dzar Al-Ghifari.
19 Juni tahun 1977, Doktor Ali Syari’ati, seorang cendekiawan Iran kontemporer,
gugur di London akibat dibunuh oleh agen rahasia rezim Shah Pahlevi.
Al-Ummah wa Al-Imamah (Ummah dan Imamah) adalah
karya karya lengkap Ali Syari’ati tentang kepemimpinan dalam Islam. Didalamnya
dijelaskan secara lengkap konsep imamah sekaligus hubungannya engan ummah.
Perspketif yang digunakan adalah perspektif dari ideology Syiah. Walaupun
begitu Ali Syari’ati membahasnya sesuai dengan sejarah-sejarah kepemimpinan
Islam sejak Rasulullah sampai dengan sahabat.
B.
Pemikiran Ali Syari’ati dalam buku Al-Ummah wa Al-Imamah (Ummah dan Imamah)
1. Tujuan Pemerintahan Islam
Konsep
pemerintahan Islam banyak dibahas oleh Ali Syari’ati dalam bukunya ummah dan
imamah. Menurutnya tujuan pemerintahan ini ditentukan oleh konsep negara itu
sendiri. Ali Syari’ati membedakan konsep siyasah dalam istilah Islam dan konsep
politique dalam bahasa Yunani. Berbedaan ini berimplikasi kepada berbedanya
pula tujuan yang ingin dicapai oleh negara.
Siyasah
menurutnya adalah suatu filsafat yang mendobrak dan dinamis, dan tujuan negara
dalam filsafat politik adalah merombak bangunan, pranata-pranata, dan
hubungan–hubungan sosial, bahkan juga akidah, akhlaq, peradaban, tradisi
sosial; dan secara umum menegakkan nilai-nilai sosial diatas landasan pesan
revolusi dan ideologi revolusioner, serta bertujuan merealisasikan cita-cita
dan harapan-harapan yang lebih sempurna, membimbing masyarakat mencapai
kemajuan, menciptakan kesempurnaan dan bukan kebahagiaan, yang baik dan bukan
pelayanan, pertumbuhan dan bukan kenyamanan, kebaikan dan bukan kekuatan yang
hakiki dan superficial, yang kesemua itu bisa dirumuskan dalam satu kalimat
pendek “pembangunan masyarakat” dan bukan “administrasi dan pemeliharaan
masyarakat.
Berbeda
dengan siyasah, politque yang didasarkan kepada filsafat pemerintahan barat.
Politik menurut Ali Syari’ati sama sekali tidak bermaksud membangun melainkan
bertopang pada apa yang mungkin dikerjakan dan politik bertujuan untuk mengatur
negara tidak atas dasar ideologi revolusioner, tetapi berdasarkan pandangan
popular dan mencari perkenan bukan membimbing menuju keutamaan. Politik hanya
bertujuan agar masyarakat hidup nyaman dan bukan melakukan perbaikan terhadap
masyarakat agar mereka bisa hidup dengan baik.
Dari dua
pengertian ini, lanjut Syari’ati, konsep siyasah lebih unggul daripada konsep
politik. Siyasah membangun masyarakat sedangkan politik mengatur negara yang
berimplikasi kepada pemasungan aspirasi rakyat, pengendalian kebijaksanaan
pemerintah, penindasan alam pikiran dan penyingkapan taqiyyah.
Untuk
itulah tujuan dari pemerintahan Islam adalah sama halnya dengan konsep imamah
dalam pengertian Ali Syari’ati. Berkenaan dengan hal ini, ia berkata:
Imamah
bukanlah semacam kantor dan pemelihara masyarakat dalam bentuknya yang beku dan
kaku. Tanggung jawab paling utama dan penting dari imamah-yakni filsafat
politik untuk membentuk imamah dan seperti yang tercakup dalam
pengertiannya-adalah perwujudan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah
kemajuan, perubahan dan transformasi dalam bentuknya yang paling cepat, dan
akan melakukan selerasi dan menggiring ummat menuju kesempurnaan sampai pada
lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan kenyamanan.
Tampaknya
yang digaris bawahi oleh Ali Syari’ati adalah adanya perubahan dalam masyarakat
yang berwujud kemajuan. Perubahan inilah yang tonggak dari pemerintahan Islam.
Ali Syari’ati menghendaki seluruh dari rakyat sebagai individu yang merupakan
bagian dari negara tidak sekedar eksis melainkan membetuk diri kepada keadaan
yang lebih baik: “…tujuan manusia bukan sekedar eksis, melainkan pembentukan diri.
Umat, dengan demikian, tidaklah bebas dari keenakan berdiam ditempatnya, tetapi
ia harus lestari dan senantias bergerak cepat”.
Sebab
pada dasarnya manusia memiliki dua karakteristik yaitu suatu transformasi terus
menerus menuju tercapainya kesempurnaan-kesempurnaan yang mutlak dan perjalanan
tanpa henti untuk menciptakan nilai-nilai yang tertinggi. Dua prinsip diatas,
mengandung makna revolosioner yang amat dalam yang membukakan ufuk yang amat
luas.
Sebagai
aplikasi dari keinginan-keinginan dari Ali Syari’ati untuk mewujudkan perubahan
revolusioner dalam masyarakat Islam. Ia banyak menulis buku yang menggugah
semangat juang para kaum muda. Selain itu ia juga mendirikan Husayniyah Irsyad
yang kerap melakukan riset diberbagai bidang.
2. Dasar-Dasar Pemerintahan Islam
a. Keadilan
Dalam
pandangan Ali Syari’ati keadilan merupakan fundamen yang sangat penting dalam
masyarakat Islam. Hal ini diungkapkan oleh Ali Syari’ati dengan melihat bahwa
keadilan termasuk dari infra struktur dari sistem dunia Islam. Berkenaan dengan
hal ini ia berkata sebagai berikut:
Keadilan
dalam maz\hab Syi’ah ialah suatu keyakinan kepada konsep bahwa keadilan adalah
sifat intrinsic Allah. Dengan demikian, setiap tindakan manusia-entah benar
atau salah-haruslah dinilai oleh-Nya. Karena itu, ‘adl adalah infrastruktur
sistem dunia dan pandangan kaum muslimin didasarkan atasnya. Konsekwensinya,
jika suatu masyarakat tidak dibangun atas landasan ini, maka ia adalah
masyarakat yang sakit dan menyimpang, yang dipastikan bakal hancur lantaran,
seperti telah disebutkan, Allah bersifat adil dan penciptaan bertumpu diatas
keadilan. Oleh sebab itu, sistem-sistem kehidupan haruslah juga didasarkan
atasnya dan karena kenyataan ini, maka kediktatoran dan ketidakadilan dalam
pemerintahan adalah system-sistem anti-Tuhan yang tidak alamiah, yang mesti
ditumbangkan dan dihancurkan.
Pernyataan
ini menilik begitu pentingnya keadilan dalam tatanan sebuah pemerintahan Islam.
Keadilan pula ialah suatu tujuan dari gerakan-gerakan revolusi Islam, khususnya
revolusi Iran.
b.
Imamah
Imamah
dalam pandangan Ali Syari’ati memiliki arti penting sebagai dasar dari
pemerintahan Islam. Dalam banyak tulisannya ia menekankan bahwa tegak
berdirinya sebuah pemerintah tergantung kepada imam. Sebab dalam ajaran syi’ah
ada suatu keyakinan akan adanya imam al-Ashr atau imam sepanjang zaman (imam of
the Age) yang akan melakukan revolusi pemikiran dan gerakan.
Imamah
menurutnya adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan
dengan rezim-rezim politik guna membimbing manusia serta membangun masyarakat
diatas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran,
pertumbuhan dan kemandirian dalam mengambil keputusan.
3.
Kepemimpinan dalam Pemerintahan Islam
a.
Konsep Imamah
Ali
Syari’ati memulai konsep imamah dengan terlebih dahulu menerangkan makna ummah.
Ia membandingkan istilah Nation, Qaum, Qabilah dan Sya’b dengan ummah. Baginya,
keempat istilah itu – dengan pengecualian pada istilah qabilah – sama sekali
tidak mengandung arti kemanusiaan yang dinamis. Hanya saja, kelebihan istilah
qabilah ditemukan pula pada istilah ummah. Istilah yang terakhir ini masih
memiliki kelebihan lain dibandingkan istilah qabilah, yakni ia mempunyai
gerakan yang mengarah pada tujuan yang sama. Dalam istilah ummah, gerak yang
mengarah ke tujuan bersama itu justru merupakan landasan ideologis.
Istilah
ummah secara terperinci mengandung tiga konsep: kebersamaan dalam arah dan
tujuan; gerakan menuju arah dan tujuah tersebut; dan keharusan adanya pimpinan
dan petunjuk kolektif. Dari kajian filologi ini, Syari’ati memandang bahwa
sesungguhnya tidak mungkin ada ummah tanpa imamah. Apa karakteristik imamah
itu? Sebagaimana istilah ummah, istilah imamah menampakkan diri dalam bentuk
sikap sempurna, di mana seseorang dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan
pendinamisan massa. Yang pertama berarti menguasai massa sehingga berada dalam
stabilitas dan ketenangan, dan kemudian melindungi mereka dari ancaman,
penyakit, dan bahaya. Yang terakhir berkenaan dengan asas kemajuan dan perubahan
ideologis, sosial dan keyakinan, serta menggiring massa dan pemikiran mereka
menuju bentuk ideal.
Syari’ati
memandang umat dan imam dalam kondisi yang dinamis, yang selalu bergerak ke
arah perubahan demi tujuan bersama. Ia memandang bahwa tanggung jawab paling
utama dan penting dari Imamah adalah perwujuan dari penegakan asas pemerintahan
pada kaidah kemajuan, perubahan dan transformasi dalam bentuknya yang paling
cepat, lalu melakukan akselerasi, dan menggiring umat menuju kesempurnaan
sampai pada lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan
kenyamanan. Dalam kalimat lain namun senada ia menulis:
Imamah
dalam mazhab pemikiran Syi’ah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner
yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia
serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal
mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil
keputusan.
Tugas
imam, di mata Syari’ati, tidak hanya terbatas memimpin manusia dalam salah satu
aspek politik, kemasyarakatan, dan perekonomian, juga tidak terbatas pada
masa-masa tertentu dalam kedudukannya sebagai panglima, amir atau khalifah,
tetapi tugasnya adalah menyampaikan kepada umat manusia dalam semua aspek
kemanusiaan yang bermacam-macam. Seorang Imam dalam arti seperti ini, tidak
terbatas hanya pada masa hidupnya, tetapi selalu hadir di setiap saat dan hidup
selamanya. Walaupun demikian, Syari’ati mengingatkan bahwa imam bukanlah
supra-manusia tetapi manusia bisa yang memiliki banyak kelebihan di atas
manusia lain atau manusia super.
Selain
itu, Syari’ati mulai menyinggung peristiwa Saqifah. Menurutnya, dengan
mengabaikan polemik nass-wasiyyat, di satu sisi, dan bay’at al-syura, di sisi
lain, dalam peristiwa Saqifah hanya ada lima suara: dua suara dari kabilah Aus
dan Khazraj, tiga suara dari Muhajirin, yakni Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah
bin al-Jarrah. Itu pun dengan catatan apabila pemimpin kabilah Aus, Sa’id bin
Mu’adz, sudah tidak ada lagi, maka otomatis Sa’ad bin Ubaidah, pemimpin
Khazraj, menjadi pemimpin tunggal orang Madinah menghadapi kelompok Mekah –
yang terakhir ini disebut Syari’ati telah memiliki kesadaran politik tinggi,
sebagamana terbukti pada akhirnya, di mana mereka (kelompok Mekah) tahu betul
apa yang sedang mereka hadapi, dan bagaimana pula seharusnya bertindak.Syari’ati
bermaksud mengatakan bahwa aspirasi dan kebutuhan penduduk Madinah hanya
ditemukan oleh lima suara, yang berarti mengabaikan ratusan suara lainnya,
dalam peristiwa Saqifah.
Bagi
Syari’ati, sesungghunya prinsip bay’at al-syura dan nass-wasiyyat tidaklah
bertentangan sama sekali dan tidak pula ada di antara keduanya yang merupakan
bid’ah dan tidak Islami. Baik bay’a, musyawarah, maupun ijma’ (demokrasi)
adalah salah satu kaidah Islamiyah yang diajarkan oleh Al-Quran. Ali Syari’ati
menegaskan sebagai berikut:
tidak
ada seorang pun yang dapat mengingkari adanya wasiat Rasulullah kepada Ali Umat harus melaksanakan wasiat ini dan
menyerahkan persoalan mereka kepada washi (orang yang diberi wasiat), dan kalau
itu tidak mereka lakukan, mereka akan tersesat.
Dalam
pandangan Syari’ati, was}iyyat itu berfungsi sepanjang beberapa generasi,
hingga kelak tiba pada masanya masyarakat dapat berdiri sendiri di atas kaki
mereka, lalu memulai- setelah berakhirnya imamah atau tahap wasiat – tahapan
pembinaan revolusioner tertentu, suatu tahap bay’a, musyawarah, dan ijma’ atau
apa yang disebut Syi’ah atau para wasiyyat Al-Rasulullah berjumlah dua belas
imam, tidak lebih. Sementara jumlah pemimpin masyarakat (politik) sesudah wafat
Nabi hingga akhir sejarah, jumlahnya tidak terbatas.
Pada
masa-masa awal wasiyyat digunakan dalam proses suksesi. Selanjutnya, menurut
Syari’ati, setelah pada tahun 250 H (tahun gaibnya Imam ke-dua belas) baru
berlaku prinsip syura. Kalau ini berjalan mulus maka pada 250 H kita telah
mempunyai masyarakat yang sempurna bentuknya, dan memiliki kelayakan yang
membuatnya patut memilih pemimpin mereka yang paling baik melalui asas
musyawarah, yang kemudian menduduki kursi kepemimpinan, dan menggerakkan
sejarah sesuai dengan jalur yang telah digariskan oleh risalah Muhammad Saw.
Masa
sepeninggal Nabi sampai 250 H adalah masa revolusi yang tidak membutuhkan
demokrasi. Sayangnya, menurut Syari’ati, sesuatu yang tidak terduga telah
muncul di Saqifah, bani Sa’idah dan menyeret perjalanan sejarah Islam ke arah
lain. Syari’ati pun berandai-andai, kalau seandainya peristiwa Saqifah itu
terjadi pada 250 H dan tidak pada tahun 11 H, niscaya sejarah akan lain
bentuknya. Sebab, meminjam istilah Chandle, demokrasi – bagi masyarakat belum
maju – merupakan musuh demokrasi itu sendiri.’
b. Pemilihan Pemimpin
Akar
awal Ali Syari’ati dalam tulisannya menggambarkan beberapa sistem pemilihan
pemimpin yang dikenal pada masa sekarang hingga akhirnya ia menawarkan satu
konsep tentang pemilihan imam. Diantara mekanisme pemilihan tersebu adalah:
Pertama,
kudeta (Coup d’Etat), istilah Coup berarti pukulan atau serangan
dan etat adalah pemerintah. Dengan demikian coup etat berarti gerakan yang
secara mendadak dilakukan dalam bentuk pemberontakan guna menumbangkan
pemerintahan yang berkuasa. Kemudian pemberontak itu menjadi penguasa baru yang
menggantikan penguasa lama yang ditumbangkannya.Kedua, intervensi dan hegemoni.
Istilah ini dalam pandangan Syari’ati adalah dominasi atas nasib bangsa melalui
serangan yang dilancarkan oleh kekuatan asing yang kemudian menaklukkan negeri
tersebut.Ketiga, pewarisan, bentuk ini paling banyak digunakan dalam sejarah
pemilihan. Bagi kaidah pewarisan terdapat kebenaran yang bersifat sosio
filosofis. Keempat, revolusi, yang dimaksud disini adalah revolusi dalam
pengertian politik bukan dalam pengertian sosial, perhatian ditujukan untuk
terciptanya perubahan struktur sosial, yang secara politis dimaksudkan sebagai
perubahan insitusi politik dan sistem pemerintahan, dan gerakan ini dilakukan
oleh mayoritas rakyat.
Selain
hal tersebut Syari’ati menyajikan pula bentuk pemilihan pencalonan akan tetapi
Syari’ati mempertanyakan apakah pencalonan ini atau pemilihan dengan system
lain adalah cara yang paling baik.
Sekarang
kita bertanya, ”mungkinkah unsur-unsur yang lahir , tumbuh, dan memberi
petunjuk dalam bentuk seperti ini-dapat direalisasikan melalui pemberian
jabatan, pemilihan umum, pewarisan atau pencalonan? Pertanyaan lain yang
muncul, ’apakah imam dipilih melalui pengangkatan atau pemilihan ataukah
berdasarkan penunjukan Nabi Muhammad SAW, atau imam sebelumnya. Pertanyaan-pertanyaan
ini dijawab oleh Syari’ati dengan negatif. Menurutnya dalam ajaran syiah, imam
dipilih tidak dengan cara diatas melainkan dengan membuktikan kapabelitas
seseorang sebagai pemimpin. Imam bukan dipilih oleh orang diluar dirinya akan
tetapi ia muncul dari dalam dirinya sendiri. Ia berkata:
Imam
adalah suatu hak yang bersifat esensial yang muncul dari diri seseorang.
Sumbernya adalah diri imam itu sendiri, dan bukan dari faktor eksternal,
semisal pengangkatan atau pemilihan. Pertama-tama ia adalah imam sebagai posisi
puncak dan manusia paling terpilih lantaran ia memiliki aspek-aspek dan
kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan terdahulu. Dia adalah seorang imam,
tak perduli apakah ia muncul dari penjara Al-Mutawakkil maupun dari mimbar
Rasul, baik didukung oleh seluruh umat atau hanya diketahui keaguangnnya oleh
tujuh atau delapan kelompok saja.
Dalam
alinea lain, ia menjelaskan bahwa imam adalah suatu hak yang bersifat esensial
yang muncul dari diri seseorang. Sumbernya adalah dari diri imam itu sendiri,
dan bukan dari faktor eksternal, semisal pengangkatan atau pemilihan. Syari’ati
menyimpulkan:
Imamah
tidak diperoleh melalui pemilihan, melainkan melalui pembuktian kemampuan
seseorang. Artinya, masyarakat – yang merupakan sumber kedaulatan dalam sistem
demokrasi – tidak terikat dengan imam melalui ikatan pemerintahan, tetapi
berdasarkan ikatan orang banyak dengan kenyataan yang ada (pada imam tadi).
Mereka bukan menunjuknya sebagai imam, tetapi mengakui kelayakannya (sebagai
seorang imam).
Jika
logika Syari’ati di atas diteruskan, maka persoalannya apakah ada pemisahan
lapangan kerja antara imam (yang diakui) dengan khalifah (yang dipilih)?
Syari’ati menolak pandangan ini karena akan bermuara kepada pemisahan antara
agama dan negara. Kendati demikian, itu selalu identik dengan imamah. Baginya,
Imamah terbatas hanya kepada pribadi-pribadi tertentu sebagaimana halnya
dengann nubuwah, sedangkan pemerintahan tidak terbatas pada masa, sistem dan
orang-orang tertentu. Satu-satunya garis pemisah yang ditegaskan Syari’ati
adalah:
Pemerintahan
(khilafah) itu merupakan tanggung jawab yang tidak terbatas dalam sejarah,
sedangkan imamah terbatas, baik dalam masa maupun orangnya. Dengan mengabaian
perbedaan tadi, imamah dan khilafah sebenarnya merupakan tanggung jawab yang
satu, untuk mencapai satu tujua dengan satu keterbatasan, seperti telah
dikemukakan di atas, di mana seorang penguasa tidak selamanya seorang imam.
Dalam
hubungannya dengan peristiwa Saqifah, ada dua persoalan besar dari alur logika
Syari’ati di atas. Pertama, bagaimana hubungan imam dengan khalifah yang ada
pada masa yang sama? Kedua, apakah imam tersebut harus dipilih oleh Allah atau
Nabi sebagai pilihan yang harus pula diterima oleh umat manusia, kemudian
diangkat sebagai imam untuk memimpin mereka dalam bidang politik, ataukah ia
dipilih oleh manusia sendiri melalui musyawarah dan pemilihan umum?
Dalam
pandangan Syari’ati hubungan khalifah dengan imam yang ada pada satu masa
merupakan bentuk hubungan seorang pemimpin spiritual, politik dan sosial dengan
penguasa, sebagaimana halnya yang ada pada hubungan antara Gandhi dengan Nehru.
Bentuk seperti ini, di mata Syari’ati, adalah bentuk yang wajar, dan pemisahan
antara kedua tugas tersebut dapat memberi jaminan bagi tetap terpeliharanya
keagungan dan kehormatan imam.
Sepintas
memang jawaban Syari’ati bertentangan dengan tidak setujunya ia pada pemisahan
kerja khilafah dan imamah, yang menurutnya akan bermuara pada pemisahan antara
politik dan agama. Dapat dijelaskan bahwa bagi Syari’ati, pemisahan antara
urusan politik atau negara dan agama bukan produk Islam, tetapi produk sejarah
Islam yang terpengaruh nilai-nilai nasrani. Pada mulanya, seorang pemimpin
mengurusi masalah politik dan agama sekaligus. Ia bagaikan Nabi Muhammad yang
memimpin perang tetapi juga menjadi imam sholat. Sejarah Islam kemudian
mencatat terjadinya pergeseran yang memisahkan antara khilafah dan imamah dalam
bentuk aplikatif. Dan ini tidak disetujui oleh Syari’ati.Ini dipersulit dengan
terjadinya pemisahan keduanya dalam ruang dan waktu yang berbeda. Terjadi pula
pereduksian peranan imamah dan khilafah dalam sejarah Islam, lalu masing-masing
ditempatkan dalam medan yang sempit.
Adapun
yang dimaksud Syari’ati dengan pemisahan khilafah dan Imamah (atribut/sifat) di
atas adalah pada tataran realitas. Ada imam yang diakui oleh sekelompok orang,
lalu kelompok yang lain memilih orang lain untuk menjadi khilafah. Di sini
perlu diingatkan bahwa, bagi Syari’ati, imamah bukanlah jabatan tetapi atribut
(sifat). Penunjukan atas orang lain sebagai khilafah di saat adanya imam, dapat
disejajarkan dengan penerimaan terhadap seorang Nabi sebagai seorang Rasul –
seperti yang diberlakukan pada Yesus – dan menunjuk orang lain pada jabatan
pemerintahan bagi bangsa Arab atau kaum muslim Emperor Islam, sebagaimana
halnya dengan Kaisar.
Bagi
Syari’ati, dalam ajaran Islam tidak dikenal pemisahan urusan negara atau
politik dengan agama. Jika terjadi pada satu masa adanya imam dan adanya
Khalifah maka hubungan yang terjadi adalah bagaikan hubungan Nehru dan Gandhi.
Imam meski diam di rumah tidak berarti ke-imam-annya hilang, karena imam adalah
atribut (sifat); tanpa melewati pemilihan. Dengan demikian, tanggung jawab dan
tugas seorang imam – meski tidak dipilih sebagai khalifah – tetaplah ada.
Berbeda
dengan konsep sekular yang betul-betul menghendaki pemisahan antara negara dan
agama; dalam konsep Syari’ati, kalau pun harus terjadi – adanya imam dan
khalifah dalam satu masa – maka yang ada adalah adanya pemimpin politik dan
pemimpin spiritual. Apabila kemudian imam terpilih sebagai khalifah (melalui
pemilihan), seperti yang terjadi pada Imam Ali dan Imam Hasan, maka bukanlah
hal yang tabu bersatunya pemimpin politik dan pemimpin spiritual dalam diri
satu pemimpin. Ini yang tidak mungkin terjadi dalam konsep sekular karena
pemimpin spiritual bukanlah sebuah sifat tetapi sebuah jabatan tersendiri.
Berangkat
dari tesis bahwa imam adalah sifat (atribut), ketika yang bukan imam menjadi
khalifah maka bukannya hak imam yang terampas; tetapi yang terampas adalah hak
umat manusia. Seorang imam tetap menjadi imam meskipun ia tidak menjalankan
kekuasaan duniawi. Yang terampas haknya (dari memperoleh manfaat atas kehadiran
imam) adalah makmum. Adalah hak umat untuk mendapat bimbingan dari imam dan
bila ada “rekayasa” maka yang paling merugi adalah umat; karena umatlah yang
terampas haknya.
Persoalan
kedua sesungguhnya bermuara pada dua prinsip; pengangkatan dari Tuhan dan ijma’
umat Islam. Sejarah telah menjelaskan bahwa Syi’ah cenderung pada prinsip
pertama dan Sunni cenderung pada prinsip kedua. Syari’ati menyerang prinsip
kedua yang oleh Sunni dianggap telah menjadi unsur penting pada peristiwa
Saqifah. Syari’ati sempat “terbang” ke Konferensi Asia Afrika di Bandung,
menyebut Jenderal De Gaul dari Maroko, mengutip Profesor Chandle yang
mengatakan, “musuh demokrasi dan kebebasan yang paling besar adalah demokrasi,
liberalisme, dan kebebasan individu itu sendiri”, menyerang dunia Barat atas
kecurangan mereka dalam memperkenalkan demokrasi, menyerang Robert Kennedy,
revolusi kebudayaan di Cina dan revolusi Perancis. Syari’ati menyebut semua itu
untuk menyerang demokrasi dan pemilihan pemimpin dengan suara terbanyak.
c. Hubungan Imamah dengan Ummah
Ali
Syari’ati tidak secara jelas menyiratkan hubungan antara ima>mah dengan
ummah. Ia hanya menyatakan bahwa ummat membutuhkan sebuah teladan yang menjadi
uswah, karena dalam pandangannya panutan itu akan mendidik manusia menuju jalan
perubahan. Ia berkata sebagai berikut :
Jadi,
teladan yang ideal dan sempurna bagi manusia, jelas merupakan sesuatu yang amat
penting, agar manusia dapat menempuh perjalanan menuju kesempurnaan dan
mencapai tingkat tertinggi, serta mewarnai kepribadian mereka dengan
kesempurnaan itu. Hal semacam ini adalah sesuatu yang wajar-wajar saja, seperti
yang dikatakan ayah saya, bahwa para panutan kita, yang berkewajiban mendidik
dan mewarnai moral kita melalui petunjuk berupa prilaku dan kelebihan-kelebihan
mereka, tak bias tidak adalah manusia seperti kita juga
Dan yang
menjadi uswah tak lain adalah para imam, berhubungan dengan ini ia juga
berkata:
Pada
saat yang sama, ketika pengaruh imam yang spritual dan padagogik terhadap kalbu
dan peranan spritualnya dalam membimbing umat manusia dapat disamakan dengan
peran yang dimainkan oleh para hero dalam sejarah dan mitologi serta
personifikasi keagungan nilai-nilai kemanusian, maka perwujudan dan hakikat
imam tidak mungkin dapat dimasukkan dalam kategori para hero. Sebab imam
bukanlah tokoh mitologi dan bukan pula pahlawan dalam sejarah, tetapi merupakan
ungkapan seorang manusia yang wajar sebagaimana manusia yang lain. Bedanya,
dalam diri imam tersebut terdapat perwujudan-perwujudan dan teladan-teladan
dalam karakter semua jenis manusia yang dianggap paling sempurna.
Dari
penjelasan tersebut, imam dalam pandangan Ali Syari’ati adalah manusia yang
hebat dan patut untuk diteladani. Bahkan Ali Syari’ati menyamakannya dengan
pahlawan. Pandangan ini merupakan karakteristik dari pemikiran-pemikiran Ali
Syari’ati sekaligus khas pemikiran syiah. Sebagaiman dijelaskan di awal bahwa
Ali Syari’ati sangat mengistimewakan kedudukan imam. Imam bukanlah posisi yang
dipilih oleh rakyat akan tetapi ditentukan oleh kemampuan dirinya sendiri.
Dengan demikian hubungan antara imam dengan ummah dalam pemikiran Ali Syari’ati
adalah bahwa ummah seharusnya meneladani imam dan seorang imam harus bisa
membawa ummah kepada perubahan yang lebih baik.
C. Tanggapan penulis
Terhadap Pemikiran Ali SyariaTI
Setelah kita membaca mengenai pemiran
Ali Syaria’ti dalam bukunya ummah dan imamah maka kita dapat mengetahui
bagaimana konsep pemikiran Ali Syariati dalam pemerintahan dan kenegaraan. Buku
karyanya tersebut adalah karya yang begitu lengkap membahas mengenai masalah
pemerintahan. Adapun tanggapan penulis mengenai pemikiran Ali syariati maka
penulis berangkat dari tinjauan historis terlebih dahulu. Yang mana semua itu
berawal pada akhir dari khulfaurasyidin.
Setelah perkembangan Kissaniah yang
terjadi di kalangan Syi’ah pada ujung abad pertama Hijrah, yang mengutamakan
perhatiannya pada gagasan wasiat dari Nabi yang mulia kepada Imam Ali, yang ia
pada gilirannya, memindahkan kepada Hassan dan Hussain pada saat kematiannya;
kemudian berpindah kepada Muhammad bin Hanafiyyah, yang ia kemudian
menganugerahkannya kepada putranya Abu Hashim Abdullah, perkembangan tersebut
selanjutnya mendorong terjadinya faksionisasi pergerakan Syi’ah ke dalam
beberapa sekte pada ujung abad pertama Hijrah, ketika berbagai kelompok
meng-klaim (mempunyai) suatu wasiat dari Abu Hashim. Hal ini dengan cepat
mendorong terjadinya perselisihan internal yang parah di kalangan Ahlul Bait
Nabi, menjadi terpecah-belah ke dalam Abbasiah, Alawiyah, Talibiyah, Fatimiyah,
Hassaniyah, Hussainiyah, Zaydiyah dan Ja’fariyah.
Setelah perkembangan di atas dan apa
yang terjadi pada sekelompok kecil Syi’ah tersebut, perkembangan lainnya
terjadi di tengah-tengah mereka pada permulaan abad ke-2 Hijrah, dengan adanya
pembatasan Imamah pada Ahlul Bait Hussain, dan menetapkan, dari antara mereka
putra tertua (sulung) dari Imam terakhir, dan mengklaim adanya ‘ismah’ (tidak
pernah berbuat salah) dan pemilihan para Imam oleh Allah.
Tolak ukur pembahasan kita adalah
kata imam dan imamah, sedang yang akan kita hukumi adalah kata khalifah
dan khilafah, dari segi apakah ia semakna dengan kata imam
dan imamah. Semuanya kita pelajari sebagai istilah yang dipakai oleh
para ulama sunni dalam karya-karya akidah maupun fiqh mereka, bukan dalam
konteks yang lain. namun sebelumnya, perlu kita ungkap terlebih dahulu makna
bahasa dari istilah tersebut.
Imam dan imamah berakar dari kerja amma (أمّ). Dalam
kamus Lisanul ‘Arab dijelaskan bahwa kata kerja amma (أمّ)memiliki
makna “mendahului orang lain” atau “menempatkan diri pada posisi di depan orang
lain. “. Dalam kalimat misalnya : amma Zaidun al-qouma atau amma
Zaidun bilqoumi, kedua bentuk kalimat itu memiliki satu makna, yaitu Zaid
menempatkan diri atau berjalan di depan sekelompok orang (taqoddamahum).
Keadaan atau hal ihwal dimana Zaid berada di depan suatu kaum inilah yang disebut
imamah. Maka dari itu, orang yang berada di depan pada saat
sholat berjama’ah disebut imam, iabertindak sebagai orang
yang diikuti oleh para ma’mum di belakangnya. Dari sinilah kata imam
itu kemudian dimaknai sebagai setiap orang yang diikuti oleh suatu kaum.
Maka, dalam bahasa yang mudah, imam itu bisa kita artikan seagai
pemimpin (leader), sedangkan imamah adalah kepemimpinan
(leadership).
Adapun kata khalifah
dan khilafah maka keduanya berasal dari kata kerja (fi’l) khalafa
– yakhlufu (خلف – يخلف), yang berarti “menggantikan orang lain untuk menempati
kedudukan yang pernah ia tempati”. Sedangkan khalifah merupakan ism
faa’il (sebutan bagi pelaku) dari kata kerja tersebut. Meski kata khalifahberwazan
fa’iil namun maknanya adalah faa’il, seperti halnya ‘aliim yang
bermakna ‘aalim, sehingga secara harfiah ia bisa diartikan sebagai
“pengganti” alias orang yang menggantikan kedudukan pendahulunya. Sementara itu
kata khilafahadalah mashdar (gerund) alias kata
benda yang diturunkan dari kata kerja kholafa tersebut, sehingga
secara literal ia bisa diartikan sebagai “proses penggantian” alias suksesi.
Orang Arab, sebagaimana dikutip oleh Al-Qolqosyandi- mengatakan : kholafahuu
fii qoumihii yakhlufuhuu khilafatan fahuwa kholiifatun (ia menggantikan
kedudukannya (pendahulunya) di tengah-tengah kaumnya, menggantikannya dengan
suatu proses penggantian (khilafah) maka dia adalah seorang
pengganti (khalifah)). Ibnu Mandhur menyatakan, “yuqoolu
: kholafa fulaanun fulaanan idzaa kaana kholiifatahu. Wa yuqoolu: kholafahuu
fii qoumihii khilaafatan” (dikatakan bahwa Si A menggantikan si B apabila
dia menjadi khalifah-nya. Dan dikatakan: ia menggantikan
(kedudukan)-nya di tengah kaumnya dengan sebuah suksesi/khilafah).
Singkatnya, khalifahadalah pengganti sedangkan khilafah
adalah proses penggantian. Menilik hal tersebut, secara bahasa, keduanya
memang tidak layak disandingkan dengan kata imam dan imamah mengingat
maknanya yang jauh berbeda.
Teori Imamah
mengatakan: Imamah adalah suatu urusan Ilahi dan penunjukan seorang Imam baru
dibuat melalui intervensi dari Allah, dan tidak ada ruang bagi keinginan
(pribadi) dari Imam sebelumnya dalam hal itu.
Amr bin Ash’ath
berkata bahwa ia mendengar Imam Sadiq berkata: “Tampaknya kamu berpikir urusan
ini adalah di tangan salah satu dari kami, Ia (Allah) menempatkannya di mana Ia
kehendaki! Tidak, demi Allah, hal ini merupakan suatu perjanjian dari
Rasulullah yang menyebutkan namanya seorang kemudian yang lainnya, hingga
menjangkau pemiliknya.” (19) Ali bin Babawaih: Al-Imamiah wa al-Tabsirah min
al-Hayrah, hal. 165.
Isma’il bin Ammar
berkata bahwa ia suatu ketika bertanya Abu al-Hassan yang pertama (Kadhim),
tentang Imamah: “Apakah hal itu sebuah kewajiban dari Allah bahwa Imam harus
memberikan sebuah wasiat dan sebuah perjanjian (karena seseorang yang datang
selepas dia) sebelum ia meninggalkan dunia ini?” Ia menjawab “Ya” Kemudian ia
berkata, Apakah hal itu suatu kewajiban dari Allah?“ Ia menjawab: “Ya”. (20)
Ali bin Babawaih: Al-Imamiah wa al-Tabsirah min al-Hayrah, hal. 165.
Yahya bin Malik
berkata bahwa ia bertanya kepada Imam Rida tentang firman Allah Yang
Diagungkan: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya,..” (QS,4:58). Ia menjawab: Imam tersebut mengembalikannya
kepada Imam.” Kemudian ia berkata: “Wahai Yahya, demi Allah hal ini tidak dari
dia (Imam), tetapi suatu urusan dari Allah”. (21) Ali bin Babawaih: Al-Imamiah
wa al-Tabsirah min al-Hayrah, hal. 166.
Hal ini adalah
abstraksi yang paling penting dalam ilmu agama yang telah sampai kepada kita
dari generasi Syi’ah Imamiah yang pertama, yang memulai ceramah secara
keagamaan tentang Imamah, ‘ismah’, dalil Iilahiah dan wasiat, sebagaimana yang
disebutkan oleh ulama yang mempelajari kepribadian ke-12 Imam Syi’ah, seperti:
al-Kashi, Najashi, Saduq, Mufid, Tusi dan Hilli. Ahli ilmu agama yang kemudian,
seperti al-Fadl bin Shadhan bin Khalil al-Azdi al-Nisapuri (yang meninggal pada
pertengahan abad ke-3 Hijrah), ia menulis sejumlah buku yakni, ‘Masa’Il fi
al-Imamah’, ‘Kitab al-Imamah al-Kabir’ ‘ Al-Khisal fi al-Imamah’, ‘Fadl
al-Muminin’ dan ‘Kitab al-Qa’im’, dan Al-Rawandi pengarang ’Al-Imamah’ dan
Thubait bin Muhammad Abu Muhammad Askari, sahabat Abu Isa Al-Warraq, ia adalah
orang yang al-Hilli menjelaskan tentang dia, ‘seorang ahli ilmu agama yang
cerdas, dan bahwa buku yang dikaitkan dengan Abu Isa al-Warraq ditulis oleh
dia,’ Fadl bin Abd Rahman, Abu Sahl Ismail bin Ali Nukhbati (wafat 290 AH), Abu
Ja’far Abdul Rahman bin Qubbah (ia meninggal pada pertengahan abad ke-4 Hijrah)
penulis ’Al-Insaf wa al-Intisaf fi Al-Imamah’, Sharif Murtada (wafat 441 AH),
penulis ’Kitab al-Shafi fi al Imamah’ dan karya lainnya.
Tolak ukur pembahasan kita adalah
kata imam dan imamah, sedang yang akan kita hukumi adalah kata khalifah
dan khilafah, dari segi apakah ia semakna dengan kata imam
dan imamah. Semuanya kita pelajari sebagai istilah yang dipakai oleh
para ulama sunni dalam karya-karya akidah maupun fiqh mereka, bukan dalam
konteks yang lain. namun sebelumnya, perlu kita ungkap terlebih dahulu makna
bahasa dari istilah tersebut.
Imam dan imamah berakar dari kerja amma (أمّ). Dalam
kamus Lisanul ‘Arab dijelaskan bahwa kata kerja amma (أمّ)memiliki
makna “mendahului orang lain” atau “menempatkan diri pada posisi di depan orang
lain. “. Dalam kalimat misalnya : amma Zaidun al-qouma atau amma
Zaidun bilqoumi, kedua bentuk kalimat itu memiliki satu makna, yaitu Zaid
menempatkan diri atau berjalan di depan sekelompok orang (taqoddamahum).
Keadaan atau hal ihwal dimana Zaid berada di depan suatu kaum inilah yang
disebut imamah. Maka dari itu, orang yang berada di depan pada
saat sholat berjama’ah disebut imam, iabertindak sebagai
orang yang diikuti oleh para ma’mum di belakangnya. Dari sinilah kata imam
itu kemudian dimaknai sebagai setiap orang yang diikuti oleh suatu kaum.
Maka, dalam bahasa yang mudah, imam itu bisa kita artikan seagai
pemimpin (leader), sedangkan imamah adalah kepemimpinan
(leadership).
Adapun kata khalifah
dan khilafah maka keduanya berasal dari kata kerja (fi’l) khalafa
– yakhlufu (خلف – يخلف), yang berarti “menggantikan orang lain untuk menempati
kedudukan yang pernah ia tempati”. Sedangkan khalifah merupakan ism
faa’il (sebutan bagi pelaku) dari kata kerja tersebut. Meski kata khalifahberwazan
fa’iil namun maknanya adalah faa’il, seperti halnya ‘aliim yang
bermakna ‘aalim, sehingga secara harfiah ia bisa diartikan sebagai
“pengganti” alias orang yang menggantikan kedudukan pendahulunya. Sementara itu
kata khilafahadalah mashdar (gerund) alias kata
benda yang diturunkan dari kata kerja kholafa tersebut, sehingga
secara literal ia bisa diartikan sebagai “proses penggantian” alias suksesi.
Orang Arab, sebagaimana dikutip oleh Al-Qolqosyandi- mengatakan : kholafahuu
fii qoumihii yakhlufuhuu khilafatan fahuwa kholiifatun (ia menggantikan
kedudukannya (pendahulunya) di tengah-tengah kaumnya, menggantikannya dengan
suatu proses penggantian (khilafah) maka dia adalah seorang
pengganti (khalifah)). Ibnu Mandhur menyatakan, “yuqoolu
: kholafa fulaanun fulaanan idzaa kaana kholiifatahu. Wa yuqoolu: kholafahuu
fii qoumihii khilaafatan” (dikatakan bahwa Si A menggantikan si B apabila
dia menjadi khalifah-nya. Dan dikatakan: ia menggantikan
(kedudukan)-nya di tengah kaumnya dengan sebuah suksesi/khilafah).
Singkatnya, khalifahadalah pengganti sedangkan khilafah
adalah proses penggantian. Menilik hal tersebut, secara bahasa, keduanya
memang tidak layak disandingkan dengan kata imam dan imamah mengingat
maknanya yang jauh berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar